# GudangFileKOE

Kamis, 01 Juli 2010

Analgetik
adalah obat atau senyawa yang dipergunakan untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Kesadaran akan perasaan sakit terdiri dari dua proses, yakni penerimaan rangsangan sakit di bagian otak besar dan reaksi-reaksi emosional dan individu terhadap perangsang ini. Obat penghalang nyeri (analgetik) mempengaruhi proses pertama dengan mempertinggi ambang kesadaran akan perasaan sakit, sedangkan narkotik menekan reaksi-reaksi psychis yang diakibatkan oleh rangsangan sakit (Tan Hoan Tyai, 1991).
Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala, yang fungsinya adalah melindungi dan memberikan tanda bahaya tentang adanya gangguan-gangguan di dalam tubuh, seperti peradangan (rematik, encok), infeksi-infeksi kuman atau kejang-kejang otot.
Penyebab rasa nyeri adalah rangsangan-rangsangan mekanis, fisik, atau kimiawi yang dapat menimbulkan kerusakan-kerusakan pada jaringan dan melepaskan zat-zat tertentu yang disebut mediator-mediator nyeri yang letaknya pada ujung-ujung saraf bebas di kulit, selaput lendir, atau jaringan-jaringan (organ-organ) lain. Dari tempat ini rangsangan dialirkan melalui saraf-saraf sensoris ke Sistem Saraf Pusat (SSP) melalui sumsum tulang belakang ke thalamus dan kemudian ke pusat nyeri di dalam otak besar, dimana rangsangan dirasakan sebagai nyeri. Mediator-mediator nyeri yang terpenting adalah histamine, serotonin, plasmakinin-plasmakinin, dan prostaglandin-prostagladin, serta ion-ion kalium.
Berdasarkan proses terjadinya nyeri, maka rasa nyeri dapat dilawan dengan beberapa cara, yaitu :
1. Merintangi pembentukan rangsangan dalam reseptor-reseptor nyeri perifer, oleh analgetika perifer atau anestetika lokal.
2. Merintangi penyaluran rangsangan nyeri dalam saraf-saraf sensoris, misalnya dengan anestetika lokal
3. Blokade dari pusat nyeri dalam Sistem Saraf Pusat dengan analgetika sentral (narkotika) atau anestetika umum.
Pada pengobatan rasa nyeri dengan analgetika, faktor-faktor psikis turut berperan, misalnya kesabaran individu dan daya menerima nyeri dari si pasien. Secara umum analgetika dibagi dalam dua golongan, yaitu analgeti non-narkotinik atau analgesik non-opioid atau integumental analgesic (misalnya asetosal dan parasetamol) dan analgetika narkotik atau analgesik opioid atau visceral analgesic (misalnya morfin).

Analgetika Narkotik
Zat-zat ini memiliki daya menghalangi nyeri yang kuat sekali dengan tingkat kerja yang terletak di Sistem Saraf Pusat. Umumnya mengurangi kesadaran (sifat meredakan dan menidurkan) dan menimbulkan perasaan nyaman (euforia). Dapat mengakibatkan toleransi dan kebiasaan (habituasi) serta ketergantungan psikis dan fisik (ketagihan adiksi) dengan gejala-gejala abstinensia bila pengobatan dihentikan. Karena bahaya adiksi ini, maka kebanyakan analgetika sentral seperti narkotika dimasukkan dalam Undang-Undang Narkotika dan penggunaannya diawasi dengan ketat oleh Dirjen POM.
Secara kimiawi, obat-obat ini dapat dibagi dalam beberapa kelompok sebagai berikut :
1. Alkaloid candu alamiah dan sintesis morfin dan kodein, heroin, hidromorfon, hidrokodon, dan dionin.
2. Pengganti-pengganti morfin yang terdiri dari :
a. Petidin dan turunannya, fentanil dan sufentanil
b. Metadon dan turunannya:dekstromoramida, bezitramida, piritramida, dan d-ptopoksifen
c. Fenantren dan turunannya levorfenol termasuk pula pentazosin.
Antagonis-antagonis morfin adalah zat-zat yang dapat melawan efek-efek samping dari analgetik narkotik tanpa mengurangi kerja analgesiknya dan terutama digunakan pada overdosis atau intoksiaksi dengan obat-obat ini. Zat-zat ini sendiri juga berkhasiat sebagai analgetik, tetapi tidak dapat digunakan dalam terapi, karena dia sendiri menimbulkan efek-efek samping yang mirip dengan mrfin, antara lain depresi pernafasan dan reaksi-reaksi psikotis. Yang sering digunakan adalah nalorfin dan nalokson.
Efek-efek samping dari morfin dan analgetika sentral lainnya pada dosis biasa adalah gangguan-gangguan lambung, usus (mual, muntah, obstipasi), juga efek-efek pusat lainnya seperti kegelisahan, sedasi, rasa kantuk, dan perubahan suasana jiwa dengan euforia. Pada dosis yang lebih tinggi terjadi efek-efek yang lebih berbahaya yaitu depresi pernafasan, tekanan darah turun, dan sirkulasi darah terganggu. Akhirnya dapat terjadi koma dan pernafasan terhenti.
Efek morfin terhadap Sistem Saraf Pusat berupa analgesia dan narkosis. Analgesia oleh morfin dan opioid lain sudah timbul sebelum penderita tidur dan seringkali analgesia terjadi tanpa disertai tidur. Morfin dosis kecil (15-20 mg) menimbulkan euforia pada penderita yang sedang menderita nyeri, sedih dan gelisah. Sebaliknya, dosis yang sama pada orang normal seringkali menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir atau takut disertai dengan mual, dan muntah. Morfin juga menimbulkan rasa kantuk, tidak dapat berkonsentrasi, sukar berfikir, apatis, aktivitas motorik berkurang, ketajaman penglihatan berkurang, ektremitas tersa berat, badan terasa panas, muka gatal dan mulut terasa kering, depresi nafas dan miosis. Rasa lapar hilang dan dapat muntah yang tidak selalu disertai rasa mual. Dalam lingkungan yang tenang orang yang diberikan dosis terapi (15-20 mg) morfin akan tertidur cepat dan nyenyak disertai mimpi, nafas lambat dan miosis.
Antara nyeri dan efek analgetik (juga efek depresi nafas) morfin dan opioid lain terdapat antagonisme, artinya nyeri merupakan antagonis faalan bagi efek analgetik dan efek depresi nafas morfin. Bila nyeri sudah dialami beberapa waktu sebelum pemberian morfin, efek analgetik obat ini tidak begitu besar. Sebaliknya bila stimulus nyeri ditimbulkan setelah efek analgetik mencapai maksimum, dosis morfin yang diperlukan untuk meniadakan nyeri itu jauh lebih kecil. Penderita yang sedang mengalami nyeri hebat dan memerlukan mofin dengan dosis besar untuk menghilangkan rasa nyerinya, dapat tahan terhadap depresi nafas morfin. Tetapi bila nyeri itu tiba-tiba hilang, maka kemungkinan besar timbul gejala depresi nafas oleh morfin.

Analgetika Perifer (non-narkotik)
Obat obat ini dinamakan juga analgetika perifer, karena tidak mempengaruhi Sistem Saraf Pusat, tidak menurunkan kesadaran atau mengakibatkan ketagihan. Semua analgetika perifer juga memiliki kerja antipiretik, yaitu menurunkan suhu badan pada keadaan demam, maka disebut juga analgetik antipiretik. Khasiatnya berdasarkan rangsangannya terhadap pusat pengatur kalor di hipotalamus, yang mengakibatkan vasodilatasi perifer (di kulit) dengan bertambahnya pengeluaran kalor dan disertai keluarnya banyak keringat.
Penggolongan analgetika perifer secara kimiawi adalah sebagai berikut:
1. salisilat-salisilat, Na-salisilat, asetosal, salisilamida, dan benirilat
2. Derivat-derivat p-aminofenol:fenasetin dan parasetamol
3. Derivat-derivat pirozolon:antipirin,aminofenazon, dipiron, fenilbutazon danturunan-turunannya
4. Derivat-derivat antranilat: glafenin, asam mefenamat, dan asam nifluminat.
Efek-efek samping yang biasanya muncul adalah gangguan-gangguan lambung-usus, kerusakan darah, kerusakan hati, dan ginjal dan juga reaksi-reaksi alergi kulit. Efek-efek samping ini terutama terjadi pada penggunaan lama atau pada dosis besar, maka sebaiknya janganlah menggunakan analgetika ini secara terus-menerus.

Analgetika-Antipiretik
Analgetik adalah obat yang mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Sedangkan antipiretik adalah obat yang dapat menurunkan suhu tubuh yang tingi. Jadi, analgetik-antipiretik dalah obat yang mengurangi rasa nyeri dan serentak menurunkan suhu tubuh yang tinggi.
Sebagai mediator nyeri, antara lain adalah sebagai berikut:
1. Histamin
2. Serotonin
3. Plasmokinin (antara lain Bradikinin)
4. Prostaglandin
5. Ion Kalium

Analgetik diberikan kepada penderita untuk mengurangi rasa nyeri yang dapat ditimbulkan oleh berbagai rangsang mekanis, kimia, dan fisis yang melampaui suatu nilai ambang tertentu (nilai ambang nyeri). Rasa nyeri tersebut terjadi akibat terlepasnya mediator-mediator nyeri (misalnya bradikinin, prostaglandin) dari jaringan yang rusak yang kemudian merangsang reseptor nyeri di ujung saraf perifer ataupun ditempat lain. Dari tempat-tempat ini selanjutnya rangsang nyeri diteruskan ke pusat nyeri di korteks serebri oleh saraf sensoris melalui sumsum tulang belakang dan thalamus.

Pembagian nyeri dapat digambarkan sebagai berikut:
Nyeri I
Nyeri permukaan kulit
Nyeri I


Nyeri somatik


Nyeri dalaman Otot, tulang, sendi,
jaringan ikat

Nyeri Viseral Perut


Menurut tempat terjadinya, nyeri dibagi menjadi nyeri somatic dan nyeri dalaman (viseral).
1. Nyeri Somatik
Dibagi atas dua kualitas yaitu nyeri permukaan dan nyeri dalam, apabila rasa nyeri berasal dari kulit, otot, persendian, tulang atau dari jaringan ikat.
a. Nyeri Permukaan
Terjadi apabila tangsang bertempat dalam kulit. Nyeri permukaan yang terbentuk kira-kira setelah tertusuk oleh jarum pada kulit, mempunyai karakter yang ringan, dapat dilokalisasi dengan baik dan cepat hilang setelah berakhirnya rangsang. Nyeri ini menyebabkan suatu reaksimenghindar secara refleks, seperti mearik kaki pada saat menginjak duri dan dengan demikian melindungi organisme dari kerusakan lebih lanjut.
b. Nyeri dalam
Berasal dari otot, persendian tulang, dan jaringan ikat, dirasakan sebagai tekanan, sukar dilokalisasi, sering kali diikuti reaksi afektif dan vegetatif (seperti tidak bergairah, mual, berkeringat, dan penurunan tekanan darah) dan kebanyakan menyebar ke sekitarnya, contohnya sakit kepala.

2. Nyeri Dalaman (Viseral)
Nyeri ini terjadi antara lain pada tegangan otot perut, kejang otot polos, aliran darah kurang, dan penyakit yang disertai radang.
Rangsang nyeri diterima oleh reseptor nyeri khusus, yang merupakan ujung saraf bebas juga dapat menerima rangsang sensasi lain, maka kespesifikan fungsional mungkin berkaitan dengan diferensiasi pada tahap molekul.
Secara fungsional dibedakan dua jenis reseptor yang dapat menyusun dua system serabut berbeda :
a. mekanoreseptor, yang meneruskan nyeri permukaan melalui serabut A-delta bermielin
b. termoreseptor, yang meneruskan nyeri kedua melalui serabut-serabut C yang tidak bermielin.
Potensial aksi yang terbentuk pada reseptor nyeri diteruskan melalui serabut aferen ke dalam akar dorsal sumsum tulang belakang. Pada tempat awal kontak ini, bertemu tidak hanya saraf aferen, yang impulsnya tumpang tindih, tetapi disini juga terjadi refleks somatic dan vegetatif awal (misalnya menarik tangan waktu tangan tersentuh benda panas, terbentuknya eritema lokal) melalui interneuron. Disamping itu, pada tempat ini juga terjadi pengaruh terhadap serabut aferen melalui sisitem penghambat nyeri menurun.
Pembentukan impuls nyeri terjadi melalui interneuron pada neuron-neuron selanjutnya yang menyilang pada sisi yang lain dan menuju ke arah pusat dalam tractus spinothalamicus, yang terbagi dalam :
a. tractus palaeospinothalamicus yang tua secar filogenetik, yang mengandung terutama serabut C
b. tractus neospinothalamus yang lebih muda secara filogenik, yang terutama mengandung serabut A-delta
Serabut-serabut yang dalam daerah formatio reticularis menimbulkan terutama reaksi vegetatif (misalnya, penurunan tekanan darah, pengeluaran keringat). Tempat kontak lain yang khusus penting dari serabut nyeri adalah thalamus opticus. Disini diteruskan tidak hanya perangsangan pada serabut yang menuju ke gyrus postcentrali (celah sentral belakang), tempat lokalisasi nyeri, melainkan disini juga impuls diteruskan ke sistem limbic, yang terutama terlibat dalam penilaian emosional nyeri. Oleh otak besar dan otak kecil bersama-sama dilakukan reaksi perlindungan dan reaksi menghindar yang terkoordinasi. Yang berarti secara klinik adalah bahwa sistem nospinothalamicus pada tingkat thalamus menekan aferen paleospinothalamicus. Apabila penekanan ini gagal, maka dapat terjadi keadaan nyeri yang terberat.

Proses terjadinya nyeri, penghantaran impuls, lokalisasi dan rasa nyeri serta inhibisi nyeri endogen dalam bagan sederhana adalah sebagai berikut :

Rasa nyeri
Lokalisasi nyeri Penilaian nyeri

Sistem limbic Korteks

Thalamus opticus

Formatio reticularis--------reaksi vegetatif

Sumsum tulang-----------refleks pertahanan

Reseptor nyeri

Pembebasan zat mediator

Rangsang nyeri

Impuls penghantar nyeri meningkat
Inhibisi nyeri
------- Reaksi nyeri

ANTIINFLAMASI

1. Inflamasi
Inflamasi merupakan respon jaringan hidup sebagai reaksi lokal atas keberadaan benda asing, organisme hidup atau adanya luka pada dirinya. Reaksi ini meliputi berbagai proses yang kompleks terdiri dari deretan aktivasi enzim, pelepasan mediator, pengeluaran cairan, migrasi sel, pembongkaran dan perbaikan jaringan. Proses tersebut mengakibatkan perubahan fisiologis antara lain eritema, udema, asma, dan demam (Vane dan Botting, 1996). Aktivasi berbagai enzim (gambar 1) menyebabkan terjadinya biosintesis mediator dan release mediator inflamasi. Pada proses inflamasi, dilepaskan berbagai jenis mediator inflamasi yaitu:
• amina vasoaktif: histamin & 5-hidroksi tritophan (5-HT/serotonin). Keduanya terjadi melalui inaktivasi epinefrin dan norepinefrin secara bersama-sama
• plasma protease: kinin, sistem komplemen & sistem koagulasi fibrinolitik, plasmin, lisosomalesterase, kinin, dan fraksi komplemen
• metabolik asam arakidonat: prostaglandin, leukotrien (LTB4 LTC4, LTD4, LTE4 , 5-HETE (asam 5-hidroksi-eikosatetraenoat)
• produk leukosit – enzim lisosomal dan limfokin
• activating factor dan radikal bebas
Inflamasi berasal dari kata dalam bahasa Latin “inflammare” yang berarti “membakar”. Empat gejala khas yang muncul pada proses inflamasi yaitu rubor (kemerahan), tumor (bengkak), calor (panas), dan dolor (nyeri) digambarkan oleh Celsus pada abad I dalam bukunya De Re Medizina yang dipublikasikan kemudian (Spector dan Willoughby, 1968). Galen menambahkan satu ciri lagi yaitu functio laesa (hilangnya fungsi) (Hurley, 1972). Proses-proses di bawah ini terjadi pada proses inflamasi (gambar 2).
A. Eksudasi: fase primer pada inflamasi adalah perubahan sturktural pada dinding vaskuler. Perubahan ini mengakibatkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang membiarkan protein kaya cairan menembus dinding vaskuler (udema dan kemerahan).
B. Infiltrasi: leukosit, makrofag, dan limfosit, di bawah pengaruh kemotaksik, memasuki area inflamasi (fase primer). Beberapa dari sel-sel tersebut mengandung enzim lisosom yang mampu menelan dan mencerna partikel-partikel asing (fagositosis).
C. Proliferasi: limfosit dan makrofag mengalami transformasi menjadi lapisan pembatas sel yang antara lain mampu mensistesis antibodi-antibodi (fase sekunder) (Verboom, 1979).














Gambar 1. Berbagai enzim yang teraktifkan pada proses inflamasi.

Obat-obat antiinflamasi digunakan pada umumnya untuk mengurangi gejala-gejala atau perubahan fisiologis yang dirasakan berlebih pada kondisi inflamasi, misalnya nyeri yang taktertahankan, rasa gatal yang berlebih, kemerahan dan bengkak yang mengganggu, walaupun inflamasi bisa merupakan fenomena menguntungkan karena merupakan mekanisme pertahanan tubuh yang hasilnya adalah netralisasi dan pembuangan agen penyerang, serta penghancuran jaringan nekrosis. Fungsi inflamasi dengan memobilisasi pertahanan tubuh dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1) fagositosis pada tempat tersebut. Leukosit, makrofag dan limfosit di bawah pengaruh kemotaktik memasuki area inflamasi (fase infiltrasi). Beberapa dari sel-sel tersebut mengandung enzim lisosom yang mampu menelan dan mencerna partikel asing.
2) terbentuknya berbagai macam antibodi pada daerah tersebut. Limfosit dan makrofag mengalami transformasi menjadi lapisan pembatas sel yang mampu mensintesis antibodi (fase proliferasi).
3) menetralisir atau mencairkan iritan (dengan edema). Fase primer pada inflamasi adalah perubahan struktural pada dinding vaskuler. Perubahan ini mengakibatkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang membiarkan protein kaya cairan menembus dinding vaskuler (fase eksudasi) (Verboom, 1979).
4) membatasi perluasan inflamasi dengan pembentukan fibri, fibrosis dan terbentuknya dinding granulasi.
5) diikuti proses perbaikan jaringan atau penyembuhan.




Gambar 2. Proses inflamasi (Timmerman, 1997).
Sedgwick dan Willoughby (1994) mengklasifikasikan inflamasi menjadi 2 yaitu: inflamasi imunologis dan inflamasi non-imunologis. Inflamasi non-imunologis dibagi lagi menjadi akut dan kronis. Pada pemeriksaan histopatologi, lesi inflamasi non-imunologis akut mengandung polymorphonuclear leucocytes, berbeda dengan inflamasi kronis yang mengandung mononuclear cells seperti makrofag dan limfosit. Inflamasi imunologis terdiri dari immediate dan delayed.

A. Inflamasi imunologis
Respon imun mempunyai 3 fungsi utama, yaitu pertahanan, homeostatik, dan immunesurveillance. Respon imun ini bertujuan untuk melenyapkan benda asing yang bersifat antigenik dengan cepat, namun demikian tidak jarang terjadi kerusakan jaringan justru oleh adanya penyimpangan respon imun terhadap konfigurasi asing tertentu yang di antaranya sebagai alergi atau hipersensitivitas. Salah satu manifestasi alergi adalah terjadinya reaksi inflamasi yang merupakan respon tubuh secara vaskular terhadap adanya kerusakan jaringan. Inflamasi yang terjadi akibat reaksi antara antibodi atau sel T spesifik (yang merupakan respon imun) dengan antigen disebut inflamasi imunologis (Abrams, 1994).
Menurut Terr (1994), reaksi inflamasi yang disebabkan respon imun ada 3 macam, yaitu inflamasi yang diperantarai antibodi IgE, kompleks imun, dan sel.
1) Inflamasi yang diperantarai antibodi IgE, disebut juga reaksi hipersensitivitas tipe segera (immediate) karena terjadi sangat cepat, hanya beberapa menit setelah paparan. Mekanisme timbulnya inflamasi yang diperantarai antibodi IgE melalui 3 fase yaitu fase sensitisasi, fase aktivasi, dan fase efektor. Mekanisme timbulnya inflamasi yang diperantarai antibodi IgE terlihat pada gambar 3.
(i) fase sensitisasi.
Tubuh yang terpapar antigen untuk pertama kalinya akan menimbulkan respon pembentukan IgE. IgE merupakan antibodi yang memiliki afinitas tinggi terhadap sel mast sehingga IgE yang telah terbentuk akan terikat di permukaan sel mast pada reseptor Fc.
(ii) fase aktivasi.
Terjadinya paparan ulang dengan antigen yang sama akan menyebabkan pembentukan jembatan antara 2 molekul IgE pada permukaan sel (crosslinking). Crosslinking ini akan menimbulkan gangguan stereospesifik yang mengaktifkan enzim fosfolipase C sehingga mengkatalisis hidrolisis polifosfatidilinositol (PI) menjadi 1,2-diasilgliserol (1,2-DAG) dan inositol trifosfat (IP3). Senyawa 1,2-DAG akan mengaktifkan enzim protein kinase C (PKC), sedangkan IP3 menyebabkan influks Ca2+. Keberadaan ion Ca2+ dan PKC pada sitoplasma sel mast ini akan mempermudah fusi membran periglanuler granula sekretorik dengan membran sel. Serangkaian proses ini akan menyebabkan degranulasi sel mast sehingga melepaskan mediator inflamasi yang terkandung di dalamnya seperti histamin, serotonin, dan faktor kemotaktik untuk neutrofil dan eosinofil (Maeyama dan Watanabe, 1992). Proses degranulasi sel mast dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 3. Mekanisme timbulnya inflamasi yang diperantarai IgE (Terr, 1994).

(iii) fase efektor.
Adalah waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai bahan-bahan yang dilepaskan oleh sel mast dengan aktivitas farmakologis. Reaksi yang terjadi dapat berupa vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskuler, penyempitan bronkus, udema pada mukosa dan hipersekresi mukus.


Gambar 4. Skema proses degranulasi sel mast.

Setelah antigen berikatan dengan IgE di permukaan sel mast, enzim fosfolipase C (PLC-γ1) mengubah fosfatidil inositol (PI) menjadi inositol trifosfat (IP3) dan 1,2-diasilgliserol (DAG). IP3 merangsang Ca2+ keluar dari tempat penyimpanannya, sedang DAG mengaktifkan protein kinase C (PKC). PKC dan kadar Ca2+ yang tinggi dalam sel memudahkan fusi membran granul dengan membran sel, akibatnya mediator-mediator dalam granul (termasuk histamin) dilepaskan keluar dari sel mast (Maeyama dkk., 1992).

2) Inflamasi yang diperantarai kompleks imun, terjadi bila kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam jaringan atau dinding pembuluh darah dan mengaktifkan komplemen untuk merusak sel sasaran. Antibodi yang terlibat pada inflamasi ini biasanya IgG atau IgM, sedangkan antigen dapat berupa agen infeksi maupun autogen. Komplemen yang telah diaktifkan kemudian merangsang pelepasan macrophage chemotactic factor (faktor kemotaktik) yang berupa C3a dan C5a (anafilatoksin) dan vasoaktif amin yang berasal dari sel mast jaringan dan sel basofil darah. C3a berperan sebagai anafilatoksin yang menyebabkan pelepasan histamin dari sel mast dan mengakibatkan kenaikan permeabilitas vaskular. C5a juga merupakan anafilatoksin dan sebagai faktor kemotaktik bagi eosinofil dan neutofil. Neutrofil selanjutnya akan melepaskan enzim lisosom dan generate toxic oxidant dalam proses fagosit kompleks imun, serta cara eksositosis untuk menghancurkan deposit kompleks imun. Karena kompleks imun melekat erat pada jaringan pembuluh darah, maka enzim lisosom tersebut dapat menyebabkan kerusakan jaringan. Mekanisme timbulnya inflamasi yang diperantarai kompleks imun terlihat pada gambar 5.

3) Inflamasi yang diperantarai oleh sel, disebut juga hipersensitivitas tipe lambat (delayed hypersensitivity) yang pada umumnya timbul > 12 jam setelah pemaparan antigen. Reaksi inflamasi ini tidak melibatkan antibodi tetapi melibatkan sel-sel limfosit T. Reaksi inflamasi ini terjadi karena kenaikan reaktivitas terhadap antigen spesifik oleh sel T.
Perbedaan inflamasi yang diperantarai oleh antibodi IgE, kompleks imun, dan sel tersaji pada tabel I.


Tabel I. Penggolongan inflamasi imunologis (Terr, 1994).
Tipe inflamasi Waktu maksimal reaksi Sel-sel inflamasi yang terlibat Mediator utama Mekanisme imunologis
Inflamasi yang diperantarai IgE (hipersensitivitas tipe segera) 15 menit
(fase cepat) Eosinofil Histamin, leukotrien Antigen berikatan dengan IgE di permukaan mastosit menyebabkan degranulasi dengan pelepasan preformed mediator
6 jam
(fase lambat) Eosinofil, neutrofil PAF, TNFα, PGD2, leukotrien Setelah degranulasi, mediator dibentuk oleh mastosit
Inflamasi yang diperantarai kompleks imun 8 jam Neutrofil Komplemen factor C5a Kompleks antigen-antibodi berikatan dengan komplemen dan menginduksi aktivitas neutrofil
Inflamasi yang diperantarai sel (hipersensitivitas tipe lambat) 36 jam Limfosit (sel TDH/sel T CD4+), makrofag Limfokin Limfokin yang dilepaskan sel TDH teraktivasi menginduksi makrofag dan respon sel


Gambar 5. Mekanisme timbulnya inflamasi yang diperantarai kompleks imun (Terr, 1994).

B. Inflamasi non-imunologis
Inflamasi non-imunologis terjadi bila rangsangan non-imunologis (berupa cidera fisik, benturan, sinar UV, radiasi ion, panas atau dingin yang berlebihan) langsung memicu aktivitas sel-sel inflamasi atau menyebabkan kerusakan jaringan (luka) sehingga sel-sel inflamasi melepaskan mediator-mediator yang terkandung di dalamnya (Terr, 1991).
Ilustrasi terjadinya inflamasi baik inflamasi imunologis maupun inflamasi respon non-imun adalah sebagai berikut:


2. Antiinflamasi Non-steroid (AINS)

AINS menghalangi proses inflamasi karena memiliki kemampuan menghambat biosintesis prostaglandin, salah satu mediator inflamasi, melalui penghambatan enzim siklooksigenase (COX). Penghambatan COX dapat mengganggu metabolime asam arakidonat jalur COX (gambar 6) dalam pembentukan prostaglandin G2 (PGG2) dari asam arakidonat dan pembentukan prostaglandin H2 (PGH2) dari PGG2. Dari PGH2 dibentuk PGD2, PGI2, , PGE2, tromboksan A2 (TXA2), tromboksan B2 (TXB2), 6-keto-PGF1PGF2 yang merupakan mediator inflamasi, dan juga asam lemak hidroksi (HHT) dan malondialdehid (MDA) oleh enzim GST kelas µ yang mengkatalisis dari PGH2.pembentukan PGD2, PGE2, PGF2
Pada tahun 1971 telah didemonstrasikan bahwa aspirin dan indometasin sebagai obat antiinflamasi non-steroid menginhibisi enzim COX dari berbagai jaringan mamalia secara in vivo (Vane dan Botting, 1996). Mekanisme inhibisi oleh aspirin adalah melalui suatu reaksi asetilasi (gambar 7) yang takterbalikkan pada komponen COX yaitu prostaglandin endoperoksidase sehingga enzim tersebut kehilangan aktivitas peroksidase (Van der Ouderaa dkk, 1980 sit Vane dan Botting, 1996).
Aspirin menghambat sintesis prostaglandin dengan mengasetilasi serin 530 pada active site COX-1 (Vane dan Botting, 1996), dan pada dosis tinggi mampu mengasetilasi serin 516 pada active site COX-2 (gambar 8) (Wennogle dkk, 1995 sit Vane dan Botting, 1996). Pada perkembangan selanjutnya, diketahui bahwa aspirin juga menghambat transkripsi faktor NF-κB yang berperan penting dalam transkripsi gen mediator inflamasi (Rang dkk, 2003).


Gambar 6. Metabolisme asam arakidonat jalur COX (Vane dan Botting, 1996).


Gambar 7. Asetilasi aspirin pada enzim COX.

Gambar 8. Asetilasi aspirin pada enzim COX-2.
Mekanisme inhibisi obat-obat AINS lainnya, seperti indometasin dan ibuprofen, menginhibisi COX dengan berkompetisi dengan asam arakidonat (substrat dari COX) pada active site enzim COX (Vane dan Botting, 1996). Radikal oksigen reaktif sebagai produk dari neutrofil dan makrofag yang terlibat pada rusaknya jaringan (inflamasi), dapat dinetralkan AINS yang memiliki efek sebagai oxygen-radical-scavenging kuat (seperti sulindak) sehingga dapat mengurangi kerusakan jaringan seperti halnya aktivitas COX-inhibitory (Rang dkk, 2003).
Salah satu mekanisme penghambatan COX ialah melalui inhibisi non-kompetitif oleh antioksidan. Antioksidan merupakan agen antiinflamasi yang bekerja melalui penangkapan radikal bebas oksigen dan dapat menghambat segala tipe oksigenasi (siklooksigenase dan lipooksigenase). Senyawa antioksidan ataupun penangkap radikal berpotensi sebagai antiinflamasi, asal memiliki kemampuan (gambar 10):
1. menangkap secara langsung oksidan reaktif (•OH atau HOCl),
2. mengikat ion besi dalam bentuk tak aktif, sehingga kemampuannya membangkitkan •OH menjadi jelek,
3. menghambat produksi oksidan oleh sel-sel fagosit (Halliwel, dkk., 1988).

Suatu senyawa fenolik merupakan inhibitor terhadap biosintesis prostaglandin jika reaksi siklooksigenase berlangsung pada kondisi normal. Studi yang dilakukan oleh Dewhirst (1980) telah menghasilkan kesimpulan bahwa penghambatan enzim COX yang paling efektif terletak pada adanya dua cincin aromatik yang dihubungkan secara langsung oleh suatu rantai pendek. Menurut Dewhirst (1980), kemampuan inhibisi senyawa fenolik terhadap enzim COX meningkat apabila: (1) memiliki gugus hidroksi fenolik bebas, (2) tidak memiliki halangan sterik yang besar terhadap gugus hidroksi fenolik, dan (3) adanya gugus donasi elektron.
Mekanisme antiinflamasi kurkumin diduga antara lain karena kurkumin memiliki aktivitas antioksidan. Hal ini diungkapkan oleh penelitian yang melaporkan bahwa kurkumin merupakan senyawa yang efektif menghambat pembentukan lipid peroksida secara in vivo (Sharma dkk, 1972) dan in vitro (Sharma, 1976).
Kurkumin memiliki aktivitas antiinflamasi karena kurkumin mampu menghambat kerja enzim COX dan lipooksigenase (LOX). Kedua enzim tersebut berperan dalam metabolisme asam arakhidonat untuk menghasilkan mediator-mediator kimia yang menyebabkan terjadinya tanda-tanda peradangan. Di samping itu, kurkumin mampu menangkap radikal oksigen yang terbentuk selama peradangan (Kunchandy dan Rao, 1990).
Struktur kurkumin (gambar 9) terdiri dari gugus OH-fenolik dan gugus -diketon yang berfungsi sebagai penangkap radikal bebas. Meskipun demikian, mekanisme antiinflamasi kurkumin yang paling dominan belum diketahui pasti (Supardjan, 1999), karena selain sebagai antioksidan, kurkumin mampu menghambat enzim COX (Supardjan, 1999) dan Glutation (Sudibyo, 2000).S-transferase (GST) kelas

Gambar 9. Struktur kurkumin
Neutrofil-aktif


Meiloperoksidase
O2 OCl= + H2OH2O + Cl=
Radikal superoksid

Fe3+
2H+

H2O2 + O2 Kompleks antara pH fisiologi

Fe2+ Fe2+ + O2
(dalam sel)
HOCl
Kompleks antara Oksidasi reaktif hipoklorit


•OH + OH- + Fe3+
Radikal hidroksil 1-a-tipoproteinase


Peroksidasi lipid Keaktifan – serina proteinase

Gambar 10. Mekanisme pembangkitan radikal oksigen pada tempat peradangan (Halliwel dan Gutteridge, 1988, sit Donatus, 1994).

Obat AINS dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu golongan asam karboksilat dan asam enolat; dimana kedua golongan tersebut memiliki berbagai macam derivat, seperti yang terlihat pada gambar 11 dan tabel X.




Gambar 11. Penggolongan obat AINS.


3. Siklooksigenase

Siklooksigenase (COX) merupakan enzim yang bertanggungjawab mengubah asam arakidonat menjadi prostaglandin yang memiliki berbagai efek biologis (gambar 1 dan gambar 6). Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan bahwa COX terdiri dari dua isoform, yang diberi nama COX-1 dan COX-2. COX-2 tidak ditemukan pada jaringan sehat, namun kadarnya meningkat secara dramatis pada proses inflamasi, nyeri, dan demam (gambar 12). COX-1 esensial ditemukan pada mamalia dan dapat dikatakan sebagai enzim “house keeping”, berbeda dengan COX-2 yang diaktivasi oleh kerusakan jaringan. Kedua isoform COX menunjukkan tidak lebih dari 60% homologi yang memungkinkan pengembangan penghambat yang selektif, baik terhadap COX-1 maupun COX-2. Senyawa yang mampu menghambat COX-2 secara selektif diharapkan mampu menjadi senyawa antiinflamasi dengan resiko efek samping pada saluran pencernaan yang rendah (Vane dan Botting, 1996).



Gambar 12. Berbagai fungsi fisiologis COX-1 dan perbedaan isoform COX.


Perbedaan COX-1 dan COX-2 yang mempengaruhi aksi obat AINS apakah itu selektif terhadap COX-1 ataukah COX-2 adalah kanal enzim COX dan sekuen asam aminonya; dimana keduanya mempengaruhi konformasi enzim-substrat dan enzim-inhibitor.
Kanal COX-1 lebih sempit daripada kanal COX-2. Senyawa-senyawa dengan gugus yang bulky tidak bisa masuk ke dalam kanal COX-1, akan tetapi dimungkinkan dapat masuk ke dalam kanal COX-2. Hal ini terjadi pada indometasin dan obat-obat golongan coxib. Berbeda dengan asam arakidonat sebagai substrat COX yang dapat dengan mudah memasuki kanal COX baik COX-1 maupun COX-2 secara selektif dengan konformasi tertentu (Rang dkk., 2003) (gambar 13). Pernyataan ini sesuai dengan teori Dewhirst (1980), mengenai kemampuan inhibisi suatu senyawa terhadap aktivitas enzim COX akan meningkat apabila tidak memiliki halangan sterik yang besar.
Selain itu, COX-1 dan COX-2 juga berbeda pada sekuen asam amino penyusunnya yaitu pada sekuen asam amino nomor 523. Pada COX-1 adalah isoleusin dan pada COX-2 adalah valin (gambar 15). Perbedaan ini berperan penting dalam spesifitas pengikatan obat-obat golongan coxib dan konformasi enzim COX yang terbentuk setelah terjadinya ikatan obat-enzim (Pinheiro dan Calixto, 2002).
Adanya valin-523 memberikan konformasi pocket pada sisi aktif COX-2 (gambar 16) sehingga akses obat golongan coxib mudah dan ikatan obat golongan coxib komplemen dengan COX-2 tetapi tidak dengan COX-1, sehingga ikatan coxib spesifik pada COX-2 dan mengeblok masuknya substrat (asam arakidonat) ke dalam sisi aktif COX-2 (gambar 14) dan asam arakidonat tidak dapat dimetabolisme oleh COX-2, akan tetapi masih dimetabolisme COX-1. Oleh karena itu, penghambatan COX-2 tidak menghentikan biosintesis prostaglandin (oleh COX-1) yang berperan dalam proteksi saluran gastrointestinal terhadap asam lambung. Contoh obat-obat golongan coxib (generik dan brand name):

Celecoxib (Celebrex™)
Pfizer
1st generation Rofecoxib (Vioxx™)
Merck
1st generation
Valdecoxib (Bextra™)
Pfizer
2nd generation Parecoxib (Dynastat™)
Pfizer
2nd generation
Prodrug of Bextra
IV injection
Etoricoxib (Arcoxia™)
Merck
2nd generation
IV injection Lumiracoxib (Prexige™)
Novartis
2nd generation
Phase III trials


Gambar 13. Ilustrasi perbedaan COX-1 dan COX-2.

Selain COX, target aksi obat-obat antiinflamasi adalah enzim fosfolipase dan LOX. Enzim fosfolipase dihambat oleh obat antiinflamasi steroid (hidrokortison, deksametason, betametason, prednison, fluosinolon-asetonide, fluprednidine, metil-prednisolon, dll), sedangkan enzim LOX khususnya 5-LOX dihambat oleh sulfasalazin sehingga pembentukan leukotrien C4 dari leukotrien A4 terhambat. Kurkumin diduga menghambat inflamasi melalui penghambatan enzim glutation S-transferase dari(GST) kelas µ yang mengkatalisis pembentukan PGD2, PGE2, PGF2 PGH2, berbagai mediator inflamasi. Penghambatan biosintesis PG parasetamol terjadi pada lingkungan yang rendah kadar peroksidanya, seperti di hipotalamus. Padahal, lokasi inflamasi biasanya mengandung banyak peroksida. Ini menjelaskan mengapa parasetamol memiliki efek antipiretik, sedangkan efek antiinflamasinya praktis tidak ada. Target aksi obat-obat antiinflamasi dan jenis mediator yang dihambat digambarkan pada skema berikut ini:


Gambar 14. Pengeblokan masuknya asam arakidonat pada sisi aktif COX-2 oleh obat-obat golongan coxib.

Gambar 15. Sekuen asam amino COX-1 dan COX-2.



Gambar 16. Konformasi pocket obat-obat golongan coxib pada COX-2.

Metode farmakologi guna mengukur aktivitas penghambatan COX telah banyak dikembangkan. Penghambatan COX-1 dapat ditentukan pada sel-sel isolasi, misal: isolasi dari endotelium aorta, sedangkan COX-2 dapat ditentukan menggunakan kultur makrofag dan perlakuan dengan endotoksin. Aktivitas COX dapat ditentukan dengan mengukur salah satu dari metabolit, setelah penambahan asam arakidonat, menggunakan metode radio-imunoassay (Timmerman, 1997).
Pembentukan malondialdehida (MDA), salah satu dari produk metabolit stabil setelah proses siklooksigenasi asam arakidonat (gambar 6) dapat dijadikan indikator aktivitas COX. Penentuan konsentrasi MDA dilakukan dengan menggunakan metode spektrofluorometri. MDA bereaksi dengan asam tiobarbiturat (ATB) pada pH rendah dengan pemanasan membentuk produk berwarna merah-ungu fluoresen yang dapat diukur secara spektrofluorometri pada λ emisi 553 nm dan λ 510 nm (Kappus, 1985). Reaksi yang terjadi tersaji pada gambar 17.

Gambar 17. Reaksi antara MDA dengan ATB (Shahidi dan Hong, 1991; Sardjiman, 2000).

ANALGETIK


Prostaglandin (PG)
PG ð pirogen endogen
PG menyebabkan sensitisasi reseptor nyeri
PG menimbulkan kondisi hiperalgesia pd jaringan yg meradang
Analgetik opioid
Gol.obat yg memiliki sifat spt opium/morfin
Menimbulkan adiksi:
Habituasi
Ketergantungan fisik
Usaha utk mendptkan analgesik ideal:
Potensi analgesik yg sama kuat dgn morfin
Tanpa bahaya adiksi
Obat yg berasal dr opium-morfin
Seny. semisintetik morfin
Seny. sintetik yg berefek spt morfin
Analgesik opioid bekerja pd reseptor opioid (di sel otak)
Reseptor opioid: μ, κ, σ, δ, ε.
Atas dasar kerjanya pd reseptor opioid, analgetik opioid dibagi mjd:
Agonis opioid menyerupai morfin (pd reseptor μ, κ)
Morfin, fentanil
Antagonis opioid
Nalokson
Menurunkan ambang nyeri pd pasien yg ambang nyerinya tinggi
Opioid dgn kerja campur
Nalorfin, pentazosin, buprenorfin, malbufin, butorfanol
Pentazosin
Antagonis lemah pd reseptor μ ttp mrpkn agonis kuat pd reseptor κ.
Efek analgesia yg timbul agaknya krn efeknya pd reseptor κ.
Butorfanol
Dihipotesiskan bekerja pd reseptor κ.
Efek analgesia yg timbul agaknya krn efeknya pd reseptor κ.
Efek analgetik morfin timbul berdsr mekanisme:
Morfin meningkatkan ambang rangsang nyeri
Morfin memudahkan tidur & pada waktu tidur ambang rangsang nyeri meningkat
Efek analgetik meperidin & derivat fenilpiperidin
Serupa dgn efek analgetik morfin tp masa kerja lbh pendek
Petidin, piminodin, ketobemidon, fenoperidin, fentanil


KEMOTERAPI PARASIT
A. Antibiotik
Perbedaan antimikroba dengan antibiotik terletak pada sumber senyawa tersebut disintesis. Antimikroba pada umumnya merupakan hasil sintesis, sedangkan antibiotik merupakan hasil metabolisme (metabolit) koloni mikroba/bakteri tertentu. Antimikroba memiliki toksisitas selektif, dalam arti membunuh bakteri-bakteri patogen dan tidak berefek terhadap flora normal hospes. Berdasar toksisitasnya terhadap bakteri patogen, antimikroba/antibiotik dibagi menjadi bakterisida (membunuh bakteri, dengan parameter kadar bunuh minimun/KBM) dan bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri dengan parameter kadar hambat minimun/KHM). Berdasar spektrum kerjanya, antimikroba/antibiotik dibagi menjadi antibiotik spektrum sempit, misal: golongan penisilin (benzil penisilin, penisilin V, nafsilin, metisilin, kloksasilin, oksasilin), streptomisin, dan antibiotik spektrum luas, misal: tetrasiklin, golongan sulfa (sulfonamid, kotrimoksazol, para amino-salisilat (PAS)), sulfon (dapson), golongan penisilin (aminopenisilin, tikarsilin, karbenisilin) dan kloramfenikol.
Mekanisme antibiotik dalam membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri adalah: menghambat metabolisme sel mikroba, mengganggu permeabilitas membran sel mikroba, menghambat sistesis protein sel mikroba, menghambat sintesis asam nukleat, menghambat pembelahan sel mikroba, dan menghambat sintesis dinding sel mikroba.

1. Menghambat sintesis dinding sel bakteri
Penisilin merupakan golongan antibiotik yang penting, walaupun setelah penisilin disintesis, muncul berbagai agen antimikroba. Penisilin banyak digunakan, merupakan major antibiotics, dan berbagai turunannya telah banyak diproduksi. Penisilin termasuk drugs of choice untuk berbagai jenis penyakit infeksi.
Penisilin adalah antibiotik pertama yang ditemukan sebagai produk/metabolit dari jamur Penicillium. Pada 1928, Alexander Fleming, profesor bakteriologi dari rumah sakit St. Mary's London, menumbuhkan koloni Staphylococcus aureus. Dia menemukan zona penghambatan di sekitar koloni dan adanya spora yang tumbuh. Jamur yang tumbuh tersebut dinamakan Penicillium rubrum dan diketahui mensekresi senyawa yang mampu menghambat bakteri gram positif.
1928 – Alexander Fleming
Menumbuhkan koloni Penicillium notatum
1939 – Florey, Chain, and Associates
Mengisolasi dan sintesis penisilin
1944 – Penisilin digunakan untuk pengobatan infeksi
Akhir 1940’s – digunakan secara luas di Amerika

Golongan penisilin dan golongan sefalosporin disebut sebagai antibiotik golongan beta-laktam; dicirikan dengan tiga struktur (gambar 1) yaitu: cincin beta-laktam (biru dan merah), gugus asam karboksilat bebas (merah), dan satu atau lebih rantai asam amino tersubstitusi (hitam).


Gambar 1. Struktur beta-laktam (penisilin)

Struktur beta-laktam terdiri dari asam amino sistein (biru) dan valin (merah) yang terikat secara kovalen. Cincin ini diperlukan untuk aktivitas biologi; perubahan cincin ini karena metabolisme atau senyawa kimia menyebabkan hilangnya aktivitas antibakteri secara signifikan. Antibiotik beta-laktam yang digunakan dalam klinik adalah penisilin, sefalosporin, monobaktam, dan karbapenem.
Klasifikasi
Penisilin (penisilin G, p.o) – aktif melawan bakteri gram+, gram-cocci, non-beta-lactamase-producing anaerobes, rusak oleh asam lambung, diberikan secara parenteral (i.m), dibuat turunannya yaitu penicillin V (K+ salt PEN-VEE K, V-CILLIN K, p.o).
Antistaphylococcal penisilin (nafsilin) – resisten terhadap staphylococcal beta-lactamases, aktif terhadap staphylococci dan streptococci.
Extended-spectrum penisilin (ampisilin) – spektrum luas, aktif terhadap gram–, rusak oleh aktivitas beta-laktamase seperti gambar di bawah ini:



Mekanisme aksi obat melalui penghambatan enzim
Semua obat turunan penisilin memiliki efek bakteriosida melalui penghambatan sintesis dinding sel bakteri yaitu dengan mencegah cross-linking rantai peptida-mucosaccharide. Jika dinding sel tidak disintesis dengan benar, maka air mudah masuk ke dalam sel bakteri yang menyebabkan sel menggembung dan akhirnya meledak/hancur.

Sintesis dinding sel bakteri
Dinding sel bakteri esensial untuk pertumbuhan bakteri. Peptidoglikan merupakan komponen dinding sel bakteri yang heteropolymeric yang menjaga rigiditas dan stabilitas melalui cross-linked struktur rantai. Peptidoglikan terdiri dari rantai peptida cross-linked dengan rantai glikan yang linier dengan dua gugus amino gula (N-acetylglucosamine dan N-acetylmuramic acid, NAG-NAM). Pada bakteri gram+, dinding sel terdiri dari 50-100 molekul peptidoglikan, tapi pada gram– hanya 1-2 molekul (gambar 2).


Gambar 2. Perbandingan struktur dan komposisi dinding sel bakteri gram+ dan gram–

Biosintesis peptidoglikan melibatkan 30 jenis enzim dalam bakteri dan terjadi melalui 3 tahap:
pertama, pembentukan prekursor, terjadi di sitoplasma, menghasilkan produk uridine diphosphate (UDP)-acetylmuramyl-pentapeptide, disebut sebagai "Park nucleotide". Produk ini terakumulasi dalam sel ketika tahap ini dihambat. "Park nucleotide" selanjutnya digandeng dengan suatu dipeptida D-alanil-D-alanin. (Sintesis dipeptida ini sebelumnya melibatkan proses rasemisasi L-alanin dan kondensasi yang dikatalis oleh D-alanil-D-alanin sintetase.)
kedua, terbentuk ikatan antara UDP-acetylmuramyl-pentapeptide dan UDP-acetylglucosamine (dengan melepaskan nukleotida uridin) untuk membentuk polimer yang panjang.
ketiga, tahap penyelesaian cross-link. Tahap ini disempurnakan oleh reaksi transpeptidasi, dikatalis enzim transpeptidase, terjadi pada membran sel bagian luar. Residu glisin terminal pada jembatan pentaglycine diikatkan pada residu keempat (D-alanin) dari pentapeptida "Park nucleotide", melepaskan residu D-alanin yang kelima.
Tahap akhir inilah yang dihambat oleh antibiotik beta-laktam yaitu dengan menghambat aktivitas enzim transpeptidase (penisilin mengikat residu serin enzim transpeptidase) secara irreversible (gambar 3) hingga terjadi hambatan proses transpeptidasi antar rantai peptidoglikan, gangguan pada pertumbuhan dan sintesis dinding sel bakteri terhambat. Sekumpulan protein sebagai tempat terikatnya penisilin dan sefalosporin pada dinding sel bakteri disebut penicillin-binding proteins (PBPs).


Gambar 3. Reaksi transpeptidase pada Staphylococcus aureus yang dihambat oleh antibiotik beta-laktam

2. Menghambat metabolisme sel mikroba

Mikroba memerlukan PABA (p-aminobenzoic acid) untuk membentuk asam folat yang digunakan untuk sintesis purin dan asam-asam nukleat (gambar 4). PABA direduksi menjadi asam dihidrofolat dan asam tetrahidrofolat masing-masing dikatalis oleh enzim dihidropteroat sintetase dan dihidrofolat reduktase. Aktivitas kedua enzim tersebut dihambat oleh sulfonamid (berkompetisi dengan PABA) dan trimetoprim. Kombinasi trimetoprim-sulfametoksazol (kotrimoksazol) memberikan efek sinergistik kuat karena mampu menghambat aktivitas dua enzim tersebut. Tetrahidrofolat penting karena diperlukan untuk reaksi transfer 1 atom C pada pembentukan basa purin, asam amino metionin dan glisin.
Sulfonamid merupakan penghambat bersaing PABA. Sel mikroba mampu mensintesis asam folat sendiri, sedangkan manusia tidak dapat mensintesis asam folat (intake asam folat diperoleh dari luar). Oleh karena itu, sel-sel mamalia tidak dipengaruhi oleh sulfonamid karena menggunakan folat jadi yang terdapat dalam makanan (tidak mensintesis sendiri senyawa tersebut). Dalam proses sintesis asam folat, bila PABA digantikan oleh sulfonamid, maka akan terbentuk analog asam folat yang tidak fungsional. Contoh lain obat yang menghambat metabolisme sel mikroba adalah PAS, etambutol, dan sulfon (dapson).

Gambar 4. Reaksi sintesis purin dan asam nukleat

3. Mengganggu permeabilitas membran sel mikroba

a. Golongan polimiksin mengganggu permeabilitas membran sel mikroba dengan berikatan dengan gugus fosfat pada fosfolipid membran sel mikroba ð mengganggu fungsi pengaturan osmosis.
b. Tidak efektif untuk kuman gram positif.
c. Golongan polien (nistatin) berikatan dengan struktur sterol (ergosterol) membran sel fungi sehingga golongan ini tidak sensitif untuk bakteri, virus, dan ricketsia, tapi spesifik untuk infeksi fungi.
4. Menghambat sistesis protein sel mikroba
Contoh: golongan aminoglikosida (paramomisin, gentamisin, kanamisin, neomisin, tobramisin, netilmisin, amikasin), golongan makrolida (eritromisin, streptomisin, spiramisin, roksitromisin, klaritromisin), linkomisin, klindamisin, tetrasiklin, dan kloramfenikol.
Golongan aminoglikosida dan tetrasiklin mengikat komponen ribosom 30S pada bakteri, sedangkan golongan makrolida, linkomisin, dan klindamisin mengikat komponen ribosom 50S.
Kloramfenikol dan tiamfenikol menghambat enzim peptidil transferase sehingga tidak terbentuk ikatan transpeptidase ð tidak terbentuk protein.

5. Menghambat sintesis asam nukleat
Misal: rifampisin dan golongan kuinolon (asam nalidiksat, siprofloksasin, ofloksasin, norfloksasin, pefloksasin, enoksasin).
Rifampisin berikatan dengan enzim RNA-polymerase ð menghambat sintesis RNA dan DNA.
Inti RNA-polymerase dari berbagai sel eukariotik tidak mengikat rifampisin sehingga sintesis asam nukleat mamalia (hospes) tidak terpengaruh.
Golongan kuinolon mengikat enzim DNA girase ð kromosom tidak tertata (tidak membentuk spiral) ð sintesis DNA tidak sempurna.

6. Menghambat pembelahan sel mikroba
Isoniazid dan pirazinamid ð menghambat biosintesis asam mikolat.

B. Antijamur
Amfoterisin B, ketokonazol, itrakonazol, flukonazol
– Fungistatik & fungisida
– Berikatan dgn ergosterol (komponen membran sel fungi) ð membran sel bocor ð kehilangan bhn2 intrasel ð irreversibel
Flusitosin
– Mekanisme: bergabung dgn RNA setelah mengalami deaminasi mjd 5-fluorourasil ð sintesis DNA ð sintesis protein
– Keadaan ini tdk tjd pd sel mamalia (flusitosin tdk diubah mjd 5-fluorourasil ð aman bagi hospes)

Griseofulvin
– Menghambat mitosis jamur dgn mengikat protein mikrotubuler dlm sel jamur
– Fungisida
Mikonazol, klotrimazol, ekonazol, isokonazol, tiokonazol, bifonazol
Mekanisme:
– Berikatan dengan ergosterol (komponen membran sel fungi) ð membran sel bocor ð kehilangan bahan-bahan intrasel ð irreversibel
– Mengganggu sintesis asam nuklet
– Menimbun peroksida dlm sel jamur ð kerusakan sel jamur
Antijamur Topikal:
– Kandisidin, asam benzoat-asam salisilat, asam undesilenat, haloprogin, natamisin, siklopiroksolamin

C. Antimalaria
Malaria, dikelompokkan berdasar penyebabnya:
Tropika ð Plasmodium falcifarum
Tertiana ð Plasmodium vivax
Kuartana ð Plasmodium malariae
Manusia ð hospes antara
Nyamuk anopheles ð
a. Vektor
b. Hospes definitif
KLASIFIKASI
Skizontosid jaringan dan darah
– Bekerja thdp merozoit (fase eritrosit)
– Tdk terbentuk skizon baru ð tdk tjd penghancuran eritrosit ð mengendalikan serangan klinik
– Klorokuin, kuinin, meflokuin
– Bekerja jg pd skizon yg br memasuki jar hati ð Tahap infeksi eritrosit dpt dicegah ð terapi kausal
Pirimetamin, primakuin
– Skizontosid kerja cepat: Halofantrin
Gametosid
– Membunuh gametosid dlm eritrosit
– Klorokuin, kuinin, meflokuin ð P. vivax, P. malariae
– Primakuin ð P. falcifarum

3. Sporontosid
– Menghambat perkembangan gametosit
– Rantai penularan terputus
– Primakuin, kloroguanid
Mekanisme
Menghambat DNA-polimerase & RNA-polimerase
– Berikatan dgn guanin rantai DNA
– Obat terakumulasi pd eritrosit nyamuk anopheles
– Klorokuin, primakuin, kuinin, meflokuin
Menghambat enzim dihidrofolat reduktase plasmodia ð pembelahan inti pd pertumbuhan skizon di hati terhambat (Mis. Pirimetamin)
Menghancurkan tissue stage form plasmodia (Mis. Primakuin)
Mengikat folat dlm tubuh nyamuk (Mis. Proguanil, kloroguanid)
Menghambat sintesis protein dlm tubuh nyamuk: artemisinin



SITOSTATIKA (antikanker)

Kanker
penyakit yang ditandai dengan pembelahan sel yang tidak terkendali, serta kemampuan dari sel-sel tersebut untuk menyerang jaringan biologis lainnya, baik dengan pertumbuhan langsung di jaringan yang bersebelahan (invasi) atau dengan migrasi sel ke tempat yang jauh (metastasis).
Penyebaran kanker:
• jaringan tetangga: paru-paru dan hati
• jaringan lain
Factor penyebab:
Virus
Hormon
Penyinaran yang berlebih
Senyawa kimia
Makanan tertentu
Kelemahan genetis pada sel-sel tubuh

Mutasi DNA, sel, gen apoptosis (p53), tumor supresor gen
Menurunnya ekspresi dan fungsi tumor supresor gen shg sel tdk sensitif thdp sinyal anti pertumbuhan
Kesalahan dlm mitosis
Tdk ada kontrol pertumbuhan (memiliki kemampuan replikasi tdk terbatas)
Pertumbuhan sel kanker bersifat keseimbangan positif (jumlah sel yg dibuat > jumlah sel yg mati, kecepatan proliferasi sel > mekanisme apoptosis)
Meningkatkan ekspresi dan fungsi onkogen
What is “oncogene”?
Originally, identified as:
Genes responsible for establishing tumor cell lines

Activation of c-src in human cancer e.g. causal roles in colorectal cancer etc.

Mempunyai mekanisme angiogenesis (indikator adanya potensi metastasis)
mampu melakukan metastasis & invasi

FASE KARSINOGENESIS
Inisiasi
• Tahap awal karsinogenesis
• Tjd perubahan genetik dlm sel yg (krn mutasi gen/sel, kesalahan selama proses mitosis, zat karsinogenik) menyebabkan abnormalitas proliferasi sel tunggal tp blm menimbulkan kanker
Promosi
• Sel tumbuh sangat cepat membtk sebuah formasi kecil (tumor, benigna)
• Tjd peningkatan kecepatan proliferasi yg dpt menyebabkan kerusakan sel (ekspresi COX-2 tinggi)
Progresi
• Sel tumbuh mjd sebuah kumpulan sel yg besar dgn tingkat kecepatan proliferatif yg tinggi
• Tjd peningkatan mobilitas
• Terbentuk angiogenesis
Metastasis
• Masuknya sel kanker ke sirkulasi darah, jaringan limfatik, dan tjd perlekatan sel kanker pd permukaan jaringan baru dlm tubuh
• Menyebar ke jaringan tetangga dan tumbuh di sana

JENIS KANKER
Karsinoma
• Kanker yg tumbuh dr jar.epitel yg meliputi membran mukosa dan kelenjar
• Kanker payudara, paru2, ovarium
Sarkoma
• Kanker yg tumbuh dr jar.mesodermal yg meliputi dr jar.ikat, tulang, sel otot
Blastoma
• Kanker yg tumbuh dr sel hemopoetik dan jar.darah yg meliputi jar.limfoid, sel erithroid
Leukimia
• Kanker yg tumbuh dr leukosit

PENGOBATAN KANKER

Kemoterapi (sitostatika), pembedahan (operasi), penyinaran (radioterapi), imunoterapi (meningkatkan daya tahan tubuh), pengobatan dgn hormon

tujuannya :
Menghilangkan semua sel kanker di tubuh, bahkan saat telah menyebar
Memperpanjang harapan hidup dengan membatasi pertumbuhan dan penyebaran kanker
Menyembuhkan gejala dan meningkatkan kualitas hidup

JENIS SITOSTATIKA

Tumbuh → sintesis DNA, sintesis protein
ð anti pertumbuhan (anti EGFR)
mekanisme kematian sel kanker = apoptosis
ð induksi apoptosis
Proliferasi sel ð antiproliferatif (doxorubucin, tamoxifen (mengeblok estrogen shg tdk terikat dgn reseptornya, flavopiridol, genistein)
Perkembangan pembuluh darah (angiogenesis)
• pensuplay oksigen dan nutrisi ke dalam sel melalui pembuluh darah à sel kanker dengan cepat mengalami pertumbuhan, perkembangan, serta pembelahan
ð antiangiogenesis (inhibitor angiogenesis)

Chemoprevention ð antioksidan (vit.C, vit.E, resveratrol, genistein, epigallocathecin-3-gallate (EGCG), gingerol, kurkuminoid, betakaroten, flavonoid)
COX-2 inhibitor (coxib drugs, meloksikam, tenoksikam)
Analgetik opioid
Bekerja pada cell cycle ???

ANTIANGIOGENESIS

obat yang bekerja dengan mengeblok angiogenesis, dalam perkembangan pembentukan pembuluh darah pada tumor
Anti-VEGF, avastin, talidomid, vitaxin, zoledronate, endostatin, combretastatin, angiostatin, suramin
Resveratrol, genistein, EGCG, silymarin, apigenin

INDUKSI APOPTOSIS

Mis.: Imexon, gemcitabin.
P53 in response to genetic damage stops the cell cycle, in case of severe damage it induces apoptosis





Sitostatika yang mempengaruhi siklus sel (spesifik)
• Antimetabolit
• Bleomisin
• Alkaloid Podofilin
• Alkaloid Tanaman
Sitostatika yang mempengaruhi siklus sel (non-spesifik)
• Senyawa pengalkil (Alkylating Agents)
• Antibiotik
• Sisplatin
• Nitrosourea

• Sitostatika yang mempengaruhi siklus sel (spesifik) digunakan pada tumor dengan pertumbuhan dan proliferasi sel yang cepat
• Sitostatika yang mempengaruhi siklus sel (non-spesifik) mengikat DNA dan merusaknya. Digunakan pada pertumbuhan fraksi tumor padat yang lambat menjadi fraksi tumor yang tumbuh secara cepat
• Sitostatika yang mempengaruhi siklus sel (spesifik) hanya membunuh/menghambat terjadinya siklus sell, sedangkan sitostatika yang mempengaruhi siklus sel (non-spesifik) membunuh sel yang terlibat dalam siklus sel juga sel-sel di luar siklus sel (G0 /quiescent)
• Sel yang terlibat dalam siklus sel lebih sensitif

Alkylating Agents
Mechanism of Action

Alkylate within DNA at the N7 position of guanine
Resulting in miscoding through abnormal base-pairing with thymine or in depurination by excision of guanine residues, leading to strand breakage
Cross-linking of DNA and ring cleavage may also occur



FOLAT
Folic acid analogues

An essential factor, from which THF cofactors are formed which provide single carbon groups for the synthesis of precursors of DNA and RNA
Folate is involved with methylations such as the one above that converts uracil to thymine.
The chemotherapy drug methotrexate blocks the processing of folate into an active form (DHF ð THF). The net effect is the same as with flurouracil

VINCA ALKALOIDS
Inhibit microtubules (spindle), causing metaphase cell arrest in M phase.
Resulting : in mitotic arrest at metaphase, dissolution of the mitotic spindle,
chromosome segregation.

Antibiotic
Anthracyclines- Doxorubicin Daunorubicin
Dactinomycin
Plicamycin
Mitomycin
Bleomycin

Anthracyclines, Mechanism of Action

High-affinity binding to DNA, resulting in blockade of DNA and RNA synthesis
DNA strand scission via effects on Top II
Binding to membranes altering fluidity
Generation of the semiquinone free radical and oxygen radicals

Anthracyclines, Therapeutic Uses
Doxorubicin- carcinomas of the breast, endometrium, ovary, testicle, thyroid, and lung, Ewing’s sarcoma, and osteosarcoma
Daunorubicin- acute leukemia

Dactinomycin, Mechanism of Action
Binds to double stranded DNA through intercalation between adjacent guanine-cytosine base pairs
Inhibits all forms of DNA-dependent RNA synthesis


Anti-estrogens
Tamoxifen (SERMs)
Raloxifene (SERMs)
Faslodex

Tamoxifen
Selective estrogen receptor modulator (SERM),
Binds to estrogen receptors (ER) and induces conformational changes in the receptor
Has antiestrogenic effects on breast tissue.
Subsequent to tamoxifen ER binding, the expression of estrogen dependent genes is blocked or altered
Resulting in decreased estrogen response.

Tamoxifen, Therapeutic Uses
Tamoxifen can be used as primary therapy for metastatic breast cancer in both men and postmenopausal women
Patients with estrogen-receptor (ER) positive tumors are more likely to respond to tamoxifen therapy

Aromatase Inhibitors
Aminogluthethimide
Anastrozole

Aminogluthethimide, Mechanism of Action
Inhibitor of adrenal steroid synthesis at the first step, conversion of cholesterol of pregnenolone
Inhibits the extra-adrenal synthesis of estrone and estradiol
Inhibits the enzyme aromatase that converts androstenedione to estrone



Resistensi sitostatika
Peningkatan ekspresi gen MDR-1 pada permukaan sel glikoprotein, P-glikoprotein
Gen MDR-1 terlibat dengan efflux obat
Obat yang mengalami reverse multidrug resistance termasuk verapamil, kuinidin, dan siklosporin
MDR meningkatkan resistensi sitostatika alami (dari tanaman obat alam) di antaranya antrasiklin, alkaloid vinca, dan epipodofilotoksin








ANTIVIRUS
VIRUS
Parasit intrasel yang mampu mereplikasi diri dalam hospes
Terdiri dari: inti genome dalam suatu kapsul protein yang dikelilingi oleh lipoprotein.
Tanpa dinding sel dan membrane sel
Tidak ada proses metabolisme (carry out)
Replikasi diri tergantung pada ‘mesin’ hospes
Tahap replikasi virus
1) adsorpsi dan penetrasi ke dalam sel hospes
2) uncoating asam nukleat virus
3) sintesis protein pengatur
4) sintesis RNA atau DNA
5) sintesis protein struktur
6) penyusunan partikel virus
7) release dari sel hospes

TARGET AKSI ANTIVIRUS

ANTIVIRUS
Mengeblok masuknya virus ke sel hospes atau bekerja di dalam sel hospes (jika virus telah masuk ke sel hospes)
Pada umumnya merupakan analog nukleotida pirimidin atau purin
ANTIHERPES
Acyclovir - sebagai prototype
Valacyclovir
Famciclovir
Penciclovir
Trifluridine
Vidarabine
Mekanisme aksi Acyclovir
Suatu turunan guanosin asiklik
Terfosforilasi oleh enzim timidin kinase virus
Mengalami di-dan tri-fosforilasi oleh enzim selular sel hospes
Menghambat sintesis DNA virus dengan:
1) berkompetisi dengan dGTP (untuk DNA polymerase virus)
2) terminasi rantai DNA



Mekanisme resistensi Acyclovir
perubahan/mutasi enzim timidin kinase virus
perubahan/mutasi enzim DNA polymerase virus
Cross-resistance dengan valacyclovir, famciclovir, dan ganciclovir
Penggunaan klinik Acyclovir
oral, I.V., dan topikal
diekskresi oleh filtrasi glomerular dan sekresi tubular
Untuk:
Herpes Simplex Virus 1 dan 2 (HSV)
Varicella-zoster virus (VZV)
Efek samping: mual, diare, sakit kepala, tremor, dan delirium
Penggunaan klinik Valacyclovir
Merupakan bentuk ester (L-valyl ester) dari acyclovir
Diubah menjadi acyclovir when ingested
M.O.A.: same as acyclovir
Uses:
1) recurrent genital herpes
2) herpes zoster infections
Side Effects: nausea, diarrhea, and headache
Penggunaan klinik Famcyclovir
Prodrug dari penciclovir (suatu analog guanosin)
M.O.A.: same as acyclovir
does not cause chain termination
Uses: HSV-1, HSV-2, VZV, EBV, and hepatitis B
Side Effects: nausea, diarrhea, and headache
Penggunaan klinik Trifluridine
Trifluridine-fluorinated pyrimidine
inhibits viral DNA synthesis same as acyclovir
incorporates into viral and cellular DNA
Uses: HSV-1 and HSV-2 (topically)
Penggunaan klinik Vidarabine
Suatu analog adenosin
Menghambat enzim DNA polymerase virus
incorporated into viral and cellular DNA
metabolized to hypoxanthine arabinoside
Side Effects: GI intolerance and myelosuppression
Anti-Cytomegalovirus (Anti-CMV)
Gancyclovir
Valgancyclovir
Cidofovir
Foscarnet
Fomivirsen
Gancyclovir
An acyclic guanosine analog
requires triphosphorylation for activation
monophosphorylation is catalyzed by a phosphotransferase in CMV and by thymidine kinase in HSV cells
M.O.A.: same as acyclovir
Uses: CMV*, HSV, VZV,and EBV
Side Effect: myelosuppression
Valgancyclovir
Monovalyl ester prodrug of gancyclovir
Metabolized by intestinal and hepatic esterases when administered orally

M.O.A.: same as gancyclovir
Uses: CMV*
Side Effect: myelosuppression
Cidofovir
A cytosine analog
phosphorylation not dependent on viral enzymes
Uses: CMV*, HSV-1, HSV-2, VZV, EBV, HHV-6, adenovirus, and human papillomavirus
Side Effects: nephrotoxicity (prevented by admin. of probenecid)
Resistance: mutation in DNA polymerase gene
Foscarnet
An inorganic pyrophosphate
inhibits viral DNA polymerase, RNA polymerase, and HIV reverse transcriptase
does not have to be phosphorylated
Uses: HSV, VZV, CMV, EBV, HHV-6, HBV, and HIV
Resistance due to mutations in DNA polymerase gene
Side Effects: hypo- or hypercalcemia and phosphotemia
Fomivirsen
An oligonucleotide
M.O.A.: binds to mRNA and inhibits protein synthesis and viral replication
Uses: CMV retinitis
Side effects: iritis and increased intraocular pressure




Antiretrovirus
1) Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTIs)
2) Nonnucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTIs)
3)Protease inhibitors
Reverse Transcriptase Inhibitors
Zidovudine (AZT)
Didanosine- causes pancreatitis*
Lamivudine- causes pancreatitis
Zalcitabine- causes peripheral neuropathy*
Stavudine- causes peripheral neuropathy*
Abacavir
Mechanism of Action Zidovudine (AZT)
A deoxythymidine analog
enters the cell via passive diffusion
must be converted to the triphosphate form by mammalian thymidine kinase
competitively inhibits deoxythymidine triphosphate for the reverse transcriptase enzyme
causes chain termination
Mechanism of Resistance Zidovudine
Due to mutations in the reverse transcriptase gene

more frequent after prolong therapy and in persons with HIV
Clinical Uses Zidovudine
Available in IV and oral formulations
activity against HIV-1, HIV-2, and human T cell lymphotropic viruses
mainly used for treatment of HIV, decreases rate of progression and prolongs survival
prevents mother to newborn transmission of HIV
Side Effects Zidovudine
Myelosuppression, including anemia and neutropenia
GI intolerance, headaches, and insomnia
Other NRTIs
Didanosine- synthetic deoxy-adenosine analog; causes pancreatitis*
Lamivudine- cytosine analog
Zalcitabine- cytosine analog; causes peripheral neuropathy*
Stavudine- thymidine analog;causes peripheral neuropathy*
Abacavir- guanosine analog; more effective than the other agents; fatal hypersensitivity reactions can occur
Nucleotide Inhibitors
Tenofovir
Adefovir
Tenofir
An acyclic nucleoside phosphonate analog of adenosine
M.O.A.- competively inhibits HIV reverse transcriptase and causes chain termination after incorporation into DNA
Uses – in combination with other antiretrovirals for HIV-1 suppression
Adefovir
An analog of adenosine monophosphate
Phosphorylated by cellular kinases
M.O.A. - Competitively inhibits HBV DNA polymerase and results in chain termination after incorporation into viral DNA
Uses - Hepatitis B
Side effects – nephrotoxicity

Nonnucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTIs)
Nevirapine- prevents transmission of HIV from mother to newborn when given at onset of labor and to the neonate at delivery
Delavirdine- teratogenic, therefore can not be given during pregnancy
Efavirenz- teratogenic, therefore can not be given during pregnancy
Mekanisme aksi NNRTIs
Bind to site on viral reverse transcriptase, different from NRTIs
results in blockade of RNA and DNA dependent DNA polymerase activity
do not compete with nucleoside triphosphates
do not require phosphorylation
these drugs can not be given alone
substrates and inhibitors of CYP3A4
Protease inhibitors
Indinavir
Ritonavir
Saquinavir
Nelfinavir
Amprenavir
Protease inhibitors
The protease enzyme cleaves precursor molecules to produce mature, infectious virions
these agents inhibit protease and prevent the spread of infection
These agents cause a syndrome of altered body fat distribution, insulin resistance, and hyperlipidemia
Indinavir and Ritonavir
M.O.A.: Specific inhibitors of the HIV-1 protease enzyme
M.O.R.: mediated by expression of multiple and variable protease amino acid substitutions
Side Effects:hyperbilirubinemia
Contraindications:inhibitor/substrate for CPY3A4, do not give with antifungal azoles
Saquinavir
A synthetic peptide-like substrate analog
inhibits HIV-1 protease
prevents cleavage of viral polyproteins
Nelfinavir and Amprenavir
M.O.A.: Specific inhibitors of the HIV-1 protease enzyme
M.O.R.: mediated by expression of multiple and variable protease amino acid substitutions
Less cross-resistance with Amprenavir
Side Effects: diarrhea and flatulence
Amprenavir can cause Stevens-Johnson syndrome
Contraindications:inhibitor/substrate for CPY3A4
Fusion Inhibitors
Enfuvirtide (T-20)- binds to the gp41 subunit of the viral envelope glycoprotein, preventing the conformational changes required for fusion of the viral and cellular membranes
By blocking fusion (entry into cell), FUZEON prevents HIV from infecting CD4 cells


Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI), non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI) and protease inhibitor (PI) classes prevent the replication of HIV by working inside CD4 cells after they have been infected with HIV. The drugs in these three classes then target specific steps in the replication process to prevent the creation of new HIV particles.
Fusion inhibitors differ from these drugs because they work on the outside of the cell to prevent HIV from fusing with, and infecting the CD4 cells in the first place.

Anti-Hepatitis Agents
Lamivudine -Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI)
Adefovir -Nucleotide Inhibitor
Interferon Alfa
Pegylated Interferon Alfa
Ribavirin
Interferon
Interferon Alfa
Endogenous proteins
induce host cell enzymes that inhibit viral RNA translation and cause degradation of viral mRNA and tRNA
Bind to membrane receptors on cell surface
May also inhibit viral penetration, uncoating, mRNA synthesis, and translation, and virion assembly and release
Pegylated interferon Alfa
A linear or branced polyethylene gylcol (PEG) moiety is attached to covalently to interferon
Increased half-life and steady drug concentrations
Less frequent dosing
Tx chronic hepatitis C in combination with ribavirin
Ribavirin
A guanosine analog
phosphorylated intracellularly by host enzymes
inhibits capping of viral messenger RNA
inhibits the viral RNA-dependent RNA polymerase
inhibits replication of DNA and RNA viruses

Antiinfluenza
Amantadine
Rimantadine
Zanamivir
Amantadine dan Rimantadine
Suatu amin siklik
Menghambat uncoating RNA virus sehingga menghambat replikasi virus
resistance due to mutations in the RNA sequence coding for the structural M2 protein
untuk pencegahan dan pengobatan Influenza A
Zanamivir dan Oseltamivir
menghambat enzim neuraminidase
menghambat replikasi virus influenza A dan Influenza B
untuk infeksi influenza yang uncomplicated
intranasal


ANTIHISTAMIN



• Histamine is a biogenic amine formed by the enzymatic decarboxylation of histidine.
• In a human organism, histamine is stored in its inactive form in mast cell and basophil granules.
• The physiological secretion of histamine can be initiated by a number of factors, all of which involve binding of IgE, cross-linked by antigen, to the mast cell or basophil’s Fc receptors causing degranulation of these cells.
• Once released, histamine binds to a number of different target cell receptors causing the symptomatic effects of allergies.

• Mast cells and basophils derive from haematopoietic stem cell.
• They are both have high affinity IgE receptors on their surface.
• However, they are known to be morphologically distinct, have different staining characteristics and that human basophils and mast cells differ in many functional aspects such as the response to stimuli, and the mediators they produce.

• Biological activities of histamine in humans are dependent on plasma levels.
Histamine(ng/ml) Biological activities
0-1 None
1-2 Enhanced gastric acid secretion
3-5 Tachycardia, skin reaction
6-8 Decreased arterial pressure
7-12 Broncho-spasms
Approx. 100 Cardiac arrest

• Amine yg scr biologis aktif (histamin yg terikat tdk aktif)
• Kandungan histamin pd berbagai jar scr langsung berkaitan dgn kandungan sel mastnya
• Histamin yg tdk berasal dr sel mast
– Ditemukan di jar otak

• Fs. fisiologi histamin
– Sbg neurotransmiter
– Kontrol neuroendokrin
– Regulasi kardiovaskuler
– Pengaturan suhu
– Pembangkitan gairah (arousal)
– Berperan pd sekresi as. Lambung

“histamine mediates the allergic symptoms by binding to some receptor of histamine on the cell”
Allergic symptoms including: sneezing, runny nose, itching, watery eyes.

HISTAMINE RECEPTORS: 1, 2, 3, …
H1: brain, smooth muscle from airways, gastrointestinal (GI) tract, genitourinary system, the cardiovascular system, adrenal medulla, and endothelial cells, and lymphocytes.
H2: mediate the histamine induced gastric acid secretion. Antihistaminic agents that target H2 receptor such as cemetidine and tagamet are used to treat some gastrointestinal diseases such as peptic ulcers.
H3: “neural autoreceptor (presynaptic) serving to modulate histamine synthesis and release in the CNS”; one step up in the chain of histamine action
H4: found primarily in intestinal tissue, spleen, thymus, and immune active cells (such as T cells, neutrophils, and eosinophils), “which suggests an important role for H4 receptors in the regulation of immune function”.

• Subtipe-subtipe reseptor (R) histamin

Subtipe R Distribusi Mekanisme pascareseptor Antagonis


H1 O. polos bronkus, ↑ IP3, ↑ DAG mepyramine
GI, endotelium, otak tripolidine

H2 Mukosa lambung ↑ cAMP ranitidine
o. jtg, sel mast, otak tiotidine

H3 Prasinaps otak, sel- Coupled thioperamide
sel syaraf lain G-protein clobenpropit
iodophenpropit

First antihistamines

Toxic The first compound that was
used to treat human clinically.


FIRST GENERATION (Classical Antihistamines)
“compete against the receptors’ natural substrate, histamine, in binding to the receptors “










Side Effects: fatigue, dizziness, and sedation.
Due to: Structure fits relatively well to serve as an anticholinergic agent (specifically at the muscarinic receptor) and has the ability to penetrate the blood brain barrier due to their relative lipophilicity.

SECOND GENERATION (Non-sedative Antihistamines)

“the primary objective of antihistamine research over the past 10-15 years has centered on developing new drugs with higher selectivity for H1 receptors and lacking undesirable CNS actions”
Goal : designing antihistamines with “reduced ability to penetrate the CNS and decreased affinity for central histamine receptors”









Eliminated anticholinergic and antiadrenergic effects via bulky groups.
Researches also show that fexofenadine cannot cross the blood-brain barrier (note the polar COOH and OH).

Contoh lain: Loratadine, Siproheptadine, Mebhidroline naphadisilat, Terfenadine



AntiDiabetes
Diabetes mellitus (DM) disebut juga kencing manis atau penyakit gula. Istilah ini berasal dari bahasa yunani, diabetes: penerusan; mellitus: manis. Istilah ini menunjukkan tentang keadaan tubuh penderita, yaitu adanya cairan manis yang mengalir terus. Diabetes mellitus merupakan sekumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang ditandai dengan kadar gula darah yang melebihi normal (hiperglikemia) akibat tubuh kekurangan insulin. Gejala yang sering dikeluhkan pasien antara lain rasa haus, banyak kencing, rasa lapar tetapi berat badan turun, badan terasa lemas, kesemutan, mata kabur, dan mudah terkena infeksi (Dalimartha, 1996).
Diabetes mellitus adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh adanya gangguan menahun terutama pada sistem metabolisme karbohidrat, lemak dan juga protein dalam tubuh. Gangguan metabolisme tersebut disebabkan kurangnya produksi hormon insulin yang diperlukan dalam proses pengubahan gula menjadi tenaga serta sintesis lemak. Kondisi yang demikian itu mengakibatkan terjadinya hiperglikemia, yaitu meningkatnya kadar gula dalam darah atau terdapatnya kandungan gula dalam air kencing dan zat-zat keton serta asam (keto-asidosis) yang berlebihan. Keberadaan zat-zat keton dan asam yang berlebihan ini menyebabkan rasa haus yang terus menerus, banyak kencing, penurunan berat badan meskipun selera makan tetap baik, penurunan daya tahan tubuh atau tubuh lemah dan mudah sakit (Dalimartha, 1996; Price dan Wilson, 1995). Penderita kencing manis tidak jarang yang harus meninggal pada usia muda. Perubahan cukup besar terjadi pada tahun 1921, yaitu setelah Dr. Frederick Banting dan Prof. Charles Best (keduanya dari Inggris), berhasil menemukan suatu zat yang disebut insulin. Dengan bantuan penambahan insulin buatan, para penderita kencing manis dapat hidup dengan lebih baik dan dapat mencapai usia relatif normal (Price dan Wilson, 1995).
Klasifikasi Diabetes Mellitus
1. Diabetes mellitus
a. Tipe I : Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)
b. Tipe II : Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)
2. Gangguan toleransi glukosa
3. Diabetes karena malnutrisi
4. Diabetes saat kehamilan (Price dan Wilson, 1995).
a. Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)
Penyakit ini umumnya diderita oleh orang muda berusia 30 tahunan atau bahkan sejak anak-anak sehingga dinamakan juvenil onset diabetes. Penyakit diabetes tipe ini disebabkan oleh adanya defisiensi insulin. Hal itu terjadi karena ada kerusakan -pankreas yang merupakandari sel sel penghasil insulin. Kerusakan tersebut akibat peradangan yang timbul karena faktor lingkungan, bisa berupa virus yang menyerang atau zat kimia toksik. Diabetes tipe ini sangat tergantung pada keberadaan insulin eksogen yang biasa diberikan melalui injeksi insulin (Adam dan Adam, 2002; Chang, 2002; Price dan Wilson,1995).
b. Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)
Penyakit ini umumnya diderita orang dewasa yang berusia 40 tahun keatas -pankreas penderita masihsehingga disebut adult onset diabetes. Sel berfungsi tapi tidak efektif, kemampuannya dalam mensekresi insulin menurun. Pengobatan biasanya bertujuan untuk memelihara konsentrasi darah dalam batas normal dan mencegah komplikasi lebih lanjut. Pengurangan berat badan (diet) dan olah raga merupakan terapi primer sedangkan terapi sekunder dengan pemberian obat-obat antidiabetika oral (Adam dan Adam, 2002; Chang, 2002; Price dan Wilson, 1995).
Faktor-faktor yang memicu timbulnya diabetes, diantaranya adalah :
a. keturunan, 15-20% penderita Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) mempunyai riwayat keluarga diabetes mellitus, sedangkan pada Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) sebanyak 60% berasal dari keluarga diabetes mellitus
b. virus, akibat penyakit parotis (infeksi virus yang menyerang sel β-pankreas) dapat meningkatkan Diabetes Mellitus (DM) pada anak-anak
c. kegemukan, pada orang gemuk aktifitas insulin di jaringan lemak dan otot menurun
d. usia, pada orang-orang yang telah berumur aktifitas sel β-pankreas untuk menghasilkan insulin menurun, selain itu sensitivitas sel-sel jaringan berkurang sehingga tidak menerima insulin
e. diet, pola makan tinggi karbohidrat
f. hormon, beberapa hormon seperti glukagon, hormon pertumbuhan, tiroksin, epinefrin, dan kortison mempunyai aktivitas antagonis terhadap insulin
g. obat, jenis obat-obatan seperti diuretika, adrenalin, kortikosteroid, kontrasepsi oral dapat meningkatkan kadar glukosa darah (Chang, 2002).
c. Gangguan toleransi glukosa
Pengaturan kadar glukosa yang stabil dalam darah adalah mekanisme homeostatik yang merupakan kesatuan proses ikut berperannya hati, jaringan ekstra hepatik, dan beberapa hormon. Pada kondisi kadar glukosa darah normal (80-100 mg/dl), hati ternyata merupakan satu-satunya penghasil glukosa. Pada kondisi puasa, kadarnya menurun menjadi sekitar 60-70 mg/dl. Dalam keadaan normal kadar glukosa darah terkontrol dalam batas-batas tersebut. Gangguan toleransi gula terjadi karena adanya peningkatan kadar glukosa diatas normal. Orang yang mengidap gangguan toleransi gula mempunyai resiko untuk menjadi penderita diabetes mellitus tipe II (Dalimartha, 1996).
Kemampuan tubuh dalam memanfaatkan glukosa dapat ditentukan dengan mengukur toleransi glukosa yang ditunjukkan dengan sifat kurva glukosa darah setelah pemberian glukosa. Diabetes mellitus ditandai dengan berkurangnya toleransi tubuh terhadap glukosa yang disebabkan berkurangnya sekresi insulin. Hal ini dimanifestasikan dengan kadar glukosa darah yang makin meningkat (hiperglikemik) disertai glikosuria dan perubahan pada metabolisme lemak (Suharmiati, 2003).
d. Diabetes mellitus karena malnutrisi
Terjadinya defisiensi gizi (malnutrisi), defisiensi enzim atau sekresi hormon yang abnormal dapat menyebabkan penyakit diabetes mellitus (Robert dan Murray, 1995).
e. Diabetes mellitus saat kehamilan
Diabetes mellitus saat kehamilan adalah penyakit diabetes mellitus yang timbul selama penderita hamil. Hal ini terjadi karena peningkatan sekresi berbagai hormon. Oleh karena itu kehamilan merupakan keadaan diabetogenik. Umumnya setelah melahirkan, kadar glukosa darah tersebut kembali normal (Dalimartha, 1996; Price dan Wilson, 1995).

Metabolisme karbohidrat
Metabolisme karbohidrat diawali dengan proses katabolisme karbohidrat, yaitu perubahan atau pemecahan molekul karbohidrat menjadi glukosa. Glukosa dimetabolisme menjadi piruvat dan laktat dalam semua sel mamalia dalam lintasan glikolisis. Glikolisis dapat terjadi dalam keadaan anaerob untuk menghasilkan laktat dan aerob untuk memetabolisme asam piruvat menjadi asetil ko-A yang dapat memasuki siklus asam sitrat untuk menjalani proses oksidasi lengkap menjadi CO2 dan H2O dengan pelepasan energi bebas sebagai ATP. Oleh karena itu glukosa dikatakan bahan bakar utama jaringan tubuh. Selain itu glukosa juga berperan dalam proses: (1) konversi menjadi polimer simpanan, glikogen, khususnya dalam otot rangka dan hepar, (2) lintasan pentosa fosfat yang terbentuk dari senyawa antara pada proses glikolisis, senyawa- senyawa antara ini berfungsi dalam proses biosintesis misalnya asam-asam lemak dan menjadi sumber ribosa yang penting bagi pembuatan nukleotida serta pembentukan asam nukleat, (3) triosa fosfat menghasilkan bagian gliserol pada senyawa asil gliserol (lemak) dan (4) piruvat dan senyawa antara pada siklus asam sitrat memberikan kerangka karbon untuk sintesis asam-asam amino, asetil ko-A merupakan unsur pembentuk asam-asam lemak rantai panjang serta kolesterol, yaitu prekursor semua steroid yang disintesis di dalam tubuh. Glukoneogenesis merupakan proses produksi glukosa dari prekursor bukan karbohidrat, misalnya laktat, asam amino, dan gliserol. Sedangkan glukogenesis merupakan proses produksi glukosa dari prekursor karbohidrat (Robert dan Murray, 1995). Metabolisme karbohidrat yang memperlihatkan lintasan utama dan produk akhir yang penting dapat dilihat pada Gambar 1.
Uji Kadar Glukosa Darah
Uji toleransi gula merupakan suatu metode untuk mengetahui kelainan dalam metabolisme glukosa. Keadaan diabetes dapat diinduksi dengan cara pankreatektomi dan secara kimia. Zat-zat sebagai induktor (diabetogen) dapat digunakan zat-zat kimia seperti glukosa, aloksan, streptozotosin, diasoksida, adrenalin, dan EDTA. Zat-zat tersebut mampu menginduksi diabetes, dimana semuanya terjadi gejala hiperglikemia.
Hewan percobaan yang digunakan meliputi mencit, tikus, kelinci, atau anjing. Penentuan kadar gula dapat dilakukan secara kualitatif terhadap glukosa urin dan secara kuantitatif pada glukosa darah. Penentuan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara kolorimetri atau spektrofotometri dengan Vitalab. Pereaksi kimia yang lazim digunakan untuk pembentukan warna adalah glukosa oksidase (GOD-PAP) (Anonim, 1991).
Makanan

Glikogen
Glukosa
Glukosa fosfat 3CO2

Lintasan pentosa fosfat
Triosa fosfat Ribosa fosfat
Asil gliserol
Piruvat Laktat
Asam CO2
amino
Asetil Ko-A Asam lemak
Kolesterol
Protein

Asam Siklus
amino asam sitrat



2CO2 + H2O
Gambar 1. Metabolisme karbohidrat yang memperlihatkan lintasan utama dan produk akhir yang penting (Robert dan Murray, 1995)

Terapi Diabetes Mellitus
Terapi diabetes mellitus pada prinsipnya bertujuan sebagai berikut:
a. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan dan gejala diabetes mellitus
b. Tujuan jangka panjang: mencegah atau memperlambat timbulnya komplikasi yang dapat menyerang pembuluh darah, ginjal, mata, saraf, kulit, dan kaki.
c. Tindakan atau kegiatan yang dilakukan: memberikan terapi diabetes mellitus, yakni terapi primer, yang terdiri atas diet diabetes mellitus, latihan fisik atau olahraga dan penyuluhan kesehatan; dan terapi sekunder, yang terdiri atas obat antidiabetika oral (glibenklamid, tolbutamid, klorpropamid, metformin) dan cangkok pankreas (Asdie, 1988; Dalimartha, 1996; Price dan Wilson, 1995).
Obat Antidiabetika
Obat untuk menurunkan kadar glukosa dalam darah lebih dikenal dengan istilah obat anti hiperglikemik. Obat anti hiperglikemik ada dua macam, yaitu berupa suntikan dan tablet. Obat berupa tablet lebih dikenal dengan nama anti diabetik oral atau ADO (Dalimartha, 1996).
ADO dibagi menjadi empat golongan yaitu golongan sulfonilurea, golongan biguanid, golongan akarbose dan insulin sensitizing agent.
1. Golongan sulfonilurea
Mekanisme golongan sulfonilurea dalam menurunkan kadar glukosa darah adalah dengan meningkatkan sekresi insulin dengan cara mempermudah metabolisme nutrisi sel β, meningkatkan AMP siklik sel β, dan merubah ionic fluxes didalam sel β. Golongan sulfonilurea juga memiliki mekanisme lain seperti meningkatkan sensitivitas sel β terhadap rangsangan glukosa, menekan sekresi glukagon dan meningkatkan afinitas insulin sehingga sensitivitas insulin meningkat (Tjokroprawiro, 1996).












Gambar Mekanisme aksi sulfonilurea terhadap sel β Langerhans pankreas
(Tjokroprawiro, 1996)

Obat ini hanya aktif pada diabetes mellitus tipe II yang pankreasnya tidak rusak tetapi tidak berfungsi sebagaimana dalam kondisi normal. Obat yang termasuk golongan ini antara lain tolbutamid, tolazamid, klorpropamid dan glibenklamid (Ganiswara, 1995).
2. Golongan biguanid
Biguanid berbeda dengan golongan sulfonilurea karena tidak merangsang sekresi insulin. Contoh obat golongan ini adalah metformin yang dapat digunakan sendiri maupun kombinasi dengan sulfonilurea. Metformin terutama bekerja dengan jalan mengurangi pengeluaran glukosa hati dengan cara menghambat glukoneogenesis (Harvey dkk., 2001).
Mekanisme kerja golongan biguanid meliputi :
a) Stimulasi glikolisis secara langsung dalam jaringan dengan peningkatan eliminasi glukosa dari darah,
b) Penurunan glukoneogenesis hati,
c) Peningkatan perubahan glukosa menjadi laktat oleh enterosit,
d) Penurunan kadar glukagon plasma, dan
e) Meningkatkan pengikatan insulin pada reseptor (Karam, 1997).
3. Golongan akarbose
Obat-obat ini termasuk kelompok obat baru, yang berdasarkan persaingan inhibisi enzim alfa-glukosidase dimukosa duodenum sehingga reaksi penguraian di-/polisakarida menjadi monosakarida dihambat. Dengan demikian glukosa dilepaskan lebih lambat dan absorpsinya kedalam darah juga kurang cepat, lebih rendah dan merata sehingga memuncaknya kadar glukosa dapat dihindarkan. Kerja ini mirip dengan efek dari makanan yang kaya akan serat gizi. Tidak ada kemungkinan hipoglikemia dan terutama berguna pada penderita kegemukan. Kombinasi dengan obat-obat lain akan memperkuat efeknya (Tjay dan Rahardja, 2002).
4. Insulin sensitizing agent
Tiazolidinadion adalah kelompok obat baru yang pada tahun 1996 dipasarkan di AS dan Inggris. Efek farmakologisnya luas berupa penurunan kadar glukosa dan insulin dengan jalan meningkatkan kepekaan bagi insulin dari otot, jaringan lemak dan hati. Sebagai efeknya penyerapan glukosa dalam jaringan lemak dan otot meningkat. Begitu pula menurunkan trigliserida atau asam lemak bebas dan mengurangi glukoneogenesis dalam hati. Zat ini tidak mendorong pankreas untuk meningkatkan pelepasan insulin seperti sulfonilurea (Tjay dan Rahardja, 2002).
Tolbutamid
Tolbutamid merupakan serbuk hablur, putih dan praktis putih, mempunyai rasa agak pahit dan praktis tidak berbau. Tolbutamid tidak larut dalam air, larut dalam 10 bagian alkohol dan dalam kloroform (Anonimb, 1995).

Gambar Struktur kimia tolbutamid

Gambar Struktur glibenklamid (Mutschler, 1999)
Obat ini memiliki struktur sulfonamida dimana gugus amino pada posisi para diganti dengan metil. Daya hipoglikemisnya relatif rendah, maka jarang mengakibatkan hipoglikemia dan banyak digunakan untuk diabetes mellitus tipe II (Tjay dan Rahardja, 2002).
Resorpsinya dari usus praktis lengkap, plasma t1/2-nya 4-5 jam, kerjanya bertahan 6-12 jam. Dalam prakteknya, ternyata dosis tunggal pagi hari dari 500 mg cukup efektif untuk mengendalikan kadar glukosa selama 24 jam. Dalam hati, zat ini dioksidasi menjadi metabolit inaktif yang dieksresikan 80% lewat kemih (Tjay dan Rahardja, 2002).
Tolbutamid dapat memiliki antaraksi dengan beberapa obat seperti dikumarol, salisilat, sulfonamid, fenilbutazon dan klofibrat yang menghasilkan peningkatan efek hipoglikemiknya. Antaraktan tersebut mampu mendesak tolbutamid yang terikat protein plasma sehingga kadar bentuk bebasnya meningkat. Senyawa β-bloker dapat meningkatkan efek hipoglikemik tolbutamid dengan memblok respon adrenergik terhadap hipoglikemik. Dilain pihak, efek hipoglikemik tolbutamid diturunkan oleh pemberian hormon counterregulatory misalnya kortisol, adrenalin dan hormon pertumbuhan, atau pemberian obat diuresis misalnya thiazid (Nugroho, 2001).
Insulin
Insulin (bahasa Latin insula, ”pulau”, karena diproduksi di Pulau-pulau Langerhans di pankreas) adalah sebuah hormon polipeptida yang mengatur metabolisme karbohidrat. Selain merupakan ”efektor” utama dalam homeostasis karbohidrat, hormon ini juga ambil bagian dalam metabolisme lemak (trigliserida) dan protein. Insulin adalah peptida kecil (protein) yang mengandung 51 asam amino sintesis. Protein tersebut terdiri dari dua rantai, rantai A dan B yang dihubungkan oleh jembatan disulfida (sulfur-sulfur) diantara residu sistein (Dewitt et al, 2003; Katzung dan Bertram, 1998)..

Gambar 4. Struktur insulin manusia (Dewitt et al, 2003; Katzung dan Bertram, 1998)

Insulin adalah sebuah hormon, yang secara kimia ditransportkan kedalam darah yang mengontrol dan meregulasi aktivitas tertentu sel atau organ didalam tubuh. Saat kadar glukosa darah meningkat dengan adanya makanan, pankreas akan menstimulasi pelepasan insulin kedalam aliran darah dan memerintahkan kepada jaringan untuk mengabsorbsi glukosa dari darah, yang diawali dengan berikatannya insulin dengan jaringan. Metabolisme glukosa penting untuk pertumbuhan sel dan energi dalam hubungannya dengan fungsi sel. Ketika insulin berikatan dengan reseptor dimembran sel, protein pembawa glukosa dilepaskan dari sel kepermukaan membran sel. Dari permukaan luar sel inilah protein pembawa dapat membawa glukosa kedalam jaringan dimana ia akan dimetabolisme. Tanpa insulin, sel tidak dapat mengabsorbsi glukosa yang ada didalam darah (Dewitt et al, 2003; Katzung dan Bertram, 1998).
Pada diabetes tipe I, pankreas tidak dapat menghasilkan insulin sehingga harus diberikan insulin pengganti. Pemberian insulin hanya dapat diberikan melalui injeksi, karena insulin merupakan protein yang terurai oleh pepsin lambung. Insulin diinjeksikan dibawah kulit kedalam lapisan lemak (sub kutan) setengah jam sebelum makan, biasanya dilengan, paha atau dinding perut dan digunakan jarum yang sangat kecil untuk mengurangi nyeri yang ditimbulkan. Plasma t1/2-nya hanya beberapa menit pada orang sehat. Pada penderita diabetes bisa diperpanjang sampai 123 jam, mungkin akibat pengikatan pada antibodi. Kerjanya singkat, lebih kurang 40 menit. Bentuk sediaan insulin yang baru sedang dalam penelitian, yaitu sediaan inhalasi. Namun bentuk sediaan tersebut belum dapat bekerja dengan baik karena laju penyerapannya yang berbeda menimbulkan masalah dalam penentuan dosisnya (Tjay dan Rahardja, 2002).
Lama kerjanya sediaan insulin tergantung dari tempat injeksi, dosis, aktivitas fisik dan faktor individual lainnya. Juga dari bentuk sediaan insulin yang digunakan, apakah insulin kerja cepat, sedang atau insulin kerja lambat (Tjay dan Rahardja, 2002).
1. Insulin kerja cepat
Contohnya adalah insulin regular, yang bekerja paling cepat dan paling singkat. Insulin ini sering kali mulai menurunkan kadar glukosa dalam waktu 20 menit. Mencapai puncaknya dalam waktu 2-4 jam dan bekerja selama 6-8 jam. Insulin kerja cepat seringkali digunakan oleh penderita yang mengalami beberapa kali suntikan setiap harinya dan disuntikkan 15-20 menit sebelum makan.
2. Insulin kerja sedang
Contohnya adalah insulin suspensi seng atau suspensi insulin isofan. Mulai bekerja dalam waktu 1-3 jam, mencapai puncak maksimum dalam waktu 6-10 jam dan bekerja selama 18-26 jam. Insulin ini bisa disuntikkan pada pagi hari untuk memenuhi kebutuhan selama sehari dan dapat disuntikkan pada malam hari untuk memenuhi kebutuhan sepanjang malam.
3. Insulin kerja lama
Contohnya adalah insulin suspensi seng yang telah dikembangkan. Efeknya baru timbul setelah 6 jam dan bekerja selama 28-36 jam (Tjay dan Rahardja, 2002).
Streptozotosin
Streptozotosin merupakan metabolit dari Streptomyces achromogenes, dan digunakan sebagai diabetogenik secara luas dalam berbagai eksperimental diabetes. Rakieten et al. (1963) melaporkan aktivitas diabetogenik dari streptozotosin yang spesifik citotoksik pada sel β Langerhans pankreas. Streptozotosin merupakan turunan nitrosuria glukosamin yang merupakan antibiotik, anti tumor dan anti kanker. Streptozotosin secara langsung toksik pada sel β Langerhans pankreas melalui kerusakan membran plasma, penurunan level NAD dan produksi radikal bebas yang pada akhirnya menyebabkan kematian sel (Feillet-Coudray et al., 1999).
Seperti sudah disebutkan di atas, streptozotosin dapat digunakan untuk hewan uji DM tipe I dan tipe II. Pemberian streptozotosin berbagai dosis secara intra peritoneal pada hewan uji dewasa dapat membuat DM tipe I dengan berbagai tingkat keparahan. Dosis streptozotosin 50 dan 75 mg/kg BB pada hewan uji tikus berturut-turut membentuk DM tipe I tingkat sedang dan berat. Pemberian streptozotosin pada dosis tersebut dapat merusak sel-sel β sehingga produksi insulin akan menurun secara drastis, bahkan akan berhenti pada kondisi kronis (Peredo et al., 1999). Untuk menginduksi hewan uji dengan DM tipe II dapat dilakukan dengan pemberian streptozotosin dosis 90 mg/kgBB secara intra peritoneal pada tikus neonatal dan kondisi DM tipe II ini terdeteksi setelah tikus tersebut berumur 6 minggu (Shafrir dan Mosthaf, 1999).
Pada pemberian streptozotosin pada hewan uji dewasa, tidak terjadi regenerasi sel β Langerhans pankreas dan terjadi hiperplasia secara irreversibel karena terjadi kerusakan kronis pada sel β Langerhans pankreas sehingga insulin tidak dapat diproduksi oleh organ tersebut. Patofisiologi tersebut identik pada DM tipe I (Portha dan Kergoat, 1985).


ANTIHIPERLIPIDEMIK
Ditujukan utk menurunkan resiko penyakit aterosklerosis
Obat utk menurunkan kadar lipid plasma (kolesterol, trigliserida, fosfolipid, dan asam lemak bebas) tdk larut dlm plasma
Lipoprotein mengangkut lipid dr tempat sintesis menuju tempat penggunaannya
Penggolongan lipoprotein:
VLDL
– Mgd 60% trigliserid endogen dan 10-15% kolesterol
– Dibentuk dr asam lemak bebas di hati
LDL
– Lipoprotein pengangkut kolesterol terbesar (menuju jaringan perifer) utk sintesis membran plasma dan hormon steroid
– Mgd trigliserida 10% dan kolesterol 50%
– Mrpkn metabolit dr VLDL
IDL
– Mgd 30% trigliserid, 20% kolesterol, apoprotein
– Katabolisme VLDL ð IDL ð LDL
HDL
– Mgd 13% kolesterol, < 5% trigliserid, 50% protein
– HDL1 (induksi aterosklerosis), HDL2, HDL3
– Mengangkut kolesterol dr jaringan perifer ke hati ð penimbunan kolesterol di perifer ↓

Gambar Metabolisme Lemak

ANTIHIPERLIPIDEMIA
Asam fibrat: klofibrat, gemfibrozil, fenofibrat, siprofibrat, bezafibrat
Resin: kolestiramin, kolestipol
Penghambat HMGCoA reduktase: simvastatin, mevastatin, lovastatin, pravastatin
Asam nikotinat ð asipimoks
Probukol
Lain-lain: Neomisin sulfat, Beta-sitosterol, Dekstrotiroksin

ASAM FIBRAT
- utk hipertrigliserida
- menurunkan trigliserida dgn meningkatkan aktivitas lipoprotein lipase shg katabolisme lipoprotein kaya-trigliserida (VLDL & IDL) meningkat.

RESIN
☺garam klorida dr basic anion exchange resin
☺utk hiperkolesterolemia dgn cara menurunkan LDL
☺mekanisme: mengikat asam empedu dlm saluran cerna
☺tjd penurunan kadar asam empedu ð menyebabkan meningkatnya produksi asam empedu yg berasal dr kolesterol ð kolesterol dlm plasma turun

INHIBITOR HMG-Coa Reduktase
utk hiperkolesterolemia dgn cara menurunkan LDL
Menghambat scr kompetitif enzim HMGCoA reduktase (enzim yg mengontrol biosintesis kolesterol)
Inhibitor HMGCoA reduktase ð menghambat sintesis kolesterol di hati ð menurunkan kolesterol (LDL) plasma

Gambar Biosintesis Kolesterol

ASAM NIKOTINAT
Niasin
Salah satu komponen vit. B komplek
Utk hipertrigliserida dgn menurunkan produksi VLDL shg kadar IDL dan VDL juga turun
Mekanisme: menghambat lipolisis pd jaringan lemak shg asam lemak bebas (hasil lipolisis) yg diperlukan utk sintesis VLDL di hati menurun ð sintesis VLDL turun

PROBUKOL
Menurunkan kadar kolesterol serum dgn menurunkan LDL
Diduga: efek antiaterogeniknya terlepas dr efek hipolipidemiknya

LAIN-LAIN
1. Beta-sitosterol adalah gabungan sterol tnmn yg tdk diabsorpsi GI
Mekanisme: menghambat absorpsi kolesterol endogen
2. Dekstrotiroksin
Utk hiperkolesterolemia dgn cara menurunkan LDL
Isomer optik hormon tiroid
Menurunkan kadar lipid darah krn efek tiromimetik
(tiroksin meningkatkan metabolisme LDL) ð kadar LDL plasma turun

Diabetes mellitus (DM) (dari kata Yunani diabaínein, "tembus" atau "penerusan", dan kata Latin mellitus, "manis") yang umum dikenal sebagai kencing manis adalah penyakit yang ditandai dengan hiperglisemia (peningkatan kadar gula darah) yang terus-menerus dan bervariasi, terutama setelah makan. Sumber lain menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan diabetes melitus adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh adanya gangguan menahun terutama pada sistem matebolisme karbohidrat, lemak, dan juga protein tertentu. Gangguan metabolisme tersebut disebabkan karena kurangnya produksi hormon insulin yang diperlukan dalam penggubahan gula menjadi tenaga serta sintesis lemak. Kondisi yang demikian itu mengakibatkan terjadinya hiperglikemia, yaitu meningkatnya kadar gula dalam darah atau terdapatnya kandungan gula dalam air seni dan zat-zat keton serta asam (keto-asidosis) yang berlebihan.

Keberadaan zat-zat keton dan asam yang berlebihan ini menyebabkan rasa haus yang terus menerus, banyak kencing, penurunan berat badan meskipun selera makan tetap baik, penurunan daya tahan tubuh atau tubuh lemah, dan mudah sakit. Diabetes melitus sering disebut the great immitator, yaitu penyakit yang dapat menyerang semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai keluhan. Penyakit ini timbul secara perlahan-lahan tanpa disadari pada penderita. (Alifanis H FA/7888 & Ika tiarahani,FA/7892)
Gejala-gejala yang sering muncul:
Tiga serangkai yang klasik tentang gejala kencing manis adalah polyuria (urination yang sering), polydipsia (dahaga ditingkatkan dan masukan cairan sebagai akibat yang ditingkatkan) dan polyphagia ( selera yang ditingkatkan). Gejala awalnya berhubungan dengan efek langsung dari kadar gula darah yang tinggi. Jika kadar gula darah sampai diatas 160-180 mg/dL, maka glukosa akan sampai ke air kemih. Jika kadarnya lebih tinggi lagi, ginjal akan membuang air tambahan untuk mengencerkan sejumlah besar glukosa yang hilang. Karena ginjal menghasilkan air kemih dalam jumlah yang berlebihan, maka penderita sering berkemih dalam jumlah yang banyak (poliuri). (Sofyan Dwi W, FA/7894)
Akibat poliuri maka penderita merasakan haus yang berlebihan sehingga banyak minum (polidipsi). Sejumlah besar kalori hilang ke dalam air kemih, penderita mengalami penurunan berat badan. Untuk mengkompensasikan hal ini penderita seringkali merasakan lapar yang luar biasa sehingga banyak makan (polifagi). Gejala lainnya adalah pandangan kabur, pusing, mual dan berkurangnya ketahanan selama melakukan olah raga. Penderita diabetes yang kurang terkontrol lebih peka terhadap infeksi. Karena kekurangan insulin yang berat, maka sebelum menjalani pengobatan penderita diabetes tipe I hampir selalu mengalami penurunan berat badan. Sebagian besar penderita diabetes tipe II tidak mengalami penurunan berat badan. Pada penderita diabetes tipe I, gejalanya timbul secara tiba-tiba dan bisa berkembang dengan cepat ke dalam suatu keadaan yang disebut dengan ketoasidosis diabetikum. Kadar gula di dalam darah adalah tinggi tetapi karena sebagian besar sel tidak dapat menggunakan gula tanpa insulin, maka sel-sel ini mengambil energi dari sumber yang lain. Sel lemak dipecah dan menghasilkan keton, yang merupakan senyawa kimia beracun yang bisa menyebabkan darah menjadi asam (ketoasidosis). Gejala awal dari ketoasidosis diabetikum adalah rasa haus dan berkemih yang berlebihan, mual, muntah, lelah dan nyeri perut (terutama pada anak-anak). Pernafasan menjadi dalam dan cepat karena tubuh berusaha untuk memperbaiki keasaman darah. Bau nafas penderita tercium seperti bau aseton. Tanpa pengobatan, ketoasidosis diabetikum bisa berkembang menjadi koma, kadang dalam waktu hanya beberapa jam. Bahkan setelah mulai menjalani terapi insulin, penderita diabetes tipe I bisa mengalami ketoasidosis jika mereka melewatkan satu kali penyuntikan insulin atau mengalami stres akibat infeksi, kecelakann atau penyakit yang serius. Penderita diabetes tipe II bisa tidak menunjukkan gejala-gejala semala beberapa tahun. Jika kekurangan insulin semakin parah, maka timbullah gejala yang berupa sering berkemih dan sering merasa haus. Jarang terjadi ketoasidosis. Jika kadar gula darah sangat tinggi (sampai lebih dari 1.000 mg/dL, biasanya terjadi akibat stres-misalnya infeksi atau obat-obatan), maka penderita akan mengalami dehidrasi berat, yang bisa menyebabkan kebingungan mental, pusing, kejang dan suatu keadaan yang disebut koma hiperglikemik-hiperosmolar non-ketotik. (Sofyan Dwi W, FA/7894)
Pembagian bentuk diabetes melitus, yaitu tipe 1, tipe 2,gangguan toleransi glukosa, diabetes karena malnutrisi, dan diabetes gestasional (terjadi selama kehamilan),
1. Diabetes melitus tipe 1
Diabetes melitus tipe 1 dulu disebut insulin-dependent diabetes (IDDM, "diabetes yang bergantung pada insulin"), atau diabetes anak-anak, dicirikan dengan hilangnya sel beta penghasil insulin pada pulau-pulau Langerhans pankreas sehingga terjadi kekurangan insulin pada tubuh. Diabetes tipe ini dapat diderita oleh anak-anak maupun orang dewasa.(Ika Tiarahani FA/7892)
Sampai saat ini diabetes tipe 1 tidak dapat dicegah. Diet dan olah raga tidak bisa menyembuhkan ataupun mencegah diabetes tipe 1. Kebanyakan penderita diabetes tipe 1 memiliki kesehatan dan berat badan yang baik saat penyakit ini mulai dideritanya. Selain itu, sensitivitas maupun respons tubuh terhadap insulin umumnya normal pada penderita diabetes tipe ini, terutama pada tahap awal. Penyebab terbanyak dari kehilangan sel beta pada diabetes tipe 1 adalah kesalahan reaksi autoimunitas yang menghancurkan sel beta pankreas. Reaksi autoimunitas tersebut dapat dipicu oleh adanya infeksi pada tubuh.(Alifanis Hapsari,FA/7888)
Saat ini, diabetes tipe 1 hanya dapat diobati dengan menggunakan insulin, dengan pengawasan yang teliti terhadap tingkat glukosa darah melalui alat monitor pengujian darah. Pengobatan dasar diabetes tipe 1, bahkan untuk tahap paling awal sekalipun, adalah penggantian insulin. Tanpa insulin, ketosis dan diabetik ketoasidosis bisa menyebabkan koma bahkan bisa mengakibatkan kematian. Penekanan juga diberikan pada penyesuaian gaya hidup (diet dan olahraga). Terlepas dari pemberian injeksi pada umumnya, juga dimungkinkan pemberian insulin melalui pump, yang memungkinkan untuk pemberian masukan insulin 24 jam sehari pada tingkat dosis yang telah ditentukan, juga dimungkinkan pemberian dosis dari insulin yang dibutuhkan pada saat makan. Serta dimungkinkan juga untuk pemberian masukan insulin melalui "inhaled powder".(Ika Tiarahani,FA/7892)
Perawatan diabetes tipe 1 harus berlanjut terus. Perawatan tidak akan mempengaruhi aktivitas-aktivitas normal apabila kesadaran yang cukup, perawatan yang tepat, dan kedisiplinan dalam pemeriksaan dan pengobatan dijalankan. Tingkat Glukosa rata-rata untuk pasien diabetes tipe 1 harus sedekat mungkin ke angka normal (80-120 mg/dl, 4-6 mmol/l). Beberapa dokter menyarankan sampai ke 140-150 mg/dl (7-7.5 mmol/l) untuk mereka yang bermasalah dengan angka yang lebih rendah. seperti "frequent hypoglycemic events". Angka di atas 200 mg/dl (10 mmol/l) seringkali diikuti dengan rasa tidak nyaman dan buang air kecil yang terlalu sering sehingga menyebabkan dehidrasi. Angka di atas 300 mg/dl (15 mmol/l) biasanya membutuhkan perawatan secepatnya dan dapat mengarah ke ketoasidosis. Tingkat glukosa darah yang rendah, yang disebut hypoglycemia, dapat menyebabkan kejang atau seringnya kehilangan kesadaran.(Ika tiarahani,FA/7892)
2. Diabetes melitus tipe 2
Diabetes melitus tipe 2 atau disebut non-insulin-dependent diabetes mellitus (NIDDM, "diabetes yang tidak bergantung pada insulin") terjadi karena kombinasi dari "ketidaknormalan dalam produksi insulin" dan "resistensi terhadap insulin" atau "berkurangnya sensitifitas terhadap insulin"(adanya efek respon jaringan terhadap insulin)yang melibatkan reseptor insulin di membran sel. Pada tahap awal abnormalitas yang paling utama adalah berkurangnya sensitifitas terhadap insulin, yang ditandai dengan meningkatnya kadar insulin di dalam darah. Pada tahap ini, hiperglikemia dapat diatasi dengan berbagai cara dan Obat Anti Diabetes yang dapat meningkatkan sensitifitas terhadap insulin atau mengurangi produksi glukosa dari hepar, namun semakin parah penyakit, sekresi insulin pun semakin berkurang, dan terapi dengan insulin kadang dibutuhkan. Ada beberapa teori yang menyebutkan penyebab pasti dan mekanisme terjadinya resistensi ini, namun obesitas sentral (fat concentrated around the waist in relation to abdominal organs, not it seems, subcutaneous fat) diketahui sebagai faktor predisposisi terjadinya resistensi terhadap insulin, mungkin dalam kaitan dengan pengeluaran dari adipokinase (suatu kelompok hormon) itu merusak toleransi glukosa. Abdominal gemuk adalah terutama aktif hormonal. Kegemukan ditemukan kira-kira 90% pasien di dunia yang didiagnosis dengan jenis 2 kencing manis. Faktor lain meliputi keturunan, walaupun di dekade yang terakhir ini telah terus meningkat mulai untuk mempengaruhi anak remaja dan anak-anak.(Alifanis Hapsari,FA/7888)
Diabetes tipe 2 boleh pergi selama bertahun-tahun dalam suatu pasien sebelum atau setelah hasil diagnosa dengan gejala yang kelihatan adalah secara khas lembut atau yang tidak ada, tanpa ketoasidotis, dan dapat sporadis. Bagaimanapun, kesulitan yang menjengkelkan dapat diakibatkan oleh jenis tak ketahuan 2 kencing manis, termasuk kegagalan yang berkenaan dengan ginjal, penyakit yang vaskuler , visi merusakkan, dan lain lain.(Ika tiarahani,FA/7892)
Diabetes Tipe 2 banyak dilakukan mula-mula diobati dengan cara perubahan aktivitas fisik (biasanya peningkatan), diet (umumnya pengurangan asupan karbohidrat), dan lewat pengurangan berat badan. Ini dapat memudarkan kembali kepekaan hormon insulin, bahkan ketika kerugian berat/beban adalah rendah hati,, sebagai contoh, di sekitar 5 kg ( 10 sampai 15 lb), paling terutama ketika itu ada di deposito abdominal yang gemuk. Langkah yang berikutnya, jika perlu,, perawatan dengan lisan antidiabetic drugs. Ketika produksi hormon insulin adalah pengobatan pada awalnya tak terhalang, lisan ( sering yang digunakan di kombinasi) kaleng tetap digunakan untuk meningkatkan produksi hormon insulin ( contohnya sulfoniurea) dan mengatur pelepasan yang tidak sesuai tentang glukosa oleh hati ( dan menipisnya pembalasan hormon insulin sampai taraf tertentu ( contoh metformin), dan pada hakekatnya menipis pembalasan hormon insulin (contohnya thiazolidinediones). Jika ini gagal, ilmu pengobatan hormon insulin akan jadilah diperlukan untuk memelihara normal atau dekat tingkatan glukosa yang normal. Suatu cara hidup yang tertib tentang cek glukosa darah direkomendasikan dalam banyak kasus, paling terutama sekali dan perlu ketika mengambil kebanyakan pengobatan.(Ika Tiarahani,FA/7892)
3. Diabetes toleransi glukosa yang terganggu
Pengaturan kadar glukosa yang stabil dalam darah adalah mekanisme homeostatik yang merupakan kesatuan proses ikut berperannya hati, jaringan ekstra hepatik, dan beberapa hormon. Pada kondisi gula darah normal (80-100 mg/dl), hati merupakan satu-satunya penghasil glukosa. Pada kondisi puasa kadarnya menurun 60-70 mg/dl. Dalam keadaan normal kadar glukosa darah terkontrol dalam batas-batas tersebut. Gangguan tolenransi gula terjadi karena adanya peningkatan kadar glukosa normal. Orang yang mengidat toleransi gula mempunyai resiko untuk menjadi penderita diabetes melitus tipe II. (Alifanis Hapsari,FA/7888)
Kemampuan tubuh dalam memanfaatkan glukosa dapat ditentukan dengan mengukur toleransi glukosa dengan sifat kurva glukosa tertentu. Sifat kurva glukosa ini disebabkan berkurangnya toleransi tubuh terhadap glukosa karena berkurangnya sekresi insulin. Hal ini dimanifestasikan dengan kadar gula darah yang meningkat (Hiperglikemia) disertai glukosuria(kadar gula tinggi dan diikuti perubahan metabolisme lemak) dan perubahan pada metabolisme lemak.(Alifanis Hapsari,FA/7888)
4. Diabetes karena malnutrisi
Terjadinya defisiensi gizi (malnutrisi), defisiensi enzim atau sekresi hormon yang abnormal dapat menyebabkan penyakit diabetes melitus. (Ika Tiarahani,FA/7892)
5. Diabetes melitus gestasional (saat kehamilan)
Diabetes melitus gestasional ( gestational kencing manis mllitus, GDM) juga melibatkan suatu kombinasi dari kemampuan reaksi dan pengeluaran hormon insulin yang tidak cukup. Ini terjadi selama kehamilan, bisa meningkat atau menghilang setelah melahirkan. Diabetes ini dapat bersifat sementara, dibetes melitus gestational bisa merusak kesehatan janin atau ibu. Sekitar 20%–50% dari wanita-wanita penderita dibetes melitus gestational tetap hidup.Diabetes melitus gestasional (GDM) terjadi di sekitar 2%–5% dari semua kasus kehamilan.(Ika Tiarahani,FA/7892)
Faktor-faktor yang memicu timbulnya diabetes, diantaranya adalah :
a. keturunan, 15-20% penderita Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) mempunyai riwayat keluarga diabetes mellitus, sedangkan pada Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) sebanyak 60% berasal dari keluarga diabetes mellitus
b. virus, akibat penyakit parotis (infeksi virus yang menyerang sel β-pankreas) dapat meningkatkan Diabetes Mellitus (DM) pada anak-anak
c. kegemukan, pada orang gemuk aktifitas insulin di jaringan lemak dan otot menurun
d. usia, pada orang-orang yang telah berumur aktifitas sel β-pankreas untuk menghasilkan insulin menurun, selain itu sensitivitas sel-sel jaringan berkurang sehingga tidak menerima insulin
e. diet, pola makan tinggi karbohidrat
f. hormon, beberapa hormon seperti glukagon, hormon pertumbuhan, tiroksin, epinefrin, dan kortison mempunyai aktivitas antagonis terhadap insulin
g. obat, jenis obat-obatan seperti diuretika, adrenalin, kortikosteroid, kontrasepsi oral dapat meningkatkan kadar glukosa darah. (Sofyan Dwi W/FA 7894)

PATOGENESIS
A. Diabetes Mellitus tipe1 (DM tipe 1)
DM tipe 1 adalah penyakit yang menyerang terutama pada anak-anak, memberikan dampak terbesar pada anak-anak perempuan dengan usia 10-12 tahun, dan anak laki-laki pada usia 14 tahun. Bagaimanapun juga penyakit tersebut dapat timbul pada usia-usia tertentu dan hasil diagnosis menunjukkan bahwa sebagian besar pasien yang menderita DM tipe 1 berusia di bawah 20 tahun. Pada DM tipe 1, terjadi kerusakan sel-sel yang memediasi autoimun pada sel-sel beta pancreas, sehingga mengakibatkan defisiensi insulin dan menimbulkan diabetic ketoacidosis (DKA). Semua pasien DM tipe 1 membutuhkan atau bergantung pada ketersediaan insulin untuk dapat bertahan hidup.
Pada tipe ini terjadi destruksi sel-β pankreas yaitu pankreas gagal berespon terhadap masukan glukosa. Hilangnya fungsi sel-β mungkin disebabkan oleh invasi virus, kerja toksin kimia atau umumnya melalui kerja anti body autoimun yang ditujukan untuk melawan sel-β. Pada periode pasca-absorbsi kadar insulin basal rendah, yang bersirkulasi dipelihara melalui sekresi sel-β. Walaupun begitu, diabetes tipe 1 sebenarnya tidak mempunyai fungsi sel-β dan juga tidak merespons terdapat variasi bahan bakar yang bersikulasi maupun memelihara kadar sekresi basal insulin(Nurjannah FA/7890 & Reidinda R. FA/7898)
Autoimun alami pada diabetes mellitus tipe 1 telah diteliti dan didapatkan asumsi bahwa patogenesis dari penyakit ini dapat dijelaskan dengan hubungan yang terjadi antara factor genetik dan lingkungan. Proses patogenesis dapat dirangkum sebagai berikut : pengaruh genetik pada individu (saat ini belum terdefinisi dengan jelas), faktor lingkungan dan proses autoimun (aktivasi T limfosit reaktif untuk antigen sel beta pankreas) yang menyebabkan kerusakan sel beta pankreas dan defisiensi insulin. Berikut ini adalah gambar skema yang menjelaskan tentang proses-proses di atas.






B. Diabetes Mellitus tipe 2 (DM tipe 2)
Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi intraseluler yang menyebabkan mobilisasi pembawa GLUT 4 glukosa dan meningkatkan transpor glukosa menembus membran sel.
Pada pasien DM tipe 2, terdapat kelainan pada pengikatan reseptor dengan insulin. Kelainan ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah empat reseptor pada membran sel yang selnya responsif terhadap insulin atau akibat ketidaknormalan reseptor insulin intrinsik. Akibatnya, terjadi penggabungan abnormal antara kompleks reseptor insulin dengan sistem transpor glukosa. Ketidaknormalan postreseptor dapat megganggu kerja insulin. Pada akhirnya, timbul kegagalan sel beta denganmenurunya jumlah insulinyang beredar dan tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia.
DM tipe 2 ini seringkali dikaitkan dengan faktor obesitas. Berdasarkan penelitian, pada orang yang obesitas dengan jaringan lemak yang bayak dan luas memiliki jumlah reseptor insulin yang lebih sedikit dari orang yang tidak obesitas. Hal ini menyebabkan terhambatnya efek insulin di perifer meskipun sekresi insulin sudah cukup. Akibatnya, transpor glukosa ke dalam sel menurun sementara kadar glukosa dalam darah akan meningkat di atas kadar glukosa normal (Theresia C. FA/7889 & Reidinda R. FA/7898)

C. Diabetes melitus-malnutrisi
Beberapa faktor nutrisis yang mungkin dapat menyebabkan DM-M adalah:
1. Devisisensi protein yang kronik (protei undernutrition) atau keseimbangan nitrogen negatif yang berlangsung lama
2. Devisisensi asam amino yang mengandung sulfur. Misalnya karena makan ketela/cassava dalam jumlah yang banyak dan lama bersamaan dengan diet rendah protein.(cyanide hypothesis).
3. Makanan yang mengandunng toksin yang dapat merusak sel-β. Misalnya nitrosamine seperti Streptozotozin.
4. Devisiensi trace element seperti chromium dan zinc.
5. Devisiensi kalium. Misalnya karena pemberian diuretik.
6. Diet terlalu rendah serat (low level of dietary fibre)
7. Mengonsumsi alkohol berlebih dalam jangka waktu lama. Hal ini dapat menimbulkan kalsifikasi pankreas. (Pernah terjadi di Kenya, disebut K-type diabetes)
8. Di negara tropik dimungkinkan disebabkan oleh perbedaan sistem halotype HLA dan properdin (BF)


D. Diabetes pada kehamilan(Gestational Diabetes Melitus = GDM)
Diabetes gestational biasanya terjadi pada minggu ke-24 sampai ke-28 masa kehamilan. Pada kehamilan trimester pertama kadar glukosa akan turun antara 55-65% dan hal ini merupakan respon terhadap transportasi glukosa dari ibu ke janin. Pada DMG, selain perubahan-perubahan fisiologi tersebut, akan terjadi suatu keadaan di mana jumlah/fungsi insulin menjadi tidak optimal. Terjadi perubahan kinetika insulin dan resistensi terhadap efek insulin. Akibatnya, komposisi sumber energi dalam plasma ibu bertambah (kadar gula darah tinggi, kadar insulin tetap tinggi).
Melalui difusi terfasilitasi dalam membran plasenta, dimana sirkulasi janin juga ikut terjadi komposisi sumber energi abnormal. (menyebabkan kemungkinan terjadi berbagai komplikasi). Selain itu terjadi juga hiperinsulinemia sehingga janin juga mengalami gangguan metabolik (hipoglikemia, hipomagnesemia, hipokalsemia, hiperbilirubinemia, dan sebagainya) (Reidinda R FA/7898 & Nurjannah S. FA/7890)
Kemungkinan terjadinya diabetes gestational akan lebih besar bila anda:
1. Kelebihan berat badan sebelum hamil.
2. Usia diatas 35 tahun saat hamil.
3. Ada riwayat hidup keluarga diabetes, baik type 1 maupun type 2.
4. Pernah melahirkan bayi dengan berat badan diatas 8 pon (3,6 kg).
5. Sebelumnya pernah mengalami diabetes gertational.
6. Memiliki riwayat keguguran berulang
7. Memiliki riwayat resistensi insulin sebelum hamil
8. Pernah melahirkan bayi dengan cacat bawaan atau meninggal dengan secara tidak jelas
Untuk memastikan bahwa kehamilan anda itu sehat dan aman, maka anda harus:
1. Merencanakan pola makan.
2. Latihan jasmani secara teratur.
3. Memakai insulin sesuai anjuran dokter.
4. Memantau kadar glucose darah bebrapa kali dalam sehari.







E. DIABETES INSIPIDUS
Secara patogenesis diabetes insipidus di bagi atas dua , yaitu,. diabetes insipidus sentralis dan diabetes insipidus nefrogenik. DIS disebabkan oleh berapa hal diantaranya adalah :
1. Pengangkutan ADH/AVP yang tidak bekerja dengan baik akibat rusaknya akson pada traktus supraoptikohipofisealis
2. Gangguan pada sintesis ADH terganggu
3. Kerusakan pada nucleus supraoptik paraventricular
4. Gagalnya pengeluaran Vasopresin

Vasopresin arginin merupakan suatu hormon antidiuretik yang dibuat di nucleus supraoptik, paraventrikular , dan filiformis hipotalamus, bersama dengan pengikatnya yaitu neurofisin II. Vasopresin kemudian diangkut dari badan-badan sel neuron tempat pembuatannya, melalui akson menuju ke ujung-ujung saraf yang berada di kelenjar hipofisis posterior, yang merupakan tempat penyimpanannya. Secara fisiologis, vasopressin dan neurofisin yang tidak aktif akan disekresikan bila ada rangsang tertentu. Sekresi vasopresin diatur oleh rangsang yang meningkat pada reseptor volume dan osmotic. Suatu peningkatan osmolalitas cairan ekstraseluler atau penurunan volume intravaskuler akan merangsang sekresi vasopresin. Vasopressin kemudian meningkatkan permeabilitas epitel duktus pengumpul ginjal terhadap air melalui suatu mekanisme yang melibatkan pengaktifan adenolisin dan peningkatan AMP siklik. Akibatnya, konsentrasi kemih meningkat dan osmolalitas serum menurun. Osmolalitas serum biasanya dipertahankan konstan dengan batas yang sempit antara 290 dan 296 mOsm/kg H2O.
Gangguan dari fisiologi vasopressin ini dapat menyebabkan pengumpulan air pada duktus pengumpul ginjal karena berkurang permeabilitasnya, yang akan menyebabkan poliuria atau banyak kencing (Reidinda R. FA/7898).
Selain itu, peningkatan osmolalitas plasma kan merangsang pusat haus, dan sebaliknya penurunan osmolalitas plasma akan menekan pusat haus. Ambang rangsang osmotic pusat haus lebih tinggi dibandingkan ambang rangsang sekresi vasopresin. Sehingga apabila osmolalitas plasma meningkat, maka tubuh terlebih dahulu akan mengatasinya dengan mensekresi vasopresin yang apabila masih meningkat akan merangsang pusat haus, yang akan berimplikasi orang tersebut minum banyak (polidipsia) (Theresia Cahyaning T FA/7889 & Nurjannah S. FA/7890).
Secara patogenesis, diabetes insipidus dibagi menjadi 2 yaitu diabetes insipidus sentral, dimana gangguannya pada vasopresin itu sendiri dan diabetes insipidus nefrogenik, dimana gangguannya adalah karena tidak responsifnya tubulus ginjal terhadap vasopresin. Diabetes insipidus sentral dapat disebabkan oleh kegagalan pelepasan hormone antidiuretik ADH yang merupakan kegagalan sintesis atau penyimpanan. Hal ini bisa disebabkan oleh kerusakan nucleus supraoptik, paraventrikular, dan filiformis hipotalamus yang mensistesis ADH. Selain itu, DIS juga timbul karena gangguan pengangkutan ADH akibat kerusakan pada akson traktus supraoptikohipofisealis dan aksin hipofisis posterior di mana ADH disimpan untuk sewaktu-waktu dilepaskan ke dalam sirkulasi jika dibutuhkan. DIS dapat juga terjadi karena tidak adanya sintesis ADH, atau sintesis ADH yang kuantitatif tidak mencukupi kebutuhan, atau kuantitatif cukup tetapi tidak berfungsi normal. Terakhir, ditemukan bahwa DIS dapat juga terjadi karena terbentuknya antibody terhadap ADH (Nurjannah S FA/7890 & Reidinda R FA/7898).
MEKANISME KERJA OBAT
I. Terapi Diabetes Melitus
Prinsipnya bertujuan :
a. Jangka pendek : menghilangkan keluhan dan gejala dibetes melitus
b. Jangka penjang : mencegah atau memperlambat timbulnya komplikasi yang dapat menyerang pembuluh darah, ginjal, mata, syaraf, kulit dan kaki.
c. Tindakan atau kegiatan yang dilakukan : memberikan terapi Diabetes Melitus yakni terapi primer yang terdiri atas diet diabeites melitus, latihan fisik, penyulahan kesehatan, dan terapi sekunder yaitu berupa pemberian antidiabetika oral dan insulin, serta cangkok pankreas (Fety Yuli A FA/7886 & Fatih Rahmawati FA/7887).

II. Obat Anti Diabetika dan Mekanismenya
a. Insulin
Berasal dari bahasa latin insula, yang berarti pulau karena diproduksi di pulau-pulau langerhans pada pankeras. Insulin meupakan hormon polipeptida yang mengatur metabolisme karbohidrat yang secara kimia ditransportkan kedalam darah yang mengontrol dan meregulasi aktivitas tertentu sel atau organ dalam tubuh. Selain berperan sebagai efekor terutama dalam homeostatis karbohidrat, hormon ini juga berperan dalam metabolisme lemak (trigliserida) dan protein.
(Fety Y. FA/7886 dan Fatih R. FA/7887).


Dari gambar diatas dapat diketahui bahwa insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808. Insulin terdiri dari 51 asam amino yang tersusun dari dua rantai, yaitu rantai A dan B. Kedua rantai tersebut dihubungkan oleh jembatan disulfida (S-S) di antara residu sistein. Ada perbedaan spesifik di antara kedua rantai asam amino. Proinsulin, merupakan molekul protein rantai tunggal panjang yang diproses oleh aparatus golgi dan dikemas menjadi granul, kemudian dhidrolisis menjadi insulin dan sebuah residu yang dihubungkan oleh segmen disebut peptida C yang terdiri dari 4 asam amino. Sumber Insulin dapat berasal dari pankreas hati sapi atau babi dan hanya dapat diberikan secara paranteral.
(Fatih R. FA/7887, Fety Y. FA/7886, & Ika Tiarahani FA/7892).
Isulin dikeluarkan oleh sel ß pankreas pada saat keadaan glukosa darah meningkat dikarenakan adanya stimulasi oleh beberapa faktor antara lain gula (mis: mannos), beberapa asam amino (mis: leusin, arginin), beberapa hormon (mis: glukagon). Mekanisme pengeluaran insulin ditunjukkan dalam diagram berikut.

Gambar ini menunjukkan kontrol dari pelepasan insulin dari sel ß pankreas karena adanya pengaruh glukosa dan obat golongan sulfonilurea. Pada sel yang beristirahat dengan level ATP normal, insulin disekresikan sedikit. Jika terjadi peningkatan kadar glukosa, produksi ATP meningkat, kanal potasium menutup dan hasilnya terjadi depolarisasi pada sel. Peristiwa ini terjadi pada otot dan syaraf, kanal kalsium terbuka akibat adanya depolarisasi dan kemudian ion kalsium masuk ke dalam sel. Meningkatnya ion kalsium yang berada dalam sel menyebabkan sekeresi insulin meningkat (Fety Y. FA/7886 dan Fatih R. FA/7887).
Insulin bekerja untuk menaikan pengambilan glukosa, menaikkan penguraian glukosa secara oksidatif, menaikkan pembentukan glikogen dalam hati dan otot, mencegah penguraian glikogen, menstimulasi pembentukan protein dan lemak dari glukosa.
Hormon insulin berdasarkan cara kerjanya dibedakan menjadi:
a. insulin kerja cepat dengan masa kerja 2-4 jam, misalnya insulin reguler dan Actrapid. Insulin reguler merupakan insulin yang bekerja paling cepat dan singkat, hormon ini menurunkan kadar glukosa darah dalam waktu 20 menit dan mencapai puncak dalam waktu 2-4 jam dengan masa kerja 6-8 jam.
b. Insulin kerja sedang atau menengah dengan masa kerja 6-12 jam, misalnya monotrap dan NPH. NPH (neutral protamine hagedorn atau isofan) memiliki onset 2-5 jam dan durasi 4-12 jam mencapai puncak pada waktu 6-10 jam. NPH biasanya digunakan bersama regular, lispro, aspart atau glulisin insulin dan diberikan 2-4 kali sehari untuk penderita diabetes tipe 1. Dapat disuntikkan pada pagi hari untuk memenuhi kebutuhan slama sehari dan dilanjutkan pada malam hari untuk memenuhi kebutuhan sepanjang malam.
c. Insulin kerja lama dengan masa kerja 18-24 jam, contoh: PZI dan monotard ultralente.
Saat ini mulai dikembangkan bentuk sediaan insulin baru dalam sediaan inhalasi. Namun sediaan ini belum dapat bekerja dengan baik karena laju penyerapannya yang berbeda menimbulkan masalah dalam penentuan dosisnya (Fety Y FA/7886 & Fatih R. FA/7887)

Some insulin preparations available in the USA.1
Preparation Species Source Concentration
Rapid-acting insulins
Insulin Lispro, Humalog (Lilly) Human analog U100
Insulin Aspart, Novolog (Novo Nordisk) Human analog U100
Insulin Glulisine, Apidra (Aventis) Human analog U100
Short-acting insulins
Regular Novolin R (Novo Nordisk) Human U100
Regular Humulin R (Lilly) Human U100, U500
Velosulin BR (Novo Nordisk)2 Human U100
Regular, Exubera (Pfizer) Human 1, 3, 6 mg powder (inhaled)
Intermediate-acting insulins
NPH Humulin N (Lilly) Human U100
NPH Novolin N (Novo Nordisk) Human U100
Premixed insulins (% NPH/ % regular)
Novolin 70/30 (Novo Nordisk) Human U100
Humulin 70/30 and 50/50 (Lilly) Human U100
50/50 NPL, Lispro (Lilly) Human analog U100
75/25 NPL, Lispro (Lilly) Human analog U100
70/30 NPA, Aspart (Novo Nordisk) Human analog U100
Long-acting insulins
Insulin detemir, Levemir (Novo Nordisk) Human analog U100
Insulin glargine, Lantus (Aventis/Hoechst Marion Roussel) Human analog U100
1 semua agen (kecuali insulin lispro, insulin aspart, insulin detemir, insulin glulisine, inhaled insulin, and U500 regular Humulin) telah tersedia tanpa resep.All insulins should be refrigerated and brought to room temperature just before injection.
2Velosulin contains phosphate buffer, which favors its use to prevent insulin aggregation in pump tubing but precludes its being mixed with lente insulin.

Copyright © 2007 by The McGraw-Hill Companies, Inc. All rights reserved.

b. Antidiabetika Oral (ADO)

Obat ini tersedia dalam bentuk tablet dan terbagi menjadi 4 golongan, yaitu:
1. Golongan sulfonilurea
Obat-obat pada golongan ini dibagi menjadi 3 kelompok:
a. Obat dengan masa kerja singkat (6-12 jam), misalnya Tolbutamid (Rastinon, Artosin) dan Glukodion (Glurenorm)
b. Obat dengan kerja menengah (15 jam), misalnya Glibenklamid (Daonil, Englukon)
c. Obat dengan kerja panjang (70 jam), misalnya Klorpropamide (Diabenese, Diabex)
Mekanisme golongan sulfonilurea dalam menurunkan kadar glukosa darah adalah dengan meningkatkan sekresi insulin dengan cara mempermudah metabolisme nutrisi sel β, meningkatkan AMP siklik sel β, dan merubah ionic fluxes didalam sel β. Golongan sulfonilurea juga memiliki mekanisme lain seperti meningkatkan sensitivitas sel β terhadap rangsangan glukosa, menekan sekresi glukagon dan meningkatkan afinitas insulin sehingga sensitivitas insulin meningkat

Mekanisme aksi sulfonilurea terhadap sel β Langerhans pankreas
Obat ini hanya aktif pada diabetes mellitus tipe II yang pankreasnya tidak rusak tetapi tidak berfungsi sebagaimana dalam kondisi normal. Obat yang termasuk golongan ini antara lain tolbutamid, tolazamid, klorpropamid dan glibenklamid.
Kontraindikasi pemakaian obat ini pada pasien insufisiesi hati atau ginjal, karena ekskresi obat tersebut terhambat, mengakibatkan akumulasi dan dapat menimbulkan hipoglikemia. Efek samping : tidak selera makan, mual, leukopenia, trobositopenia, dan sedikit gejala anemia serta alergi. (Sofyan Dwi W/ FA 7894)
2. Golongan Biguanid
Biguanid tidak merangsang sekresi insulin dan resiko hipoglikemia lebih kecil daripada obat sulfonilurea. Contoh obat golongan ini adalah metformin, fenformin dan buformin yang dapat digunakan sendiri maupun kombinasi dengan sulfonilurea. Metformin terutama bekerja dengan jalan mengurangi pengeluaran glukosa hati dengan cara menghambat glukoneogenesis.
Mekanisme kerja golongan biguanid secara umum meliputi yaitu menstimulasi glikolisis secara langsung dalam jaringan perifer dengan peningkatan eliminasi glukosa dari darah, menurunan glukoneogenesis hati, meningkatan perubahan glukosa menjadi laktat oleh enterosit, menurunan kadar glukagon plasma, dan meningkatkan pengikatan insulin pada reseptor. Kontraindikasi pemakaian obat ini pada pasien insufisiesi hati atau pankreas. Efek samping mempengaruhi absorbsi vitamin B12 bila digunakan dalam jangka waktu panjang, gangguan saluran pencernaan, asidosis asam laktat. (Sofyan Dwi W/FA 7894)
3. Golongan Alpha-glucosidase inhibitor
Obat – obat yang termasuk dalam golongan ini termasuk kelompok obat baru yang meliputi antara lain acarbose (Precose, Glucobay) dan miglitol (Glyset) yang merupakan inhibitor kompetitif terhadap enzim alfa-glukosidase di mukosa duodenum sehingga reaksi penguraian disakarida maupun polisakarida menjadi monosakarida dihambat. Karena hanya monosakarida seperti glukosa dan fruktosa yang dapat ditransportasi keluar dari lumen usus menuju ke aliran darah maka molekul yang lebih kompleks seperti polisakrida dan disakarida harus dihancurkan terlebih dahulu menjadi monosakarida sebelum dapat diabsorbsi di duodenum dan upper jejunum. Penguraian menjadi monosakarida akan meningkatkan kadar glukosa darah sehingga menyebabkan hiperglikemia. Penguraian molekul – molekul tadi menggunakan enzim enzim alfa-glukosidase. Obat golongan ini bekerja sebagai inhibitor kompetitif dengan enzim alpha-glukosidase sehingga glukosa dilepaskan lebih lambat dan absorpsinya ke dalam darah akan menurun, lebih rendah dan merata sehingga memuncaknya kadar glukosa dapat dihindarkan (Fety Y, FA/7886).
Acarbose cenderung menurunkan kadar insulin setelah makan, yang merupakan keuntungan khusus obat ini, karena kadar insulin yang tinggi setelah makan berkaitan dengan pengingkatan risiko penyakit jantung. Studi tahun 2002 juga menemukan bahwa obat ini kemungkinan bisa menunda datangnya diabetes tipe 2 pada orang risiko tinggi. Kerja obat ini mirip dengan efek dari makanan yang kaya akan serat gizi. Tidak ada kemungkinan hipoglikemia dan terutama berguna pada penderita kegemukan. Obat golongan Alpha-glucosidase inhibitor tidak seefektif obat lain bila digunakan sebagai terapi tunggal karena hanya kurang dari 2% diserap sebagai obat aktif. Sehingga dalam penggunaannya sering dikombinasikan misalnya dengan metformin, insulin, atau sulfonilurea, dsb untuk meningkatkan efektivitasnya. Efek samping yang paling sering dikeluhkan adalah produksi gas dalam perut dan diare, khususnya setelah konsumsi makanan tinggi kandungan karbohidrat yang menyebabkan sepertiga pasien berhenti menggunakan obat ini. Obat ini juga kemungkinan mempengaruhi penyerapan zat besi. Hepatotoksisitas (tergantung dosis) juga dikaitkan dengan obat ini. sehingga uji fungsi hati harus dilakukan terutama pada pasien yang menerima dosis tinggi (lebih dari 50 mg tiga kali sehari). Peningkatan enzim transaminase diakibatkan penghentian obat yang kadangkala asimtomatik. Kadar transaminase dalam serum harus dicek setiap tiga bulan ditahun pertama pasien menerima obat dan selanjutnya tetap dilakukan secara periodeik. Obat-obat yang mudah berikatan dengan obat lain seperti cholestyramine, seharusnya diberikan dengan rentang pemberian dua atau empat jam dengan alpha-glucosidase inhibitor untuk menghindari interaksi obat. Obat-obat absorban dan preparat enzim digestif sebaiknya tidak diberikan bersama acarbose. Acarbose diberikan dengan dosis 25 mg/hari peroral 3x sehari. Dosis dapat ditingkatkan sampai 100 mg/hari. Kontraindikasi pada pasien dengan kadar kreatinin > 2 mg/dL; peningkatan kadar enzim hati, atau adanya obstruksi saluran cerna (Fety Y, FA/7886).

Stuktur Miglitol berbeda dengan acarbose dan 6 kali lebih poten dalam menginhibisi sukrosa. Walaupun afinitas ikatan dari 2 struktur berbeda, acarbose dan miglitol keduanya punya target α-glucosidase yang sama yaitu : sukrosa, maltase, glikoamilase, dan dekstran. Miglitol mempunyai efek pada isomaltase dan β-gukosidase, di mana akan mengalami split dengan β-linked pada gula misalnya lactose. Acarbose sendiri mempunyai efek yang kecil terhadap α-amylase (Fety Yuli A FA/7886 dan Sofyan Dwi W/FA 7894).

4. Insulin sensitizing agent
Tiazolidinadion sering juga disebut TZDs atau glitazone adalah kelompok obat baru yang pada tahun 1996 dipasarkan di AS dan Inggris. Obat ini berfungsi memperbaiki sensitivitas insulin dengan mengaktifkan gen-gen tertentu yang terlibat dalam sintesa lemak dan metabolisme karbohidrat. Obat ini merupakan agonis selektif untuk peroxisome proliferator-activated receptor-gamma (PPAR-gamma). Reseptor PPAR-g ditemukan di otot, jaringan lemak, dan liver. Aktivasi dari reseptor PPAR-gamma mengatur transkripsi gen insulin-responsif yang terlibat dalam produksi, transport, dan pemakaian glukosa, sehingga mempunyai efek farmakologis mengurangi konsentrasi glukosa darah dan hyperinsulinemia dengan jalan meningkatkan kepekaan bagi insulin dari otot, jaringan lemak dan hati. Sebagai efeknya penyerapan glukosa dalam jaringan lemak dan otot pun meningkat. Dari beberapa studi yang dilakukan Thiazolidinediones juga menunjukkan berbagai efek baik pada jantung, termasuk penurunan tekanan darah dan penurunan trigliserida (asam lemak bebas) dan peningkatan kadar kolesterol (termasuk peningkatan kadar HDL, yang dikenal sebagi kolesterol baik), serta berefek menurunkan glukoneogenesis dalam hati. Obat ini juga meredam molekul yang disebut 11Best HSK-1 yang berperan penting pada sindrom metabolik (kondisi pre diabetes, termasuk tekanan darah tinggi dan obesitas) dan diabetes melitus tipe 2 (Fety Y, FA/7886).
Zat ini tidak mendorong pankreas untuk meningkatkan pelepasan insulin seperti sulfonilurea. Thiazolidinedione tidak menyebabkan hipoglikemia jika digunakan sebagai terapi tunggal, meskipun mereka seringkali diberikan secara kombinasi dengan sulfonylurea, insulin, atau metformin. Rosiglitazone (Avandia) dan Pioglitazone (Actos) adalah obat dari golongan thiazolidinedione yang sudah disetujui. Salah satu studi meyakini Rosiglitazone bisa memperbaiki fungsi sel beta dan membantu mencegah progresivitas diabetes. Tetapi, di balik manfaatnya yang besar, efek samping obat golongan ini pun perlu dikhawatirkan. The US Food and Drug Administration mengeluarkan peringatan pada pasien dan dokter pada tanggal 21 May 2007, bahwa rosiglitazone berpotensi menyebabkan peningkatan resiko infark myokard dan kematian akibat penyakit jantung lainnya. Sedangkan pada Pioglitazone, digunakan dengan dosis harian 15 atau 30mg PO tiga kali sehari. Perlu diperhatikan jika digunakan bersama insulin karena dapat menyebabkan hipoglikemia. Tidak dianjurkan pada pasien dengan SGOT > 2,5 kali batas normal, DKA, dan gagal jantung kongestif (Fety Yuli FA/7886).
Troglitazone (Rezulin) merupakan salah satu jenis lain dari thiazolidinedione yang secara suka rela ditarik dari pasaran oleh perusahaan pembuatnya pada bulan Maret 2000, setelah diketahui bahwa obat ini mempunyai efek hepatotoksik (Fety Yuli FA/7886)


DAFTAR PUSTAKA
Anonim.2007. Basic and Clinical Pharmacology 10th Ed. Front Matter a 2007 by The McGraw-Hill Companies, InLange medical book.Copyright 2008 puc.[tersedia online] http://www.ebook.com diakses pada 6 Desember 2008 pukul 12.30 WIB.
Anonim.2008.Diabetes Mellitus Tipe 2 (Terjemahan emedicine, Diabetes Mellitus, Type 2 - A Review ). [tersedia online]. http://cetrione.blogspot.com diakses pada 6 Desember 2008 pukul 13.45 WIB.
Anonim.2008.www.rumahdiabetes.org diakses pada 7 Desember 2008 pukul 16.35 WIB.
Anonim.2008.http://id.wikipedia.org/diabetes diakses pada 7 Desember 2008 pukul 16.30 WIB.
Danie.2006.Medikasi Spesifik Diabetes Melitus Tipe 2 ULAS OBAT - Vol.5 No.8, Maret 2006 [tersedia online].http://www.majalah-farmacia.com diakses pada 6 Desember 2008 pukul 13.50 WIB.
Katzung. B.G. 2001. Farmakologi dasar dan klinik. Salemba. Jakarta.
Mutschler, Ernst.1991.Dinamika Obat.Penerbit ITB.Bandung.
Mycek. Mary J.2001. Farmakologi Ulasan Bergambar. Widya Medika. Jakarta.
Ranakusuma.2005.Penyakit Kencing Manis diabetes Mellitus.UI Press.Jakarta.
Tjay, Tan hoan.1991.Obat – obat Penting.Departemen Kesehatan RI.Jakarta.
Diposkan oleh Rita Riata di 22:46 0 komentar
Label: farmakologi
antiinflamasi
OBAT – OBAT ANTIINFLAMASI
1. Obat- obat Golongan Non Steroid

- golongan Coxib: Celecoxib, Rofecoxib, Valdecoxib, Parecoxib, Etoricoxib, Lumiracoxib.
2. Obat- obat Golongan Steroid
3. Obat- obat dari Bahan Alam
- Curcumin
- Proantosianidin dari biji anggur
- Bergamot oil

MEKANISME KERJA OBAT ANTIINFLAMASI
Obat- obat anti inflamasi mampu menghalangi proses inflamasi karena memiliki kemampuan untuk menghambat biosintesis prostaglandin sebagai salah satu mediator inflamasi yaitu melalui penghambatan enzim siklooksigenasi (COX). Penghambatan COX dapat mengganggu metabolisme asam arakidonat dalam pembentukan prostaglandin G2 (PGG2) dari asam arakidonat dan pembentukan prostaglandin H2 (PGH2) dari PGG2. Dari PGH2 dibentuk PGD2, PGI2, PGF2α, 6-keto-PGF1α, PGE2, tromboksan A2 (TXA2), tromboksan B2 (TXBA2) yang merupakan mediator inflamasi.
Aspirin mempunyai sifat penting menghambat biosintesis prostaglandin. Hal ini dilakukan dengan menghambat secara irreversible enzim siklooksigenasi yang mengkatalisis reaksi asam arakidonat menjadi senyawa endoperoksida. Dalam dosis tinggi obat ini menurunkan pembentukan prostaglan dan tromboksan A2.

Rangsangan


Gangguan membrane sel


Fosfolipid


Hambatan Fosfolipase
Kortikostreroid

Asam arakidonat


Lipoksigenase Siklooksigenase
Hambatan aspirin + AINS


Hidroperoksida Endoperoksida


Leukotrien Prostaglandin Tromboksan A2 Prostasiklin
(PGE2 PGF2α PGD2)

Skema biosintesis prostaglandin

Mekanisme inhibisi obat-obat AINS lainnya, seperti indometasin dan ibuprofen, menginhibisi COX dengan berkompetisi dengan asam arakidonat (substrat dari COX). Radikal oksigen reaktif sebagai produk dari neutrofil dan makrofag yang terlibat pada rusaknya jaringan (inflamasi), dapat dinetralkan AINS yang memiliki efek sebagai oxygen-radical-scavenging kuat sehingga dapat mengurangi kerusakan jaringan seperti halnya aktivitas COX-inhibitory.
Salah satu mekanisme penghambatan COX ialah melalui inhibisi non-kompetitif oleh antioksidan. Antioksidan merupakan agen antiinflamasi yang bekerja melalui penangkapan radikal bebas oksigen dan dapat menghambat segala tipe oksigenasi (siklooksigenase dan lipooksigenase). Senyawa antioksidan ataupun penangkap radikal berpotensi sebagai antiinflamasi. Kurkumin diduga memiliki aktivitas antiinflamasi antara lain karena kurkumin memiliki aktivitas antioksidan. Kurkumin memiliki aktivitas antiinflamasi karena kurkumin mampu menghambat kerja enzim COX dan lipooksigenase (LOX). Kedua enzim tersebut berperan dalam metabolisme asam arakhidonat untuk menghasilkan mediator-mediator kimia yang menyebabkan terjadinya tanda-tanda peradangan.
COX-1 dan COX-2 berbeda pada sekuen asam amino penyusunnya yaitu pada sekuen asam amino nomor 523. Pada COX-1 adalah isoleusin dan pada COX-2 adalah valin. Perbedaan ini berperan penting dalam spesifitas pengikatan obat-obat golongan coxib dan konformasi enzim COX yang terbentuk setelah terjadinya ikatan obat-enzim. Adanya valin-523 memberikan konformasi pocket pada sisi aktif COX-2 sehingga akses obat golongan coxib mudah dan ikatan obat golongan coxib komplemen dengan COX-2 tetapi tidak dengan COX-1, sehingga ikatan coxib spesifik pada COX-2 dan mengeblok masuknya substrat (asam arakidonat) ke dalam sisi aktif COX-2 dan asam arakidonat tidak dapat dimetabolisme oleh COX-2, akan tetapi masih dimetabolisme COX-1. Oleh karena itu, penghambatan COX-2 tidak menghentikan biosintesis prostaglandin (oleh COX-1) yang berperan dalam proteksi saluran gastrointestinal terhadap asam lambung.
Diposkan oleh Rita Riata di 22:38 0 komentar
Label: farmakologi
inflamasi
Inflamasi adalah usaha tubuh untuk menginaktivasi atau merusak organisme yang menyerang, menghilangkan zat iritan, dan mengatur derajat perbaikan jaringan. Inflamasi dicetuskan oleh mediator kimiawi dari jaringan yang rusak dan migrasi sel. Mediator kimiawi spesifik bervariasi dengan tipe proses peradangan dan meliputi amin, seperti histamine dan 5-hidroksitriptamin; lipid, seperti prostaglandin; peptida kecil, seperti bradikinin; dan peptida besar, seperti interleukin-1.
Inflamasi berasal dari kata “inflamare” yang berati membakar, merupakan respon jaringan hidup sebagai reaksi lokal atas keberadaan benda asing organisme hidup., dan adanya luka pada dirinya atau merupakan reaksi lokal terhadap udema yang dinyatakan dengan dilatasi mikrosirkulasi (pembuluh darah) dan cairan yang dikandungnya (leukosit dan cairan). Gejala umum reaksi inflamatoris yang dapat diamati adalah pemerahan (rubor), pembengkakan (tumor), panas meningkat (kalor), dan gangguan fungsional (Mutschler, 1991).
Nyeri disebabkan oleh rangsangan-rangsangan mekanis atau kimia (kalor atau listrik) yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan dan lepasnya zat-zat tertentu yang disebut mediator-mediator nyeri. Mediator-mediator ini merangsang reseptor nyeri pada ujung-ujung syaraf bebas di kulit, selaput lendir dan jaringan-jaringan. Dari tempat ini rangsangan dialirkan melalui saraf sensorik ke susunan saraf pusat melalui sumsum tulang belakang ke thalamus (opticus) dan kemudian ke pusat nyeri ke dalam otak besar dan ini dirasakan sebagai rasa nyeri.
Mediator-mediator nyeri yang terpenting adalah prostaglandin, serotonin, plasmakinin, histamine , dan ion-ion kalium. Prostaglandin dilepaskan menyebabkan bertambahnya vasodilatasi, permeabilitas kapiler, nyeri dan demam. Histamine menyebabkan dilatasi arteriol dan meningkatkan permeabilitas kapiler dan rasa nyeri.
Biasanya respon peradangan dimulai oleh antigen, misal virus, bakteri, protozoa, atau fungus oleh trauma. Kerusakan sel yang menyebabkan peradangan menyebabkan pelepasan enzim lisozim dari leukosit melalui kerja atas membran sel, kemudian arakidonat dilepaskan dari senyawa precursor oleh fosfolipase. Enzim siklooksigenase mengubah asam arakidonat menjadi endoperoksida yang aktif secara biologis dan bermasa hidup singkat. Senyawa ini cepat diubah menjadi prostaglandin dan tromboksan (Katzung, 1989).
Mekanisme obat AINS (Anti Inflamasi Non Steroid) adalah menghambat system siklooksigenase yang menyebabkan pemecahan asam arakidonat menjadi prostaglandin. Sikloksigenase terdiri dua macam isoenzim, yaitu COX-1 dan COX-2 dengan berat molekul dan daya enzimatis yang sama. COX-1 banyak terdapat dalam jaringan, antara lain platelet darah, ginjal, dan saluran pencernaan. COX-1 esensial ditemukan pada mamalia dan dapat dikatakan sebagai enzim “house keeping”, berbeda dengan COX-2 yang diaktivasi oleh kerusakan jaringan. COX-2 dalam keadaan normal tidak terdapat dalam jaringan, tetapi dibentuk selama radang dan kadarnya di dalam sel meningkat sampai 80 kali.

Perbedaan COX-1 dan COX-2
Ciri COX-1 COX-2
Sekuen asam amino
Keberadaan
Tempat
Inhibitor

Isoleusin
House keeping
GI (utama)
Indomethacin, Sulindac
Valin
Dinduksi selama inflamasi
Jaringan inflamasi
Celecoxibs, Etodolax, Meloxicam, Rofecoxib
(hambat aktivitas)
Dexamethazone
(hambat ekspresi gen)



Proses-proses yang terjadi pada proses inflamasi :
o Eksudasi
Fase primer pada inflamasi adalah perubahan structural pada dinding vascular. Perubahan ini mengakibatkan peningkatan permeabelitas pembuluh darah yang membiarkan protein kaya cairan menembus dinding vascular (udema dan kemerahan)
o Infiltrasi
Leukosit, makrofag, dan limfosit di bawah pengaruh kemotaksik, memasuki area inflamasi (fase primer). Beberapa dari sel tersebut mengandung enzim lisosom yang mampu menelan dan mencerna partikel-partikel asing (fagositosis)
o Proliferasi
Limfosit dan makrofag mengalami transformasi menjadi lapisan pembatas sel yang antara lain mampu mensintesis antibodi-antibodi (fase sekunder)
Katzung, B.G. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi IV. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Diposkan oleh Rita Riata di 22:37 0 komentar
Label: farmakologi
Analgetika
Analgetik adalah obat atau senyawa yang dapat digunakan untuk menekan fungsi system saraf pusat secara selektif, digunakan untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri tanpa mempengaruhi kesadaran. Analgetik bekerja dengan meningkatkan nilai ambang persepsi rasa sakit.
Berdasarkan mekanisme kerja tingkat molekul, analgetik dapat dibagi menjadi dua, yaitu : analgetik narkotik (Opioid), dan analgetik non-narkotik (analgetik antipiretik, analgetik anti inflamasi non-steroid).
Analgetik opioid merupakan kelompok obat yang mempunyai sifat-sifat seperti opium, atau morfin. Golongan obat ini diunakan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri, namun menimbulkan efek adiksi. Dibandingkan analgetik narkotik, keuntungan terapi menggunakan analgetik non-narkotik tidak menimbulkan ketergantungan fisik atau toleransi.

Patogenesis (why, when, where)

Kerusakan jaringan menyebabkan pelepasan zat - zat kimia (misalnya bradikinin, prostaglandin, ATP, proton) yang menstimulasi reseptor nyeri dan mengionisasi letupan pada serabut aferen primer yang bersinaps pada lamina I dan II kornu posterior medulla spinalis. Neuron relay dalam kornu posterior menyampaikan informasi nyeri ke korteks sensori melalui neuron dalam thalamus. Beberapa serabut aferen primer melepaskan peptide (misalnya substansi P). nyeri neuropati disebabkan oleh kerusakan neuron pada jalur nyeri dan sering tidak merespon terhadap opioid.
Aktivitas neuron relay kornu posterior dimodulasi oleh beberapa input inhibisi. Input ini meliputi interneuron lokal yang melepaskan peptide opioid dan serabut enkefalinergik, noradrenergik, dan serotonergik desendens , yang berasal dari batang otak dan diaktifasi sendiri oleh peptide opioid. Jadi peptide opioid yang dilepaskan pada batang otak maupun medula spinalis dapat menurunkan aktivitas neuron relay kornu posterior dan dapat menyebabkan analgesia. Efek peptida opioid diperantai oleh reseptor opioid spesifik.

Obat yang digunakan (Who)

Obat - obat golongan analgetik narkotik :
1. Agonis kuat : morfin, hidromorfon, oksimorfon, metadon, meperidin, fentanil, levorfanol.
2. Agonis ringan hingga sedang : kodein, oksikodon,hidrokodon, propoksifen,difenoksilat.

Obat - obat golongan analgetik non-narkotik : asetaminofen, fenasetin.

Mekanisme kerja obat (how)

Analgetik narkotik (opioid) :
Opioid memperlihatkan efek utamanya dengan berinteraksi dengan reseptor opioid pada SSP dan saluran cerna. Opioid menyebabkan hiperpolarisasi sel saraf, menghambat peletupan saraf, dan penghambatan presinaptik pelepasan transmiter. Seperti halnya morfin yang bekerja pada reseptor μ dalam lamina I dan lamina II dari substansia gelatinosa medulla spinalis, dan menurunkan pelepasan substansi P, yang memodulasi persepsi nyeri pada medulla spinalis. Morfin juga menghambat plepasan banyak transmiter eksitatori dari ujung saraf terminal yang membawa rangsangan nosiseptif (nyeri).



Analgetik non-narkotik :
Obat golongan ini cepat diabsorbsi dari saluran cerna. Maetabolisme lintas pertama yang bermakna terjadi pada sel lumen usus dan hepatosit. Absorbsi tergantung pada kecepatan pengosongan lambung, dan kadar puncak di dalam darah biasanya tercapai dalam waktu 30-60 menit. Asetaminofen sedikit terikat dengan protein plasma dan sebagian dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati dan diubah menjadi asetaminofen sulfat dan glukuronida, yang secara farmakologi tidak aktif. Kurang dari 5% diekskresikan dalam bentuk tidak berubah. Suatu metabolit minor tetapi sangat aktif (N-asetil-p-benzokuinon),



Daftar Pustaka

Katzung, Bertram G, 1997, Farmakologi Dasar dan Klinik, Jakarta : EGC
Mycek, Mary J, dkk, 2001, Farmakologi : Ulasan Bergambar, Jakarta : Widya Medika
Neal, M.J, 2005, At a Glance Farmakologi Medis, Jakarta : Penerbit Erlangga
Diposkan oleh Rita Riata di 22:35 0 komentar
Label: farmakologi
analgetika
Analgetik atau obat penghalang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau menghalau rasa nyeri tanpa meghalangi kesadaran. Antipiretik adalah zat-zat yang dapat mengurangi suhu tubuh. Anti-inflamasi adalah obat atau zat-zat yang dapat mengobati peradangan atau pembengkakan.
Obat analgesic antipiretik serta Obat Anti Inflamasi non Steroid (OAINS) merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat berbeda secara kimia.Walaupun demikian, obat-obat ini ternyata memiliki banyak persamaan dalam efek terapi maupun efek samping. Prototipe obat golongan ini adalah aspirin. Karena itu, banyak golongan dalam obat ini sering disebut obat mirip aspirin (Aspirin-like drugs)
Klasifikasi kimiawi OAINS sebenarnya tidak banyak manfaat kimianya karena ada OAINS dari subgolongan yang sama memiliki sifat yang berbeda. Sebaliknya ada OAINS yang berbeda subgolongan tapi memiliki sifat yang serupa.
Kemajuan penelitian dalam dasawarsa terakhir ini memberi penjelasan mengapa kelompok heterogen tersebut memiliki kesamaan efek terapi dan efek samping. Ternyata sebagian besar efek terapi dan efek sampingnya berdasarkan atas penghambatan biosintesis prostaglandin (PG).
Mekanisme kerja dan yang berhubungan dengan system biosintesis Prostaglandin ini mulai diperlihatkan secara invitro bahwa dosis rendah aspirin dan indometasin menghambat produksi enzimatik Prostaglandin. Penelitian lanjutan membuktikan bahwa Prostaglandin akan dilepaskan bilamana sel mengalami kerusakan. Walaupun secara invitro OAINS diketahui menghambat obat berbagai reaksi biokimiawi, hubungan dengan efek analgesic, antipiretik dan anti inflamasinya belum jelas. Selain itu, OAINS secara umum tidak menghambat biosintesis leukotrien yang diketahui ikut berperan dalam inflamasi.
Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi PGG2 terganggu.Setiap obatmenghambat siklooksigenase dengan cara yang berbeda.Khusus parasetamol, hambatan biosintesis prostaglandin hanya terjadi bila lingkungannya rendah kadar peroksid seperti di hipotalamus.Lokasi inflamasi biasanya mengandung banyak peroksid yang dihasilkan oleh leukosit.Ini menjelaskan mengapa anti-inflamasi parasetamol praktis tidak ada aspirin sendiri menghambat dengan mengasetiliasi gugus aktifserin dan enzim ini.Trombosit sangat rentan terhadap penghambatan ini karena selain tidak mampu mengadakan regenerasi enzim sehingga dosis tunggal aspirin 40 mg sehari telah cukup untuk menghambat siklooksigenase trombosit manusia selama masa hidup trombosit yaitu 8-11 hari.
Nyeri adalah perasaan sensoris dan lemah emosional yang tidak enak dan berkaitan dengan ancaman (kerusakan) jaringan.Keadaan psikis swangat mempengaruhi nyeri, misalnya emosi dapat menimbulkan sakit kepala atau memperhebatnya, tetapi dapat pula menghindarkan sensasi rangsangan nyeri. Nyeri merupakan suatu perasaan pribadi dan ambang toleransi nyeri berbeda-beda bagi setiap orang.Batas nyeri untuk suhu adalah konstan, yakni 44-450C.
Mediator nyeri antara lain mengakibatkan reaksi radang dan kejang-kejang yang mengaktivasi reseptor nyeri di ujung-ujung saraf bebas di kulit, mukosa, dan jarigan lainnya. Nociceptor ini terdapat diseluruh jaringan dan organ tubuh, kecuali di system saraf pusat. Dari sini rangsangan disalurkan ke otak melalui jaringan yang hebat dari tajuk-tajuk neuron dengan sinaps yang amat banyak melalui sum-sum tulang belakang, sum-sum tulang lanjutan dan otak tengah. Dari thalamus impuls diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri.
Adapun mediator nyeri yang disebut juga sebagai autakoid antara lain serotonin, histamine, bradikinin, leukotrien dan prostglandin2.Bradikinin merupakan polipeptida (rangkaian asam amino) yang diberikan dari protein plasma.
Ambang nyeri didefinisikan sebagai tingkatan (level) dimana nyeri dirasakan untuk yang pertama kali.Jadi, intesitas rangsangan yang terendah saat seseorang merasakan nyeri. Untuk setiap orang ambang nyerinya adalah konstan.
Atas kerja farmakologisnya, analgesic dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu:
Analgetik Perifer (non narkotik)
Terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral.
b. Analgetik Narkotik
Khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat, seperti fraktur dan kanker.
Nyeri pada kanker umumnya diobati menurut suatu skema bertingkat empat, yaitu:
Obat perifer (non Opioid) peroral atau rectal; parasetamol, asetosal.
Obat perifer bersama kodein atau tramadol.
Obat sentral (Opioid) peroral atau rectal.
Obat Opioid parenteral
Guna memperkuat analgetik dapat dikombinasikan dengan co-analgetikum, seperti psikofarmaka (amitriptilin, levopromazin atau prednisone).
Obat-obat golongan analgetik dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu: parasetamol, salisilat, (asetasol, salisilamida, dan benorilat), penghambat Prostaglandin (NSAID); ibuprofen, derivate-derivat antranilat ( mefenamilat, asam niflumat glafenin, floktafenin, derivate-derivat pirazolinon (aminofenazon, isoprofilpenazon, isoprofilaminofenazon), lainnya benzidamin.Obat golongan analgesic narkotik berupa, asetaminofen dan fenasetin.Obat golongan anti-inflamasi nonsteroid berupa aspirin dan salisilat lain, derivate asam propionate, asam indolasetat, derivate oksikam, fenamat, fenilbutazon.
Nyeri merupakan gejala yang berfungsi melindungi atau merupakan tanda bahwa adanya gangguan-gangguan ditubuh seperti peradangan (rheumatic/encok), infeksi, maupun kejang otot.
Mekanisme rasa nyeri yaitu perangsangan nyeri baik mekanik, kimiawi, panas maupun listrik akan menimbulkan kerusakan pada jaringan sel sehingga sel-sel tersebut melepaskan suatu zat yang disebut mediator nyeri yang akan merangsang reseptor nyeri. Mediator nyeri ini juga disebut zat autanoid yaitu, histamine, serotonin, plasmakinin, bradikinin (asam lemak) prostaglandin dan ion kalium.
Mekanisme kerja penghambatan rasa nyeri ada tiga yaitu:
Merintangi pembentukkan rangsangan dalam reseptor rasa nyeri, seperti pada anastesi local.
Merintangi penyaluran rangsangan nyeri dalam saraf sensoris, seperti pada anastesi local.
Blokade rasa nyeri pada system saraf pusat seperti pada analgetik sentral (narkotika) dan anastesi umum.
Adapun jenis nyeri beserta terapinya, yaitu:
Nyeri ringan
Contohnya: sakit gigi, sakit kepala, sakit otot karena infeksi virus, nyeri haid, keseleo.Pada nyeri dapat digunakan analgetik perifer seperti parasetamol, asetosal dan glafenin.
Rasa nyeri menahun
Contohnya: rheumatic dan arthritis.
Pada nyeri ini dapat digunakan analgetik anti-inflamasi, seperti: asetosal, ibuprofen dan indometasin.
Nyeri hebat
Contoh: nyeri organ dalam, lambung, usus, batu ginjal, batu empedu.
Pada nyeri ini dapat digunakan analgetik sentral berupa atropine, butilskopolamin (bustopan), camylofen ( ascavan).
Nyeri hebat menahun
Contoh: kanker, rheumatic, neuralgia berat.
Pada nyeri ini digunakan analgetik narkotik, seperti fentanil, dekstromoramida, bezitramida.

Obat analgetik narkotik
Morfin dan derivatnya :
a. Morfin
b. Heroin
c. Hidromorfon
d. Oksimorfon
e. Levorfanol
f. Levalorfan
g. Kodein
h. Hidrokodon
i. Oksikodon
j. Nalorfin
k. Nalokson
l. Nalbufin
m. Tebain
Meperidin dan derifat fenilpiperidin :
n. Meperidin
o. Alfaprodin
p. Difenoksilat
q. Fentanil
r. Loperami
Metadon Dan Opioid lainx :
a.Metadon
b.Propoksifen
c.Dekstromoramida
d.Bezitramida
Obat Antagonis Opioid :
a.Naltrekson
b.Nalorfin
c.Levalorfan
d.Siklazosin
e.Pentazosin
f.Butorfanol
Obat golongan Antiinflamasi non Steroid
1.Turunan asam salisilat : aspirin, salisilamid,diflunisal.
2.Turunan 5-pirazolidindion : Fenilbutazon, Oksifenbutazon.
3.Turunan asam N-antranilat : Asam mefenamat, Asam flufenamat
4.Turunan asam arilasetat : Natrium diklofenak, Ibuprofen, Ketoprofen.
5.Turunan heteroarilasetat : Indometasin.
6.Turunan oksikam : Peroksikam, Tenoksikam.

Sumber:
Sutistia G.Ganiswara .1995. Farmakologi Dan Terapi edisi IV. Jakarta
Tan Hoan Tjay dan Kirana Raharja. 2005. Obat-Obat Penting . Jakarta : PT Gramedia
Mary. J Mycek Dkk. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi II. Jakarta: Widya Medika
Katzung.G.Bertram 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi VIII Bagian ke II.Jakarta : Salemba Medika.
Diposkan oleh Rita Riata di 22:34 0 komentar
Label: farmakologi
metabolisme obat
Biotransformasi atau metabolisme obat ialah proses perubahan struktur kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalisis oleh enzim. Pada proses ini molekul obat diubah menjadi lebih polar artinya lebih mudah larut dalam air dan kurang larut dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada umumnya obat menjadi inaktif, sehingga biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat. Tetapi, ada obat yang metabolitnya sama aktif, lebih aktif, atau lebih aktif. Ada obat yang merupakan calon obat ( prodrug ) justru diaktifkan oleh enzim biotransformasi ini. Metabolit aktif akan mengalami biotransformasi lebih lanjut dan diekskresi sehingga kerjanya berakhir.
Biotransformasi terjadi terutama dalam hati dan hanya dalam jumlah yang sangat rendah terjadi dalam organ lain ( misalnya dalam usus, ginjal, paru – paru, limpa, otot, kulit atau dalam darah ).
Enzim yang berperan dalam biotransformasi obat dapat dibedakan berdasarkan letaknya dalam sel, yakni enzim mikrosom yang terdapat dalam retikulum endoplasma halus ( yang pada isolasi in vitro membentuk mikrosom ), dan enzim non mikrosom. Kedua macam enzim metabolisme ini terutama terdapat dalam sel hati, tetapi juga terdapat di sel jaringan lain misalnya ginjal, paru, epitel saluran cerna, dan plasma. Di lumen saluran cerna juga terdapat enzim non mikrosom yang dihasilkan oleh flora usus. Enzim mikrosom mengkatalisis reaksi konjugasi glukuronid, sebagian besar reaksi oksidasi obat, serta reaksi reduksi dan hidrolisis. Sedangkan enzim non mikrosom mengkatalisis reaksi konjugasi lainnya, beberapa reaksi oksidasi, serta reaksi reduksi dan hidrolisis.
Sebagian besar biotransformasi obat dikatalisis oleh enzim mikrosom hati, demikian juga biotransformasi asam lemak, hormon steroid, dan bilirubin. Untuk itu obat harus larut lemak agar dapat melintasi membran, masuk ke dalam retikulum endoplasma, dan berikatan dengan enzim mikrosom.
Sistem enzim mikrosom untuk reaksi oksidasi disebut oksidase fungsi campur ( mixed-function oxidase = MFO ) atau monooksigenase; sitokrom P-450 ialah komponen utama dalam sistem enzim ini. Reaksi yang dikatalisis oleh MFO meliputi reaksi N- dan O-dealkilasi, hidroksilasi cincin aromatik dan rantai sampingnya, deaminasi amin primer dan sekunder, serta desulfurasi.
Glukuronid merupakan metabolit utama dari obat yang mempunyai gugus fenol, alkohol, atau asam karboksilat. Metabolit ini biasanya tidak aktif dan cepat diekskresi melalui ginjal dan empedu secara sekresi aktif untuk anion.


Glukuronid yang diekskresi melalui empedu dapat dihidrolisis oleh enzim beta-glukuronidase yang dihasilkan oleh bakteri usus, dan obat yang dibebaskan dapat diserap kembali. Sirkulasi enterohepatik ini memperpanjang kerja obat. Reaksi glukuronidasi ini dikatalisis oleh beberapa jenis enzim glukuronil-transferase.
Berbeda dengan enzin non mikrosom, enzim mikrosom dapat dirangsang maupun dihambat aktivitasnya oleh zat kimia tertentu termasuk yang terdapat di lingkungan. Zat ini menginduksi sintesis enzim mikrosom tanpa perlu menjadi substratnya. Zat penginduksi enzim ini dibagi atas 2 golongan, yakni kelompok yang kerjanya menyerupai fenobarbital dan kelompok hidrokarbon polisiklik. Fenobarbital meningkatkan biotransformasi banyak obat, sedangkan hidrokarbon polisiklik meningkatkan metabolisme beberapa obat saja. Penghambatan enzim sitokrom P-450 pada manusia dapat disebabkan misalnya oleh simetidin dan etanol. Berbeda dengan penghambatan enzim yang langsung terjadi, induksi enzim memerlukan waktu pajanan beberapa hari bahkan beberapa minggu sampai zat penginduksi terkumpul cukup banyak. Hilangnya efek induksi juga terjadi bertahap setelah pajanan zat penginduksi dihentikan. Beberapa obat bersifat autoinduktif artinya merangsang metabolismenya sendiri, sehingga menimbulkan toleransi. Karena itu diperlukan dosis yang lebih besar untuk mencapai efektivitas yang sama. Pemberian suatu obat bersama penginduksi enzim metabolismenya, memerlukan peningkatan dosis obat. Misalnya, pemberian warfarin bersama fenobarbital, memerlukan peningkatan dosis warfarin untuk mendapatkan efek antikoagulan yang diinginkan. Bila fenobarbital dihentikan, dosis warfarin harus diturunkan kembali untuk menghindarkan terjadinya perdarahan yang hebat.
Oksidasi obat-obat tertentu oleh sitokrom P-450 menghasilkan senyawa yang sangat reaktif, yang dalam keadaan normal segera diubah menjadi metabolit yang stabil. Tetapi, bila enzimnya diinduksikan atau kadar obatnya tinggi sekali, maka metabolit antara yang terbentuk juga banyak sekali. Karena inaktivasinya tidak cukup cepat, maka senyawa tersebut sempat beraksi dengan komponen sel dan menyebabkan kerusakan jaringan. Contohnya ialah parasetamol.
Enzim nonmikrosom mengkatalisis semua reaksi konjugasi yang bukan dengan glukuronat yaitu konjugasi dengan asam asetat, glisin, glutation, asam sulfat, asam fosfat, dan gugus metil. sistem ini juga mengkatalisis beberapa reaksi oksidasi, reduksi, dan hidrolisis.
Reaksi hidrolisis dikatalisis oleh enzim esterase nonspesifik di hati, plasma, saluran cerna, dan di tempat lain, serta oleh enzim amidase yang terdapat di hati. Reaksi oksidasi terjadi di mitokondria dan plasma sel hati serta jaringan lain, dan dikatalisis oleh enzim alkohol dan aldehid dehidrogenase, xantin oksidase, tirosin hidroksilase, dan monoamin oksidase.
Reaksi reduksi mikrosomal dan nonmikrosom terjadi di hati dan jaringan lain untuk senyawa azo dan nitro, misalnya kloramfenikol. reaksi ini seringkali dikatalisis oleh enzim flora usus dalam lingkungan usus yang anaerob.


Karena kadar terapi obat biasanya jauh dibawah kemampuan maksimal enzim metabolismenya, maka penghambatan kompetitif antara obat yang menjadi substrat bagi enzim yang sama jarang terjadi. Penghambatan kompetitif metabolisme obat hanya terjadi pada obat yang kadar terapinya mendekati kapasitas maksimal enzim metabolismenya, misalnya difenilhidantoin yang dihambat metabolismenya oleh dikumarol dan 6-merkaptopurin yang dihambat metabolismenya oleh alopurinol. Akibatnya, toksisitas obat yang dihambat metabolismenya meningkat.
Reaksi biokimia yang terjadi dapat dibedakan atas 2 reaksi, yaitu :
1. Reaksi fase I
Pada reaksi fase I ini mengubah obat menjadi metabolit yang lebih polar, yang dapat bersifat inaktif, kurang aktif, atau lebih aktif daripada bentuk aslinya. Yang termasuk dalam reaksi fase I adalah oksidasi, reduksi, dan hidrolisis.
a. Reaksi Oksidasi
Yang sangat penting untuk biotransformasi ialah reaksi oksidasi yang melibatkan oksidase, monooksigenase, dan dioksigenase. Oksidase mengoksidasi melalui penarikan hidrogen atau elektron. Oleh monooksigenase, satu atom oksigen dari molekul oksigen diikat pada bahan asing dan atom oksigen lain direduksi menjadi air. Sebaliknya, dioksigenase memasukkan kedua atom dari 1 molekul oksigen ke dalam xenobiotika. Monooksigenase ( mikrosom ) yang mengandung sitokrom P-450 dan juga sitokrom P-448 yang merupakan protein hem memiliki makna terbesar untuk biotransformasi oksidasi obat.
Istilah sitokrom P-450 dan P-448 dipakai karena terjadi absorpsi kuat dari cahaya pada panjang gelombang 450 dan 448 nm setelah reduksi dengan natrium ditionit dan penyetimbangan dengan CO.
Mikrosom ialah bagian pecahan dari retikulum endoplasma yang terjadi pada sentrifugasi terfraksinasi dari homogenat sel hati ( fraksi mikrosom ). Enzim yang terikat pada mikrosom disebut enzim mikrosom.
Monooksigenase yang mengandung sitokrom mengkatalisis hidroksilasi alifatik dan aromatik, epoksidasi ikatan rangkap olefinik dan aromatik, dealkilasi oksidatif senyawa N-alkil, O-alkil, dan S-alkil, deaminasi oksidatif dan oksidasi tioeter dan amin menjadi sulfoksida dan juga hidroksilamina.
Enzim pengoksidasi yang penting lainnya adalah:
alkoholdehidrogenase, yang mendehidrasi alkohol, khususnya etanol menjadi aldehid.
monoaminoksidase, yang umumnya bekerja secara oksidasi pada amina biogenik ( misalnya katekolamina ).
aldehida-oksidase, yang mengubah aldehida menjadi asam.
n-oksidase, yang tidak mengandung sitokrom P-450 melainkan fad dan mengubah amina sekunder menjadi hidroksilamina, amina tersier menjadi n-oksida.

b. Reaksi Reduksi
Dibandingkan dengan oksidasi, reduksi hanya memegang peranan kecil pada biotransformasi. senyawa karbonil dapat direduksi menjadi alkohol oleh alkoholdehidrogenase atau aldol ketoreduktase sitoplasma. Untuk penguraian senyawa azo menjadi amina primer melalui tahap antara hidrazo tampaknya ada beberapa enzim yang terlibat, di antaranya NADPH-sitokrom P-450 reduktase. Yang masih belum diketahui seluruhnya ialah enzim yang terlibat dalam reduksi senyawa nitro menjadi amina yang sesuai. Secara toksikologik berarti ialah dehalogenisasi reduktif, misalnya pada karbromal serta dari karbontetraklorida menjadi kloroform.
c. Reaksi Hidrolisis
Reaksi biohidrolisis penting :
penguraian ester dan amida menjadi asam dan alkohol serta amina oleh esterase ( amidase )
pengubahan epoksida menjadi diol berdampingan ( visinal ) oleh epoksidahidratase ( sinonim epoksidahidrolase ) serta
hidrolisis asetal ( glikosida ) oleh glikosidase.
Ester dan amida dihidrolisis oleh enzim yang sama menurut pengetahuan saat ini. sesungguhnya ester lebih cepat dihidrolisis daripada amida. Enzim ini terdapat baik intrasel maupun juga ekstrasel, terikat pada mikrosom dan dalam bentuk terlarut. Untuk metabolisme bahan asing, terutama penting sekali pseudokolin-esterase dan yang disebut ali-esterase, yang menguraikan terutama ester alifatik dan amida, serta aril-esterase,yang memiliki afinitas tinggi terhadap ester dan amida aromatik. Epoksidahidratase, yang terdapat dalam suatu kompleks neka-enzim dengan monooksigenase, memiliki arti untuk penguraian epoksida.

2. Reaksi fase II
Merupakan penggabungan obat aslinya atau metabolitnya dengan bermacam-macam komponen endogen. Reaksi konjugasi yang dilakukan oleh enzim transferase memerlukan baik komponen endogen maupun eksogen.reaksi konjugasi mencakup:
a. reaksi antara senyawa yang mempunyai gugus hidroksil alkohol atau fenol, gugus amino, gugus sulfhidril dan sebagian juga gugus karboksil dengan senyawa tubuh sendiri yang kaya akan energi.
b. reaksi penggabungan antara senyawa asing, setelah diaktivasi dengan senyawa tubuh sendiri ( tidak teraktivasi )






Reaksi fase II terpenting adalah konjugasi dengan :
asam glukuronat aktif
Umumnyakonjugasi dapat terjadi dengan terbentuknya glukuronida. Kombinasi dengan asam glukuronat terjadi dengan cepat dengan senyawa yang mempunyai gugus fungsional dengan proton yang reaktif yang biasanya mengikat hetero-atom seperti gugus hidroksil, karboksil, amino sulfidril. Gugus fungsional kemungkinnan sudah terdapat dalam molekul obat seperti Asetaminophen.
asam amino
N-glukoronida terbentuk melalui gugus amino sebagai contoh pada Meprobamat.
sulfat aktif
Ester sulfat terbantuk dari fraksi terlarut dari P.A.P.S.F (3-phosphoadenosine-5’phosphosulfat) dan komponen substrat lain, seperti fenol (contoh Parasetamol, Salisilamid), alifatis dan alkohol steroid (contoh Etanol, Andosteron). Kapasitas terbentuknya konjugasi sulfat adalah terbatas dan tampak dalam hubungannya dengan ketersediaan sulfat yang rendah.
asam asetat aktif
S- adenosilmetionin
serta pembentukan turunan asam merkapturat
Kecuali pada konjugasi dengan asam asetat atau reaksi metilasi, di sini selalu terjadi pemasukan satu gugus asam ke dalam molekul yang pasti meningkatakan kehidrofilan melalui pembentukan garam. Konjugat asam cepat dieliminasi melaui ginjal, dan melalui proses aktif. Dengan demikian umumnya reaksi konjugasi mempunyai sifat reaksi bioinaktivasi atau reaksi detoksikasi, karena produk konjugasi hampir selalu tidak aktif secara biologi. Walaupun demikian dalam beberapa hal, konjugat dapat dihidrolisis lagi menjadi senyawa asal. Yang sering terjadi demikian, misalnya apabila konjugat dengan empedu mencapai usus. sebaliknya konjugat-konjugat yang diekskresi dalam urin, ini merupakan kekecualian.
Metabolit fase II yang masih aktif secara biologi adalah ester asam sulfat triamteren, diuretika penyimpanan kalium.
konjugasi dengan asam glukuronat aktif.
Alkohol yang dikonjugasi dengan asam glukuronat aktif terutama alkohol yang tidak dapat cepat dioksidasi yaitu alkohol sekunder dan alkohol tersier. Fenol, asam karboksilat dan amina dapat juga dikonjugasi dengan asam glukuronat. Asam glukuronat adalah asam yang relatif kuat yang mengandung gugus oh alkohol tambahan dan karena itu sangat hidrofil. Asam glukuronat diubah menjadi bentuk asam glukuronat aktif ( UDP-asam glukuronat ) oleh glukuroniltransferase yang terikat membran, terutama dalam hati, dan disamping itu dalam ginjal dan usus.



konjugasi dengan glisisn.
Asam karboksilat yang tidak dapat diuraikan lebih lanjut secara oksidasi, dapat diuraikan lebih lanjut secara oksidasi, dapat membentuk konjugat dengan glisin. di sini termasuk asam karboksilat yang tersubtitusi pada atom alfa –C dan aromatik, misalnya asam benzoat. Contoh klasik untuk konjugat demikian adalah asam hipurat yang terbentuk dari asam benzoat dan asam salisilurat yang terbentuk dari asam salisilat.Reaksi ini dikatalisis oleh transasilase.
konjugasi dengan asam sulfat
Terutama fenol membentuk konjugat dengan sulfat aktif, yang dilakukan oleh sulfotransferase. Sulfotransferase merupakan enzim yang larut dengan kespesifikan yang berbeda-beda.Yang terbentuk adalah setengah ester asam sulfat yang diekskresi dalam urin.Perbandingan sulfat organik terhadap sulfat anorganik dalam urin meningkat jauh sesuai dengan pemasukan fenol ke dalam tubuh atau pemasukan senyawa yang diuraikan menjadi fenol.
pembentukan turunan asam merkapturat
Ini merupakan reaksi konjugasi yang berlangsung melalui beberapa tahap. Pada reaksi ini terutama glutation-s-epoksidatransferase yang terlibat. Senyawa halogen dan senyawa aromatik dapat di biotransformasi dengan cara ini. Turunan asam merkapturat, seperti konjugat lain, sangat hidrofil dan mudah diekskresi. Karena itu, senyawa ini merupakan substrat yang baik untuk sistem transport aktif dalam ginjal dan hati.
metilasi
Metilasi jarang terdapat dalam reaksi biotransformasi. Dalam beberapa hal ditemukan suatu N-metilasi atau metilasi senyawa heterosiklik tak jenuh. Contohnya,pembentukan N-metilnikotinamida dari nikotinamida. Basa amonium kuarterner yang dibentuk dengan cara ini bersifat hidrofil dan dapat diekskresi secara aktif. Metilasi gugus OH fenol, seperti ditemukan misalnya pada katekolamina, lebih merupakan kekecualian daripada menurut aturan.
asetilasi
Xenobiotika bergugus amino yang tak dapat diuraikan secara oksidasi, sering diasetilasi dengan bantuan asetiltransferase. Di sini termasuk amina aromatik ( misalnya anilina ) dan alkilamina, dengan gugus amino terdapat pada atom karbon tersier. Asetilasi sulfonamida merupakan contoh konjugasi demikian yang umumnya menyebabkan penurunan sifat hidrofilnya. Ini dapat menimbulkan kompliksi tertentu, contohnya kristaluria, seperti digambarkan sebagai efek samping sulfonamida. Di pihak lain asetilasi mengurangi khasiat karena gugus amino yang biasanya penting untuk aktivitas biologi, ditutupi akibat asetilasi.



Pemberian suatu sediaan obat pada seseorang dan dengan posologi yang sama kadang-kadang memberikan kadar obat dalam darah yang beragam. Perbedaan tersebut dapat terjadi karena:
penyebab endogen yang sangat erat hubungannya dengan genetik, atau keadaan fisiologik dan patologik, yang berkaitan dengan fungsi dari berbagai organ tubuh.
misalnya : sistem saraf, peredaran darah, endokrin,dan pencernaan.
penyebab eksogen yang tergantung pada keadaan lingkungannya.
Faktor fisiologik
- perbedaan spesies
- faktor individu
• umur
Pada bayi yang baru lahir, permeabilitas membran fisiologik yang lebih besar dibanding anak-anak dan dewasa, sehingga sawar hemato-ensefalik bayi mudah ditembus oleh sejumlah obat. Kemungkinan intoksikasi pada bayi harus lebih diperhatikan dibanding anak muda.
Pada usia lanjut harus berhati-hati karena cukup banyak obat yang dapat menyebabkan kerusakan hati. Pada tubuh orang tua, efek sedative barbiturat dan hipnotik akan berkurang dan efek toksiknya semakin meningkat. Namun pada umur tersebut tubuh lebih toleran terhadap alokohol dan morfin.
jenis kelamin
Pada umumnya efek samping obat yang tidak diinginkan lebih nyata dan lebih sering terjadi pada wanita. Hormon androgen mempercepat reaksi hidroksilasi (heksobarbital dan pseudobarbital), N-demetilasi (piramidon, morfin) dan glukurokonjugasi terutama pada tikus jantan dibanding tikus betina.
morfotipe
kelamin genetik
kehamilan
keadaan gizi
ritme biologik
faktor patologik
- faktor penyulit dan penurun efek obat
Penurunan efek obat mungkin merupakan konsekuensi dari penyerapan yang jelek pada saluran cerna, pembuluh darah atau peningkatan peniadaan melalui ginjal.
- faktor penyulit dan peningkatan efek obat
Peningkatan efek dapat disebabkan oleh penyerapan yang berlebihan, kemudahan difusi, dan terutama oleh kegagalan hati atau ginjal





faktor lingkungan
- makanan dan diet
Kekurangan makanan dan nutrisi dapat menghambat fungsi tubuh dan metabolisme obat. aspek lain yang terkait adalah makanan dalam jumlah banyak, adanya bahan tambahan dan terutama adanya pencemar.
- toksikomania ( kecanduan )
Alkohol mempengaruhi klirens obat oleh ginjal dan alkohol dapat merupakan induktor pada alkohol dehidrogenasi. Dalam waktu yang lama, kecanduan alkohol dapat menyebabkan berbagai keadaan patologik, misalnya sirosis.
Asap rokok dan hidrokarbonnya berbahaya. Karbondioksidanya berpengaruh pada sitokrom P-450 dan akan menurunkan hidroksilasi dari anilin hidrokarbon polisiklik yang bersifat induktor.
- cemaran udara
- faktor meteorologi
contoh : suhu, sinar, kelembapan udara
Radiasi ion-ion memiliki kecenderungan untuk mengaktifkan metabolisme dari senyawa eksogen. Radiasi tersebut meningkatkan pembentukan nadph dan dapat menghambat oksidasi mikrosom.
- stress dan kelelahan.

INDUKSI ENZIM
Banyak xenobiotika ( bisa disebut dengan obat ), khususnya senyawa-senyawa yang larut baik dalam lemak dengan masa kontak dalam hati yang lama, mampu menginduksi peningkatan pembentukan enzim-enzim yang terlibat pada biotransformasi. Karena itu disebut sebagai induktor ( enzim ) dan dibedakan menurut enzim yang diinduksi :
• jenis fenobarbital
• jenis metilkolantren
Induktor jenis fenobarbital, yang sangat penting untuk metabolisme bahan obat, menaikkan proliferasi retikulum endoplasma dan dengan demikian bekerja menaikkan denhgan jelas bobot hati. Induksi menyangkut terutama sitokrom P-450, di samping itu, antara lain, glukuroniltransferase, glutationtransferase dan epoksidahidrolase lebih banyak dibentuk. Induksi terjadi relatif cepat dalam waktu beberapa hari.
Sebagai akibat induksi enzim, maka kapasitas penguraian dan dengan demikian laju biotransformasi meningkat. Peningkatan biotransformasi tidak hanya pada induktor enzim melainkan juga obat-obat lain, bahan khasiat tubuh sendiri atau senyawa essensial. Waktu paruh biologi semua senyawa ini dengan demikian dipersingkat. Apabila induktor dihentikan, kapasitas penguraian dalam waktu beberapa hari sampai beberapa minggu menurun sampai pada tingkat asalnya.


Untuk terapi dengan obat, induktor enzim memberi akibat berikut :
• pada pengobatan jangka panjang dengan induktor enzim, terjadi penurunan konsentrasi bahan obat yang dapat mencapai tingkat konsentrasi dalam plasma pada awal pengobatan dengan dosis tertentu.
• kadar bahan berkhasiat tubuh sendiri dalam plasma dapat menurun sampai di bawah angka normal.
• pada pemberian bersama dengan obat lain terdapat bahaya interaksi obat yang kadang-kadang berbahaya. selama pemberian induktor enzim,konsentrasi obat kedua dalam darah dapat juga menurun. Apabila karena itu dosis ditinggikan untuk mendapatkan efek yang sama maka pada penghentian induktor, kadar obat dalam darah dapat meningkat di atas angka kritis.
Induktor jenis metilkolantren, yang termasuk disini khususnya karbohidrat aromatik (misalnya benzpiren, metilkolantren, tetraklordibenzodioksin, fenantren) dan beberapa herbisida, terutama meningkatkan sintesis sitokrom P-448 dan sintesis glukuroniltransferase. Proliferasi retikulum endoplasma dan dengan demikian kenaikan bobot hati hanya sedikit menonjol.

INHIBISI ENZIM
Seperti halnya induksi enzim bekerja pada obat-obat yang secara kimia sangat berbeda maka terdapat banyak bahan obat yang menghambat proses biotransformasi dan dengan demikian dapat memperpanjang kerja dan menaikkan kerja senyawa-senyawa lain. Inhibisi enzim dapat berlangsung dengan cara berikut. Bahan obat menyebabkan penurunan sintesis atau menaikkan penguraian enzim retikulum endoplasma atau antara 2 obat atau beberapa obat terdapat persaingan tempat ikatan pada enzim dan dengan demikian menyebabkan penghambatan penguraian secara kompetitif.

PRO_DRUG
yaitu senyawa yang secara biologik tidak aktif, akan tetapi dalam organisme diubah secara enzimatik atau tak enzimatik menjadi bentuk yang aktif. Pengembangan pro-drug baru dilakukan jika sifat-sifat teknologi, farmakokinetika, farmakodinamika atau toksikologi dari bahan berkhasiat perlu diperbaiki. Jadi sintesis pro-drug diperlukan pada bahan berkhasiat dengan rasa tak enak, kelarutan dalam air tidak cukup pada pemakaian parenteral yang dibutuhkan, kurang dapat terabsorpsi, pengaruh lintas pertama besar, lama kerja singkat, distribusi kedalam organ sasaran tak cukup, keselektifan kerja rendah atau toksisitas tinggi.





yang biasa disebut Natrium-thiopental merupakan obat yangPentothal termasuk golongan barbiturate. Turunan barbiturate bekerja dengan menekan transmisi sinaptik pada system pengaktifan retikula di otak dengan cara mengubah permeabilitas membrane sel, sehingga mengurangi rangsangan polisinaptik dan menyebabkandeaktivasi korteks serebral. Sandberg (1951) membuat postulat bahwa untuk memberi efek penekanan system saraf pusat, turunan asam barbiturate harus bersifat asam lemah dan mempunyai nilai koefisien partisi lemak/air dengan batas tertentu. (Kimia Medisinal 2, Siswandono MS dan Dr. Bambang Soekardjo, SU., 2000: hlm 232). Natrium tiopental adalah obat dari golongan barbital yang memiliki aksi sebagai anestesi jangka waktu singkat. Turunan barbiturat bekerja dengan menekan transmisi sinaptik pada system pengaktifan retikula di otak dengan cara mengubah permeabilitas membrane sel sehingga mengurangi rangsangan polisinaptik dan menyebabkan deaktivasi koerteks serebral. Zat ini tidak mempunyai sifat analgesic dan batas keamanannya sangat sempit, sehingga dapat menimbulkan gejala overdosis berupa depresi kardiorespiratori. Larutannya bersifat sangat alkali dan karena itu bersifat iritatif bila penyuntikan keluar dari vena dan untuk injeksi arteri sangat berbahaya. Pemulihan kesadaran dari pembiusan dengan thiopental dosis menengah terjadi cepat karena obat mengalami redistribusi di dalam tubuh.

Struktur Na-thiopental

H O
N C2H5
S
N CH CH2 CH2 CH3
H O CH3


Gugus karbonil pada posisi 2 bersifat asam lemah, karena dapat bertautomerisasi bentuk keto berada dalam keseimbangan dengan bentuk laktim (enol). Bentuk laktim bereaksi dengan alkali membentuk garam yang larut dalam air. Penggantian unsur O pada aton C di posisi 2 dengan unsure S, yang umumnya disebut tiobarbiturat, menaikkan kelarutan lemak.
Perubahan sruktur yang menaikkan kelarutannya dalam lemak, akan menurunkan mula kerja dan lama kerja obat, menaikkan metabolisme pengrusakan dan ikatan terhadap protein, serta sering kali menaikkan efek hipnotik.
Pemerian serbuk hablur, putih sampai hamper putih kekuningan atau kuning kehijauan pucat; higroskopis; berbau tidak enak. Larutan bereaksi basa terhadap lakmus, terurai jika dibiarkan, jika didihkan terbentuk endapan. Natrium-tiopental, merupakan obat anestesi sistemik turunan tiobarbiturat, mempunyai awal dan masa kerja yang sangat singkat sehingga dimasukkan ke dalam golongan barbiturate dengan kerja sangat singkat.

Natrium-tiopental berdifusi sangat cepat keluar dari otak dan jaringan lain yang mendapat aliran darah banyak dan selanjunya mengalami redistribusi menuju otot bergaris, lemak dan akhirnya ke seluruh jaringan tubuh. Natrium-thiopental merupakan obat yang termasuk golongan barbiturate. Thiopental, obat anestesi sistemik turunan tiobarbiturat, mempunyai awal dan masa kerja yang sangat singkat, sehingga dimasukan dalam golongan barbiturate dengan kerja sangat singkat. Contoh paten obat golongan barbiturate dengan awal dan masa kerja yang sangat cepat adalah Phanodorn, cyclopal, medomin, ortal, Nembutal sodium, ceconal.
Barbiturat bekerja pada seluruh sistem saraf pusat, walaupun pada setiap tempat tidak sama kuatnya. Dosis nonanestesi terutama menekan respon pasca sinaps. Bariturat memperlihatkan beberapa efek yang berbeda pada eksitasi dan inhibisi transmisi sinaptik. Barbiturat bekerja pada seluruh sistem saraf pusat, walaupun pada setiap tempat tidak sama kuatnya. Kapasitas barbiturate membantu kerja GABA sebagian menyerupai kerja benzadiazepin, namun pada dosis tinggi barbiturt menimbulkan depresi sistem saraf pusat yang berat. Berdasarkan masa kerjanya, turunan barbiturate dibagi menjadi 4, yaitu:
1. Turunan barbiturate dengan masa kerja panjang (6 jam atau lebih)
Contohnya : barbiturate, metarbital, fenobarbital
2. Turunan barbiturate dengan masa kerja sedang (3-6 jam)
Contoh :alobarbital, amobarbital, aprobarbital
3. Turunan barbiturate dengan masa kerja pendek (0,5-3 jam)
Contoh : heptabarbital, heksetal
4. Turunan barbiturate dengan masa kerja sangat pendek (<0,5 jam)
Contoh : thiopental, hamital
Thiopental, obat anestesi sistemik turunan tiobarbiturat, mempunyai awal dan masa kerja yang sangat singkat, sehingga dimasukan dalam golongan barbiturate dengan kerja sangat singkat. Thiopental berdifusi sangat cepat keluar dari otak dan jaringan lain yang mendapat aliran darah banyak dan selanjutnya mengalami redistribusi menuju otot bergaris, lemak, dan akhirnya ke seluruh jaringan tubuh. Dengan barbiturate, keseimbangan plasma otak terjadi dengan cepat, karena kelarutan dalam lipid yang tinggi. Thiopental berdifusi sangat cepat keluar dari otak dan jaringan lain yang mendapat aliran darah banyak dan selanjutnya mengalami redistribusi menuju otot bergaris, lemak, dan akhirnya ke seluruh jaringan tubuh. Oleh karena perpindahannya yang cepat dari jaringan otak, maka satu dosis thiopental lama kerjanya sangat pendek.
Metabolisme thiopental jauh lebih lambat bila dibandingkan redistribusinya dan terutama terjadi di hati. Kurang dari 1% dari dosis thiopental yang diberikan mengalami eliminasi dalam bentuk tidak berubah lewat ginjal. Thiopental mengalami metabolisme dengan kecepatan 12%-16% per jam dalam tubuh manusia setelah pemberian dosis tunggal. Dalam dosis tinggi, thiopental menyebabkan tekanan darah arteri, volume sekuncup, dan curah jantung yang efeknya bergantung pada dosis.



Thiopental (pKa = 7,6), mempunyai nilai koefisien partisi lemak/air = 100. dalam plasma darah yang mempunyai pH = 7,4, thiopental terdapat dalam bentuk tidak terionisasi kurang lebih 50%, yang mempunyai kelarutan dalam lemak sangat besar. Thiopental yang berada dalam plasma darah dengan cepat terdistribusi dan dihimpun dalam depo lemek; makin lama makin banyak sehingga kadar obat dalam plasma menurun secara drastic. Untuk mencapai keseimbangan, thiopental yang berada pada jaringan otak masuk kembali ke plasma darah sehingga kadar anestesi tidak tercapai lagi dan efek anestesi seger berakhir (masa kerja obat singkat)
Masa kerja thiopental tidak bergantung pada kecepatan distribusinya. Setelah 3 jam pemberian, kadar thiopental dalam depo lemak 10 kali lebih besar disbanding kadar obat dalam plasma. Dalam lambung tikus, pada pH 1 penyerapannya 46%. Sedangkan pada pH 8 penyerapannya 34%. (Kimia Medisinal, Siswandono MS dan Dr. Bambang Soekardjo, SU.,1995: hlm 10).
anestesi sebelum pemberian anestesi lain, jugaIndikasi Pentothal sebagai anestesi tunggal untuk operasi singkat. Kontra indikasi : kehilangan rasa sakit secara sempurna, status asmatikus, porfiria, laten, atau monifes. Hati-hati pada hipertensi sedang, penyakit kardiovaskuler parah, bertambahnya tekanan intrakarnial, asma, miestemia gravis, dan anemia parah. Efek samping dari obat ini dapat berupa depresi pernafasan, depresi otot jantung, artemia jantung, bersin, batuk, bronkostamus, dan laringospasmus.
Diposkan oleh Rita Riata di 22:31 0 komentar
Label: farmakologi
efek sedatif
Penggolongan suatu obat ke dalam jenis sedative-hipnotik menunjukkan bahwa kegunaan terapeutik utamanya adalah menyebabkan sedasi (dengan disertai hilangnya rasa cemas) atau menyebabkan kantuk. Sedative-hipnotik seringkali diresepkan untuk gangguan tidur karena termasuk ke dalam obat-obatan penekan Sistem Saraf Pusat yang dapat menimbulkan depresi (penurunan aktivitas fungsional) dalam berbagai tingkat dalam Sistem Saraf Pusat.
Sedatif adalah obat tidur yang dalam dosis lebih rendah dari terapi yang diberikan pada siang hari untuk tujuan menenangkan. Sedatif termasuk ke dalam kelompok psikoleptika yang mencakup obat0obat yang menekan atau menghambat sisem saraf pusat.
Sedatif berfungsi menurunkan aktivitas, mengurangi ketegangan, dan menenangkan penggunanya. Keadaan sedasi juga merupakan efek samping dari banyak obat yang khasiat utamanya tidak menekan Sistem Saraf Pusat, misalnya antikolinergika.
Sedatif-hipnotik berkhasiat menekan Sistem Saraf Pusat bila digunakan dalam dosis yang meningkat, suatu sedatif, misalnya fenobarbital akan menimbulkan efek berturut-turut peredaan, tidur, dan pembiusan total (anestesi), sedangkan pada dosis yang lebih besar lagi dapat menyebabkan koma depresi pernafasan dan kematian. Bila diberikan berulang kali untuk jangka waktu lama, senyawa ini lazimnya menimbulkan ketergantungan dan ketagihan.
Hipnotika atau obat tidur adalah zat-zat yang dalam dosis terapeutik diperuntukkan untuk mempermudah atau menyebabkan tidur. Hipnotika menimbulkan rasa kantuk, mempercepat tidur, dan sepanjang malam mempertahankan keadaan tidur yang menyerupai tidur alamiah. Secara ideal obat tidur tidak memiliki aktivitas sisa pada keesokan harinya. (Drs. Tan Hoan Tjay dan Drs. Kirana Rahardja, 2002)
Efek hipnotik meliputi depresi sistem saraf pusat yang lebih kuat daripada sedasi, hal ini dapat dicapai dengan semua obat sedative dengan peningkatan dosis. Depresi sistemsaraf pusat yang bergantung pada tingkat dosis merupakan karakteristik dari sedative-hipnotik. Dengan peningkatan dosis yang diperlukan untuk hipnotik dapat mengarah kepada keadaan anestesi umum.



Masih pada dosis yang tinggi, obat sedative-hipnotik dapat mendepresi pusat-pusat pernafasan dan vasomotor di medulla, yang dapat mengakibatkan koma dan kematian. (BertramG. Katzung, 2002)
Bentuk yang paling ringan dari penekanan sistem saraf pusat adalah sedasi, dimana penekanan sistem saraf pusat tertentu dalam dosis yang lebih rendah dapat menghilangkan respon fisik dan mental tetapi tidak mempengaruhi kesadaran. Sedatif terutama digunakan pada siang hari, dengan meningkatkan dosis dapat menimbulkan efek hipnotik. Jika diberikan dalam dosis yang sangat tinggi, obat-obat sedatif-hipnotik mungkin dapat mencapai anestesi, sebagai contoh adalah barbiturat dengan masa kerja yang sangat singkat yang digunakan untuk menimbulkan anestesi adalah natrium thiopental (Pentothal).
Penggolongan obat yang bekerja dengan mekanisme penekanan sistem saraf pusat dilihat berdaasrkan efek terapeutiknya adalah:
1. Depresan sistem saraf pusat umum
Efek dari obat ini bersifat mendepresi secara ridak selektif pada struktur sinaptik, termasuk pada jaringan prasinaptik dan pasca sinaptik. Penggunaan obat golongan depresi sistem saraf pusat umum ini menstabilkan membran neuron dengan cara mendepresi struktur dari pasca sinaps, selain itu juga dengan mengurangi jumlah transmitter kimia yang dilepaskan oleh neuron prasinaps.
2. Rangsang sistem saraf pusat umum
Obat golongan ini juga bekerja secara tidak selektif, seperti pada obat depresi umum, namun terdapat perbedaan mekanisme kerja dari obat golongan ini. Cara kerjanya dalam tubuh melalui salah satu tahap, yaitu dengan mengurangi hambatanpada pasca sinaps atau mengeksitasi neuron secara langsung. Proses terjadinya eksitasi dari neuron secara langsung dapat dicapai dengan mendepolarisasi atau mengurangi kepolaran dari sel prasinaps. Cara lain adalah dengan meningkatkan pelepasan prasinaps akan transmitter, selain itu juga dapat dilakukan dengan menurunkan waktu paruh dari sinaptik.
3. Obat sistem saraf pusat selektif
Obat dari golongan in bekerja secara selektif dan efektif untuk suatu hal saja. Penggunaan obat golongan ini biasanya untuk depresan dan juga sebagai perangsang. Mekanisme kerjanya dapat melalui beberapa cara seperti dalam pengobatan anti kejang, pelemas otot-otot yang bekerja sentral, secara analgetik dan obat psikofarmakologi.





Obat-obat penenang (antipsikotik) berbeda pengaruhnya dengan hipnotik sebab tidak menimbulkan efek anetetik. Sebagai contoh klorpromasin dan reserpin, penekanannya pada SSP tidak terlalu dalam sehingga hanya menimbulkan efek sedasi. Efek sedatif dapat mempengaruhi kemampuan koordinasi motorik hewan uji. Besar kecilnya pengaruh terhadap koordinasi motorik tersebut dapat menggambarkan besar kecilnya efek sedatif.

Fisiologi Tidur
Kebutuhan akan tidur dapat dianggap sebagai suatu perlindungan dari organisme untuk menghindari pengaruh yang merugikan tubuh karena kurang tidur. Tidur yang baik, cukup dan lama adalah mutlak untuk regenerasi sel-sel tubuh, dan memungkinkan pelaksanaan aktivitas pada siang hari dengan baik. Efek terpenting yang mempengaruhi kualitas tidur adalah penyingkatan waktu menidurkan, perpanjangan masa tidur, dan pengurangan jumlah periode terbangun. Pasat tidur di otak (sumsum sambungan) mengatur fungsi fisiologi ini yang sangat penting bagi kesehatan tubuh.
Pada waktu tidur, aktifitas saraf parasimpatik meningkat dengan efek penyempitan pupil, perlambatan pernafasan, dan sirkulasi darah, serta stimulasi aktivitas saluran cerna dengan penguatan peristaltic dan sekresi getah lambung-usus. Singkatnya, proses-proses pengumpulan energi dan pemulihan tenaga dari organisme.
Pada umumnya, selama satu malam dapat dibedakan 4 sampai 5 siklus tidur dari kira-kira 1,5 jam. Setiap siklus terdiri dari 2 stadia, yaitu :
a. Tidur non-REM
Disebut juga Slow Wave Sleep (SWS), berdasarkan registrasi aktivitas listrik otak (EEG = elektro-encefalo-gram). Non-REM bercirikan denyutan jantung, tekanan darah, dan pernafaasn yang teratur, serta relaksasi otot tanpa gerakan otot muka atau mata. SWS ini berlangsung lebih kurang satu jam lamanya dan meliputi berturut-turut 4 fase, di mana fase 3 dan 4 merupakan bentuk tidur yang terdalam, juga penting bagi perbaikan (restorasi) alamiah dari sel-sel tubuh.
b. Tidur REM (Rapid Eye Movement) atau tidur parakdosal
Dengan aktivitas EEG yang mirip dengan keadaan sadar dan aktif, bercirikan gerakan mata cepat ke satu arah. Di samping itu jantung, tekanan darah, dan pernafasan turun-naik, aliran darah ke otak bertambah, dan otot-otot sangat relaks. Selama tidur REM yang pada kedua siklus yang pertama berlangsung 5-15 menit lamanya, timbul banyak impian, sehingga disebut juga tidur-mimpi. Berangsur-angsur fase mimpi menjadi lebih panjang, hingga pada siklus terakhir dapat berlangsung antara 20-30 menit lamanya.


Bila tidur REM dirintangi dan menjadi lebih singkat, misalnya akibat obat tidur, maka pasien mengalaminya sebagai tidur tidak nyenyak dan merasa tidak fit. Hal ini akhirnya dapat menimbulkan gangguan psikis dan mengganggu kesehatan. Saat berlangsungnya tidur paradoks terjadi pembebasan nonadrenalin dengan cara aktivasi neuron locus soeruleus, dan ini menyebabkan desinkronisasi gelombang EEG dan gerakan mata diaktifkan. Pada waktu yang sama, pembebasan serotinin dihambat juga. Alat pemacu yang menghambat bentuk ritmik dari proses ini masih belum dikenal
Fase non-REM memegang peranan penting dalam pertumbuhan dan restorasi jaringan tubuh. Sedangkan fase REM berkaitan dengan kegiatan restorasi otak. Obat tidur pada umumnya menekan fase 3 dan 4 dari SWS serta tidur REM. Walaupun pada penggunaan kronis, penekanan tidur REM bersifat sementara, tetapi bila terapi dihentikan akan terjadi REM-rebound sebagai kompensasi (Drs. Tan Hoan Tjay dan Drs. Kirana Rahardja, 2002)
Semua sedatif-hipnotika akan menyebabkan tidur jika diberikan pada dosis yang cukup tinggi. Efek sedatif-hipnotik terhadap tahapan tidur bergantung dari beberapa faktor, termasuk obat tertentu, dosis, dan frekuensi pemakaian. Meski ada pengecualian pengaruh sedatif-hipnotik terhadap pola tidu normal adalah sebagai berikut :
1. lamanya mula tidur berkurang (waktu yang diperlukan untuk tidur)
2. lamanya tidur non-REM tahap 2 berkurang
3. lamanya tidur REM berkurang
4. lamanya tidur gelombang lambat berkurang.

Transpor sedatif-hipnotik di dalam darah merupakan proses dinamis dimana molekul-molekul obat masukdan keluar jaringan pada kecepatan yang bergantung pada aliran darah, perbedaan konsentrasi, dan permeabilitas. Kelarutan di dalam lipid memegang peranan penting dalam menentukan kecepatan dimana sedatif-hipnotika tertentu memasuki sistem saraf pusat.
Kelompok sedatif-hipnotik yang telah digunakan puluhan tahun adalah kelompok barbiturat. Barbiturat pertama kali dikenalkan sebagai suatu sedatif pada awal tahun 1990-an. Barbiturat bekerja pada seluruh sistem saraf pusat, walaupun pada setiap tempat tidak sama kuatnya. Kapasitas barbiturat membantu kerja GABA sebagian menyerupai kerja benzadiazepin, namun pada dosis tinggi barbiturat menimbulkan depresi sistem saraf pusat yang berat.






Berdasarkan masa kerjanya, turunan barbiturate dibagi menjadi 4, yaitu:
1. Turunan barbiturat dengan masa kerja panjang (6 jam atau lebih)
Contohnya : barbiturat, metarbital, fenobarbital
2. Turunan barbiturat dengan masa kerja sedang (3-6 jam)
Contoh :alobarbital, amobarbital, aprobarbital, dan butabarbital berguna untuk mempertahankan tidur dalamjangka waktu yang panjang
3. Turunan barbiturat dengan masa kerja pendek (0,5-3 jam)
Contoh : sekobarbital, dan pentobarbital, yang digunakan untuk menimbulkan tidur untuk orang yang sulit jatuh tidur.
4. Turunan barbiturat dengan masa kerja sangat pendek (<0,5 jam)
Contoh : thiopental yang digunakan untuk anestesi umum.
Barbiturat harus dibatasi penggunaannya hanya untuk jangka waktu pendek (2 minggu atau kurang) karena memiliki efek samping.
Selain barniturat, senyawa lain yang digunakan sebagai obat tidur antara lain :
1. Benzodiazepin
Benzodiazepin dapat menekan tahap 4 dari tidur NREM, yang mengakibatkantimbulnya mimpi yang jelas dan mimpi buruk, tetapi obat-obatan ini tidak mempengaruhi tidur REM. Benzodiazepin efektif pemakaiannya dalam gangguan tidur selama beberapa minggu lebih lama daripada sedative-hipnotik lainnya, tetapi obat-obatan ini tidak boleh dipakai lebih lama dari 3-5 minggu sebagai hipnotik. Golongan benzodiazepin memiliki sifat golongan alkohol yang tinggi. Keuntungan dari obat ini dibandingkan dengan barbital dan obat tidut lainnya adalah tidak atau hamper tidak merintangi tidur REM dan setelah beberapa minggu tidak kehilangan efektivitasnya dalam hal cepatnya menidurkan, memperpanjang, dan memperdalam tidur. Lagipula toksisitasnya rendah sekali ) dosis letal sangat tinggi) sehingga sukar sekali disalahgunakan untuk membunuh diri. Meskipun pada penggunaan yang lama dapat menimbulkan ketergantungan fisik maupun psikis, namun jauh lebih ringan daripada obat tidur lainnya. Karena sifatnya ini, benzodiazepin dianggap sebagai obat tidur pilihan pertama. Obat ini mempengaruhi secara selektif penerusan rangsangan tertentu sistem safar pusat. Selanjutnya terdapat indikasi bahwa mereka memperkuat khasiat neurotransmitter glycin dan GABA (gamma-aminobutyric acid) yang berdaya memblokir pelepasan muatan listik di otak. Contoh obat jenis ini adalah temazepam, nitrazepam, flunitrazepam, trizolam.






2. Alkohol dan aldehida, contohnya adalah Kloralhidrat dan Paraldehida.
Kloral hidrat digunakan untuk memulai tidur dan mengurangi terbangun dari pada malam hari, obat ini tidak menekan tidur REM.lebih sedikit terjadi hangover, depresi pernapasan, dan toleransi dengan kloral hidrat daripada sedative-hipnotik lainnya. Kloral hidrat efektif diberikan kepada orang lanjut usia yang mengalami gangguan hati ringanm tetapi untuk gangguan hati atau ginjal yang berat harus dihindari. (Joyce L / Kee dan Evelyn R. Hayes).
Paraldehida merupakan asetaldehida trimer.senyawa ini berkhasiat baik dan toksisitasnya kecil, tetpai tidak umum digunakan karena senyawa ini menyebabkan udara pernapasan berbau sangat tidak enak dan pada kontak langsung akan merangsang mukosa.efek samapingnya, walau jarang adalah rangsang batuk, eksantema dan terjadi keadaan mabuk. (Dinamika Obat, 1995)
3. Bromida : Kalium, natrium, dan amonium bromida, dan turunan-turunan urea karbonat dan bromisavol
Obat ini hanya berkhasiat hipnotik lemah, atau batu pada dosis yang mendekati dosis toksis. Sehingga digunakan terutama sebagai pereda sakit. Efek sedatif baru muncul setelah beberapa hari, sedangkan ekresinya lambat sehingga ada bahaya kumulasi dengan dengan efek toksik, akibatnya obat-obat jenis ini tidak digunakan lagi pada terapi modern.
4. Piperidindion dan metaqualon
Piperidin menyerupai barbiturat. Obat sedatif-hipnotik yaitu berupa glutetimid dan metiprilon, yang mempunyai efek serupa dengan barbiturat dengan masa kerja singkat, kedua obat ini dipasarkan sebagai non aditif, terapi obat-obat ini menimbulkan adiksi dan dapat menimbulkanreaksi merugikan yang serius, seperti kolaps vasomotor, anemia aplastik yang berat dan reaksi alergi. Iritasi lambungkadang-kadang terjadi