# GudangFileKOE

Kamis, 01 Juli 2010

Diabetes mellitus (DM) (dari kata Yunani diabaínein, "tembus" atau "penerusan", dan kata Latin mellitus, "manis") yang umum dikenal sebagai kencing manis adalah penyakit yang ditandai dengan hiperglisemia (peningkatan kadar gula darah) yang terus-menerus dan bervariasi, terutama setelah makan. Sumber lain menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan diabetes melitus adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh adanya gangguan menahun terutama pada sistem matebolisme karbohidrat, lemak, dan juga protein tertentu. Gangguan metabolisme tersebut disebabkan karena kurangnya produksi hormon insulin yang diperlukan dalam penggubahan gula menjadi tenaga serta sintesis lemak. Kondisi yang demikian itu mengakibatkan terjadinya hiperglikemia, yaitu meningkatnya kadar gula dalam darah atau terdapatnya kandungan gula dalam air seni dan zat-zat keton serta asam (keto-asidosis) yang berlebihan.

Keberadaan zat-zat keton dan asam yang berlebihan ini menyebabkan rasa haus yang terus menerus, banyak kencing, penurunan berat badan meskipun selera makan tetap baik, penurunan daya tahan tubuh atau tubuh lemah, dan mudah sakit. Diabetes melitus sering disebut the great immitator, yaitu penyakit yang dapat menyerang semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai keluhan. Penyakit ini timbul secara perlahan-lahan tanpa disadari pada penderita. (Alifanis H FA/7888 & Ika tiarahani,FA/7892)
Gejala-gejala yang sering muncul:
Tiga serangkai yang klasik tentang gejala kencing manis adalah polyuria (urination yang sering), polydipsia (dahaga ditingkatkan dan masukan cairan sebagai akibat yang ditingkatkan) dan polyphagia ( selera yang ditingkatkan). Gejala awalnya berhubungan dengan efek langsung dari kadar gula darah yang tinggi. Jika kadar gula darah sampai diatas 160-180 mg/dL, maka glukosa akan sampai ke air kemih. Jika kadarnya lebih tinggi lagi, ginjal akan membuang air tambahan untuk mengencerkan sejumlah besar glukosa yang hilang. Karena ginjal menghasilkan air kemih dalam jumlah yang berlebihan, maka penderita sering berkemih dalam jumlah yang banyak (poliuri). (Sofyan Dwi W, FA/7894)
Akibat poliuri maka penderita merasakan haus yang berlebihan sehingga banyak minum (polidipsi). Sejumlah besar kalori hilang ke dalam air kemih, penderita mengalami penurunan berat badan. Untuk mengkompensasikan hal ini penderita seringkali merasakan lapar yang luar biasa sehingga banyak makan (polifagi). Gejala lainnya adalah pandangan kabur, pusing, mual dan berkurangnya ketahanan selama melakukan olah raga. Penderita diabetes yang kurang terkontrol lebih peka terhadap infeksi. Karena kekurangan insulin yang berat, maka sebelum menjalani pengobatan penderita diabetes tipe I hampir selalu mengalami penurunan berat badan. Sebagian besar penderita diabetes tipe II tidak mengalami penurunan berat badan. Pada penderita diabetes tipe I, gejalanya timbul secara tiba-tiba dan bisa berkembang dengan cepat ke dalam suatu keadaan yang disebut dengan ketoasidosis diabetikum. Kadar gula di dalam darah adalah tinggi tetapi karena sebagian besar sel tidak dapat menggunakan gula tanpa insulin, maka sel-sel ini mengambil energi dari sumber yang lain. Sel lemak dipecah dan menghasilkan keton, yang merupakan senyawa kimia beracun yang bisa menyebabkan darah menjadi asam (ketoasidosis). Gejala awal dari ketoasidosis diabetikum adalah rasa haus dan berkemih yang berlebihan, mual, muntah, lelah dan nyeri perut (terutama pada anak-anak). Pernafasan menjadi dalam dan cepat karena tubuh berusaha untuk memperbaiki keasaman darah. Bau nafas penderita tercium seperti bau aseton. Tanpa pengobatan, ketoasidosis diabetikum bisa berkembang menjadi koma, kadang dalam waktu hanya beberapa jam. Bahkan setelah mulai menjalani terapi insulin, penderita diabetes tipe I bisa mengalami ketoasidosis jika mereka melewatkan satu kali penyuntikan insulin atau mengalami stres akibat infeksi, kecelakann atau penyakit yang serius. Penderita diabetes tipe II bisa tidak menunjukkan gejala-gejala semala beberapa tahun. Jika kekurangan insulin semakin parah, maka timbullah gejala yang berupa sering berkemih dan sering merasa haus. Jarang terjadi ketoasidosis. Jika kadar gula darah sangat tinggi (sampai lebih dari 1.000 mg/dL, biasanya terjadi akibat stres-misalnya infeksi atau obat-obatan), maka penderita akan mengalami dehidrasi berat, yang bisa menyebabkan kebingungan mental, pusing, kejang dan suatu keadaan yang disebut koma hiperglikemik-hiperosmolar non-ketotik. (Sofyan Dwi W, FA/7894)
Pembagian bentuk diabetes melitus, yaitu tipe 1, tipe 2,gangguan toleransi glukosa, diabetes karena malnutrisi, dan diabetes gestasional (terjadi selama kehamilan),
1. Diabetes melitus tipe 1
Diabetes melitus tipe 1 dulu disebut insulin-dependent diabetes (IDDM, "diabetes yang bergantung pada insulin"), atau diabetes anak-anak, dicirikan dengan hilangnya sel beta penghasil insulin pada pulau-pulau Langerhans pankreas sehingga terjadi kekurangan insulin pada tubuh. Diabetes tipe ini dapat diderita oleh anak-anak maupun orang dewasa.(Ika Tiarahani FA/7892)
Sampai saat ini diabetes tipe 1 tidak dapat dicegah. Diet dan olah raga tidak bisa menyembuhkan ataupun mencegah diabetes tipe 1. Kebanyakan penderita diabetes tipe 1 memiliki kesehatan dan berat badan yang baik saat penyakit ini mulai dideritanya. Selain itu, sensitivitas maupun respons tubuh terhadap insulin umumnya normal pada penderita diabetes tipe ini, terutama pada tahap awal. Penyebab terbanyak dari kehilangan sel beta pada diabetes tipe 1 adalah kesalahan reaksi autoimunitas yang menghancurkan sel beta pankreas. Reaksi autoimunitas tersebut dapat dipicu oleh adanya infeksi pada tubuh.(Alifanis Hapsari,FA/7888)
Saat ini, diabetes tipe 1 hanya dapat diobati dengan menggunakan insulin, dengan pengawasan yang teliti terhadap tingkat glukosa darah melalui alat monitor pengujian darah. Pengobatan dasar diabetes tipe 1, bahkan untuk tahap paling awal sekalipun, adalah penggantian insulin. Tanpa insulin, ketosis dan diabetik ketoasidosis bisa menyebabkan koma bahkan bisa mengakibatkan kematian. Penekanan juga diberikan pada penyesuaian gaya hidup (diet dan olahraga). Terlepas dari pemberian injeksi pada umumnya, juga dimungkinkan pemberian insulin melalui pump, yang memungkinkan untuk pemberian masukan insulin 24 jam sehari pada tingkat dosis yang telah ditentukan, juga dimungkinkan pemberian dosis dari insulin yang dibutuhkan pada saat makan. Serta dimungkinkan juga untuk pemberian masukan insulin melalui "inhaled powder".(Ika Tiarahani,FA/7892)
Perawatan diabetes tipe 1 harus berlanjut terus. Perawatan tidak akan mempengaruhi aktivitas-aktivitas normal apabila kesadaran yang cukup, perawatan yang tepat, dan kedisiplinan dalam pemeriksaan dan pengobatan dijalankan. Tingkat Glukosa rata-rata untuk pasien diabetes tipe 1 harus sedekat mungkin ke angka normal (80-120 mg/dl, 4-6 mmol/l). Beberapa dokter menyarankan sampai ke 140-150 mg/dl (7-7.5 mmol/l) untuk mereka yang bermasalah dengan angka yang lebih rendah. seperti "frequent hypoglycemic events". Angka di atas 200 mg/dl (10 mmol/l) seringkali diikuti dengan rasa tidak nyaman dan buang air kecil yang terlalu sering sehingga menyebabkan dehidrasi. Angka di atas 300 mg/dl (15 mmol/l) biasanya membutuhkan perawatan secepatnya dan dapat mengarah ke ketoasidosis. Tingkat glukosa darah yang rendah, yang disebut hypoglycemia, dapat menyebabkan kejang atau seringnya kehilangan kesadaran.(Ika tiarahani,FA/7892)
2. Diabetes melitus tipe 2
Diabetes melitus tipe 2 atau disebut non-insulin-dependent diabetes mellitus (NIDDM, "diabetes yang tidak bergantung pada insulin") terjadi karena kombinasi dari "ketidaknormalan dalam produksi insulin" dan "resistensi terhadap insulin" atau "berkurangnya sensitifitas terhadap insulin"(adanya efek respon jaringan terhadap insulin)yang melibatkan reseptor insulin di membran sel. Pada tahap awal abnormalitas yang paling utama adalah berkurangnya sensitifitas terhadap insulin, yang ditandai dengan meningkatnya kadar insulin di dalam darah. Pada tahap ini, hiperglikemia dapat diatasi dengan berbagai cara dan Obat Anti Diabetes yang dapat meningkatkan sensitifitas terhadap insulin atau mengurangi produksi glukosa dari hepar, namun semakin parah penyakit, sekresi insulin pun semakin berkurang, dan terapi dengan insulin kadang dibutuhkan. Ada beberapa teori yang menyebutkan penyebab pasti dan mekanisme terjadinya resistensi ini, namun obesitas sentral (fat concentrated around the waist in relation to abdominal organs, not it seems, subcutaneous fat) diketahui sebagai faktor predisposisi terjadinya resistensi terhadap insulin, mungkin dalam kaitan dengan pengeluaran dari adipokinase (suatu kelompok hormon) itu merusak toleransi glukosa. Abdominal gemuk adalah terutama aktif hormonal. Kegemukan ditemukan kira-kira 90% pasien di dunia yang didiagnosis dengan jenis 2 kencing manis. Faktor lain meliputi keturunan, walaupun di dekade yang terakhir ini telah terus meningkat mulai untuk mempengaruhi anak remaja dan anak-anak.(Alifanis Hapsari,FA/7888)
Diabetes tipe 2 boleh pergi selama bertahun-tahun dalam suatu pasien sebelum atau setelah hasil diagnosa dengan gejala yang kelihatan adalah secara khas lembut atau yang tidak ada, tanpa ketoasidotis, dan dapat sporadis. Bagaimanapun, kesulitan yang menjengkelkan dapat diakibatkan oleh jenis tak ketahuan 2 kencing manis, termasuk kegagalan yang berkenaan dengan ginjal, penyakit yang vaskuler , visi merusakkan, dan lain lain.(Ika tiarahani,FA/7892)
Diabetes Tipe 2 banyak dilakukan mula-mula diobati dengan cara perubahan aktivitas fisik (biasanya peningkatan), diet (umumnya pengurangan asupan karbohidrat), dan lewat pengurangan berat badan. Ini dapat memudarkan kembali kepekaan hormon insulin, bahkan ketika kerugian berat/beban adalah rendah hati,, sebagai contoh, di sekitar 5 kg ( 10 sampai 15 lb), paling terutama ketika itu ada di deposito abdominal yang gemuk. Langkah yang berikutnya, jika perlu,, perawatan dengan lisan antidiabetic drugs. Ketika produksi hormon insulin adalah pengobatan pada awalnya tak terhalang, lisan ( sering yang digunakan di kombinasi) kaleng tetap digunakan untuk meningkatkan produksi hormon insulin ( contohnya sulfoniurea) dan mengatur pelepasan yang tidak sesuai tentang glukosa oleh hati ( dan menipisnya pembalasan hormon insulin sampai taraf tertentu ( contoh metformin), dan pada hakekatnya menipis pembalasan hormon insulin (contohnya thiazolidinediones). Jika ini gagal, ilmu pengobatan hormon insulin akan jadilah diperlukan untuk memelihara normal atau dekat tingkatan glukosa yang normal. Suatu cara hidup yang tertib tentang cek glukosa darah direkomendasikan dalam banyak kasus, paling terutama sekali dan perlu ketika mengambil kebanyakan pengobatan.(Ika Tiarahani,FA/7892)
3. Diabetes toleransi glukosa yang terganggu
Pengaturan kadar glukosa yang stabil dalam darah adalah mekanisme homeostatik yang merupakan kesatuan proses ikut berperannya hati, jaringan ekstra hepatik, dan beberapa hormon. Pada kondisi gula darah normal (80-100 mg/dl), hati merupakan satu-satunya penghasil glukosa. Pada kondisi puasa kadarnya menurun 60-70 mg/dl. Dalam keadaan normal kadar glukosa darah terkontrol dalam batas-batas tersebut. Gangguan tolenransi gula terjadi karena adanya peningkatan kadar glukosa normal. Orang yang mengidat toleransi gula mempunyai resiko untuk menjadi penderita diabetes melitus tipe II. (Alifanis Hapsari,FA/7888)
Kemampuan tubuh dalam memanfaatkan glukosa dapat ditentukan dengan mengukur toleransi glukosa dengan sifat kurva glukosa tertentu. Sifat kurva glukosa ini disebabkan berkurangnya toleransi tubuh terhadap glukosa karena berkurangnya sekresi insulin. Hal ini dimanifestasikan dengan kadar gula darah yang meningkat (Hiperglikemia) disertai glukosuria(kadar gula tinggi dan diikuti perubahan metabolisme lemak) dan perubahan pada metabolisme lemak.(Alifanis Hapsari,FA/7888)
4. Diabetes karena malnutrisi
Terjadinya defisiensi gizi (malnutrisi), defisiensi enzim atau sekresi hormon yang abnormal dapat menyebabkan penyakit diabetes melitus. (Ika Tiarahani,FA/7892)
5. Diabetes melitus gestasional (saat kehamilan)
Diabetes melitus gestasional ( gestational kencing manis mllitus, GDM) juga melibatkan suatu kombinasi dari kemampuan reaksi dan pengeluaran hormon insulin yang tidak cukup. Ini terjadi selama kehamilan, bisa meningkat atau menghilang setelah melahirkan. Diabetes ini dapat bersifat sementara, dibetes melitus gestational bisa merusak kesehatan janin atau ibu. Sekitar 20%–50% dari wanita-wanita penderita dibetes melitus gestational tetap hidup.Diabetes melitus gestasional (GDM) terjadi di sekitar 2%–5% dari semua kasus kehamilan.(Ika Tiarahani,FA/7892)
Faktor-faktor yang memicu timbulnya diabetes, diantaranya adalah :
a. keturunan, 15-20% penderita Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) mempunyai riwayat keluarga diabetes mellitus, sedangkan pada Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) sebanyak 60% berasal dari keluarga diabetes mellitus
b. virus, akibat penyakit parotis (infeksi virus yang menyerang sel β-pankreas) dapat meningkatkan Diabetes Mellitus (DM) pada anak-anak
c. kegemukan, pada orang gemuk aktifitas insulin di jaringan lemak dan otot menurun
d. usia, pada orang-orang yang telah berumur aktifitas sel β-pankreas untuk menghasilkan insulin menurun, selain itu sensitivitas sel-sel jaringan berkurang sehingga tidak menerima insulin
e. diet, pola makan tinggi karbohidrat
f. hormon, beberapa hormon seperti glukagon, hormon pertumbuhan, tiroksin, epinefrin, dan kortison mempunyai aktivitas antagonis terhadap insulin
g. obat, jenis obat-obatan seperti diuretika, adrenalin, kortikosteroid, kontrasepsi oral dapat meningkatkan kadar glukosa darah. (Sofyan Dwi W/FA 7894)

PATOGENESIS
A. Diabetes Mellitus tipe1 (DM tipe 1)
DM tipe 1 adalah penyakit yang menyerang terutama pada anak-anak, memberikan dampak terbesar pada anak-anak perempuan dengan usia 10-12 tahun, dan anak laki-laki pada usia 14 tahun. Bagaimanapun juga penyakit tersebut dapat timbul pada usia-usia tertentu dan hasil diagnosis menunjukkan bahwa sebagian besar pasien yang menderita DM tipe 1 berusia di bawah 20 tahun. Pada DM tipe 1, terjadi kerusakan sel-sel yang memediasi autoimun pada sel-sel beta pancreas, sehingga mengakibatkan defisiensi insulin dan menimbulkan diabetic ketoacidosis (DKA). Semua pasien DM tipe 1 membutuhkan atau bergantung pada ketersediaan insulin untuk dapat bertahan hidup.
Pada tipe ini terjadi destruksi sel-β pankreas yaitu pankreas gagal berespon terhadap masukan glukosa. Hilangnya fungsi sel-β mungkin disebabkan oleh invasi virus, kerja toksin kimia atau umumnya melalui kerja anti body autoimun yang ditujukan untuk melawan sel-β. Pada periode pasca-absorbsi kadar insulin basal rendah, yang bersirkulasi dipelihara melalui sekresi sel-β. Walaupun begitu, diabetes tipe 1 sebenarnya tidak mempunyai fungsi sel-β dan juga tidak merespons terdapat variasi bahan bakar yang bersikulasi maupun memelihara kadar sekresi basal insulin(Nurjannah FA/7890 & Reidinda R. FA/7898)
Autoimun alami pada diabetes mellitus tipe 1 telah diteliti dan didapatkan asumsi bahwa patogenesis dari penyakit ini dapat dijelaskan dengan hubungan yang terjadi antara factor genetik dan lingkungan. Proses patogenesis dapat dirangkum sebagai berikut : pengaruh genetik pada individu (saat ini belum terdefinisi dengan jelas), faktor lingkungan dan proses autoimun (aktivasi T limfosit reaktif untuk antigen sel beta pankreas) yang menyebabkan kerusakan sel beta pankreas dan defisiensi insulin. Berikut ini adalah gambar skema yang menjelaskan tentang proses-proses di atas.






B. Diabetes Mellitus tipe 2 (DM tipe 2)
Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi intraseluler yang menyebabkan mobilisasi pembawa GLUT 4 glukosa dan meningkatkan transpor glukosa menembus membran sel.
Pada pasien DM tipe 2, terdapat kelainan pada pengikatan reseptor dengan insulin. Kelainan ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah empat reseptor pada membran sel yang selnya responsif terhadap insulin atau akibat ketidaknormalan reseptor insulin intrinsik. Akibatnya, terjadi penggabungan abnormal antara kompleks reseptor insulin dengan sistem transpor glukosa. Ketidaknormalan postreseptor dapat megganggu kerja insulin. Pada akhirnya, timbul kegagalan sel beta denganmenurunya jumlah insulinyang beredar dan tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia.
DM tipe 2 ini seringkali dikaitkan dengan faktor obesitas. Berdasarkan penelitian, pada orang yang obesitas dengan jaringan lemak yang bayak dan luas memiliki jumlah reseptor insulin yang lebih sedikit dari orang yang tidak obesitas. Hal ini menyebabkan terhambatnya efek insulin di perifer meskipun sekresi insulin sudah cukup. Akibatnya, transpor glukosa ke dalam sel menurun sementara kadar glukosa dalam darah akan meningkat di atas kadar glukosa normal (Theresia C. FA/7889 & Reidinda R. FA/7898)

C. Diabetes melitus-malnutrisi
Beberapa faktor nutrisis yang mungkin dapat menyebabkan DM-M adalah:
1. Devisisensi protein yang kronik (protei undernutrition) atau keseimbangan nitrogen negatif yang berlangsung lama
2. Devisisensi asam amino yang mengandung sulfur. Misalnya karena makan ketela/cassava dalam jumlah yang banyak dan lama bersamaan dengan diet rendah protein.(cyanide hypothesis).
3. Makanan yang mengandunng toksin yang dapat merusak sel-β. Misalnya nitrosamine seperti Streptozotozin.
4. Devisiensi trace element seperti chromium dan zinc.
5. Devisiensi kalium. Misalnya karena pemberian diuretik.
6. Diet terlalu rendah serat (low level of dietary fibre)
7. Mengonsumsi alkohol berlebih dalam jangka waktu lama. Hal ini dapat menimbulkan kalsifikasi pankreas. (Pernah terjadi di Kenya, disebut K-type diabetes)
8. Di negara tropik dimungkinkan disebabkan oleh perbedaan sistem halotype HLA dan properdin (BF)


D. Diabetes pada kehamilan(Gestational Diabetes Melitus = GDM)
Diabetes gestational biasanya terjadi pada minggu ke-24 sampai ke-28 masa kehamilan. Pada kehamilan trimester pertama kadar glukosa akan turun antara 55-65% dan hal ini merupakan respon terhadap transportasi glukosa dari ibu ke janin. Pada DMG, selain perubahan-perubahan fisiologi tersebut, akan terjadi suatu keadaan di mana jumlah/fungsi insulin menjadi tidak optimal. Terjadi perubahan kinetika insulin dan resistensi terhadap efek insulin. Akibatnya, komposisi sumber energi dalam plasma ibu bertambah (kadar gula darah tinggi, kadar insulin tetap tinggi).
Melalui difusi terfasilitasi dalam membran plasenta, dimana sirkulasi janin juga ikut terjadi komposisi sumber energi abnormal. (menyebabkan kemungkinan terjadi berbagai komplikasi). Selain itu terjadi juga hiperinsulinemia sehingga janin juga mengalami gangguan metabolik (hipoglikemia, hipomagnesemia, hipokalsemia, hiperbilirubinemia, dan sebagainya) (Reidinda R FA/7898 & Nurjannah S. FA/7890)
Kemungkinan terjadinya diabetes gestational akan lebih besar bila anda:
1. Kelebihan berat badan sebelum hamil.
2. Usia diatas 35 tahun saat hamil.
3. Ada riwayat hidup keluarga diabetes, baik type 1 maupun type 2.
4. Pernah melahirkan bayi dengan berat badan diatas 8 pon (3,6 kg).
5. Sebelumnya pernah mengalami diabetes gertational.
6. Memiliki riwayat keguguran berulang
7. Memiliki riwayat resistensi insulin sebelum hamil
8. Pernah melahirkan bayi dengan cacat bawaan atau meninggal dengan secara tidak jelas
Untuk memastikan bahwa kehamilan anda itu sehat dan aman, maka anda harus:
1. Merencanakan pola makan.
2. Latihan jasmani secara teratur.
3. Memakai insulin sesuai anjuran dokter.
4. Memantau kadar glucose darah bebrapa kali dalam sehari.







E. DIABETES INSIPIDUS
Secara patogenesis diabetes insipidus di bagi atas dua , yaitu,. diabetes insipidus sentralis dan diabetes insipidus nefrogenik. DIS disebabkan oleh berapa hal diantaranya adalah :
1. Pengangkutan ADH/AVP yang tidak bekerja dengan baik akibat rusaknya akson pada traktus supraoptikohipofisealis
2. Gangguan pada sintesis ADH terganggu
3. Kerusakan pada nucleus supraoptik paraventricular
4. Gagalnya pengeluaran Vasopresin

Vasopresin arginin merupakan suatu hormon antidiuretik yang dibuat di nucleus supraoptik, paraventrikular , dan filiformis hipotalamus, bersama dengan pengikatnya yaitu neurofisin II. Vasopresin kemudian diangkut dari badan-badan sel neuron tempat pembuatannya, melalui akson menuju ke ujung-ujung saraf yang berada di kelenjar hipofisis posterior, yang merupakan tempat penyimpanannya. Secara fisiologis, vasopressin dan neurofisin yang tidak aktif akan disekresikan bila ada rangsang tertentu. Sekresi vasopresin diatur oleh rangsang yang meningkat pada reseptor volume dan osmotic. Suatu peningkatan osmolalitas cairan ekstraseluler atau penurunan volume intravaskuler akan merangsang sekresi vasopresin. Vasopressin kemudian meningkatkan permeabilitas epitel duktus pengumpul ginjal terhadap air melalui suatu mekanisme yang melibatkan pengaktifan adenolisin dan peningkatan AMP siklik. Akibatnya, konsentrasi kemih meningkat dan osmolalitas serum menurun. Osmolalitas serum biasanya dipertahankan konstan dengan batas yang sempit antara 290 dan 296 mOsm/kg H2O.
Gangguan dari fisiologi vasopressin ini dapat menyebabkan pengumpulan air pada duktus pengumpul ginjal karena berkurang permeabilitasnya, yang akan menyebabkan poliuria atau banyak kencing (Reidinda R. FA/7898).
Selain itu, peningkatan osmolalitas plasma kan merangsang pusat haus, dan sebaliknya penurunan osmolalitas plasma akan menekan pusat haus. Ambang rangsang osmotic pusat haus lebih tinggi dibandingkan ambang rangsang sekresi vasopresin. Sehingga apabila osmolalitas plasma meningkat, maka tubuh terlebih dahulu akan mengatasinya dengan mensekresi vasopresin yang apabila masih meningkat akan merangsang pusat haus, yang akan berimplikasi orang tersebut minum banyak (polidipsia) (Theresia Cahyaning T FA/7889 & Nurjannah S. FA/7890).
Secara patogenesis, diabetes insipidus dibagi menjadi 2 yaitu diabetes insipidus sentral, dimana gangguannya pada vasopresin itu sendiri dan diabetes insipidus nefrogenik, dimana gangguannya adalah karena tidak responsifnya tubulus ginjal terhadap vasopresin. Diabetes insipidus sentral dapat disebabkan oleh kegagalan pelepasan hormone antidiuretik ADH yang merupakan kegagalan sintesis atau penyimpanan. Hal ini bisa disebabkan oleh kerusakan nucleus supraoptik, paraventrikular, dan filiformis hipotalamus yang mensistesis ADH. Selain itu, DIS juga timbul karena gangguan pengangkutan ADH akibat kerusakan pada akson traktus supraoptikohipofisealis dan aksin hipofisis posterior di mana ADH disimpan untuk sewaktu-waktu dilepaskan ke dalam sirkulasi jika dibutuhkan. DIS dapat juga terjadi karena tidak adanya sintesis ADH, atau sintesis ADH yang kuantitatif tidak mencukupi kebutuhan, atau kuantitatif cukup tetapi tidak berfungsi normal. Terakhir, ditemukan bahwa DIS dapat juga terjadi karena terbentuknya antibody terhadap ADH (Nurjannah S FA/7890 & Reidinda R FA/7898).
MEKANISME KERJA OBAT
I. Terapi Diabetes Melitus
Prinsipnya bertujuan :
a. Jangka pendek : menghilangkan keluhan dan gejala dibetes melitus
b. Jangka penjang : mencegah atau memperlambat timbulnya komplikasi yang dapat menyerang pembuluh darah, ginjal, mata, syaraf, kulit dan kaki.
c. Tindakan atau kegiatan yang dilakukan : memberikan terapi Diabetes Melitus yakni terapi primer yang terdiri atas diet diabeites melitus, latihan fisik, penyulahan kesehatan, dan terapi sekunder yaitu berupa pemberian antidiabetika oral dan insulin, serta cangkok pankreas (Fety Yuli A FA/7886 & Fatih Rahmawati FA/7887).

II. Obat Anti Diabetika dan Mekanismenya
a. Insulin
Berasal dari bahasa latin insula, yang berarti pulau karena diproduksi di pulau-pulau langerhans pada pankeras. Insulin meupakan hormon polipeptida yang mengatur metabolisme karbohidrat yang secara kimia ditransportkan kedalam darah yang mengontrol dan meregulasi aktivitas tertentu sel atau organ dalam tubuh. Selain berperan sebagai efekor terutama dalam homeostatis karbohidrat, hormon ini juga berperan dalam metabolisme lemak (trigliserida) dan protein.
(Fety Y. FA/7886 dan Fatih R. FA/7887).


Dari gambar diatas dapat diketahui bahwa insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808. Insulin terdiri dari 51 asam amino yang tersusun dari dua rantai, yaitu rantai A dan B. Kedua rantai tersebut dihubungkan oleh jembatan disulfida (S-S) di antara residu sistein. Ada perbedaan spesifik di antara kedua rantai asam amino. Proinsulin, merupakan molekul protein rantai tunggal panjang yang diproses oleh aparatus golgi dan dikemas menjadi granul, kemudian dhidrolisis menjadi insulin dan sebuah residu yang dihubungkan oleh segmen disebut peptida C yang terdiri dari 4 asam amino. Sumber Insulin dapat berasal dari pankreas hati sapi atau babi dan hanya dapat diberikan secara paranteral.
(Fatih R. FA/7887, Fety Y. FA/7886, & Ika Tiarahani FA/7892).
Isulin dikeluarkan oleh sel ß pankreas pada saat keadaan glukosa darah meningkat dikarenakan adanya stimulasi oleh beberapa faktor antara lain gula (mis: mannos), beberapa asam amino (mis: leusin, arginin), beberapa hormon (mis: glukagon). Mekanisme pengeluaran insulin ditunjukkan dalam diagram berikut.

Gambar ini menunjukkan kontrol dari pelepasan insulin dari sel ß pankreas karena adanya pengaruh glukosa dan obat golongan sulfonilurea. Pada sel yang beristirahat dengan level ATP normal, insulin disekresikan sedikit. Jika terjadi peningkatan kadar glukosa, produksi ATP meningkat, kanal potasium menutup dan hasilnya terjadi depolarisasi pada sel. Peristiwa ini terjadi pada otot dan syaraf, kanal kalsium terbuka akibat adanya depolarisasi dan kemudian ion kalsium masuk ke dalam sel. Meningkatnya ion kalsium yang berada dalam sel menyebabkan sekeresi insulin meningkat (Fety Y. FA/7886 dan Fatih R. FA/7887).
Insulin bekerja untuk menaikan pengambilan glukosa, menaikkan penguraian glukosa secara oksidatif, menaikkan pembentukan glikogen dalam hati dan otot, mencegah penguraian glikogen, menstimulasi pembentukan protein dan lemak dari glukosa.
Hormon insulin berdasarkan cara kerjanya dibedakan menjadi:
a. insulin kerja cepat dengan masa kerja 2-4 jam, misalnya insulin reguler dan Actrapid. Insulin reguler merupakan insulin yang bekerja paling cepat dan singkat, hormon ini menurunkan kadar glukosa darah dalam waktu 20 menit dan mencapai puncak dalam waktu 2-4 jam dengan masa kerja 6-8 jam.
b. Insulin kerja sedang atau menengah dengan masa kerja 6-12 jam, misalnya monotrap dan NPH. NPH (neutral protamine hagedorn atau isofan) memiliki onset 2-5 jam dan durasi 4-12 jam mencapai puncak pada waktu 6-10 jam. NPH biasanya digunakan bersama regular, lispro, aspart atau glulisin insulin dan diberikan 2-4 kali sehari untuk penderita diabetes tipe 1. Dapat disuntikkan pada pagi hari untuk memenuhi kebutuhan slama sehari dan dilanjutkan pada malam hari untuk memenuhi kebutuhan sepanjang malam.
c. Insulin kerja lama dengan masa kerja 18-24 jam, contoh: PZI dan monotard ultralente.
Saat ini mulai dikembangkan bentuk sediaan insulin baru dalam sediaan inhalasi. Namun sediaan ini belum dapat bekerja dengan baik karena laju penyerapannya yang berbeda menimbulkan masalah dalam penentuan dosisnya (Fety Y FA/7886 & Fatih R. FA/7887)

Some insulin preparations available in the USA.1
Preparation Species Source Concentration
Rapid-acting insulins
Insulin Lispro, Humalog (Lilly) Human analog U100
Insulin Aspart, Novolog (Novo Nordisk) Human analog U100
Insulin Glulisine, Apidra (Aventis) Human analog U100
Short-acting insulins
Regular Novolin R (Novo Nordisk) Human U100
Regular Humulin R (Lilly) Human U100, U500
Velosulin BR (Novo Nordisk)2 Human U100
Regular, Exubera (Pfizer) Human 1, 3, 6 mg powder (inhaled)
Intermediate-acting insulins
NPH Humulin N (Lilly) Human U100
NPH Novolin N (Novo Nordisk) Human U100
Premixed insulins (% NPH/ % regular)
Novolin 70/30 (Novo Nordisk) Human U100
Humulin 70/30 and 50/50 (Lilly) Human U100
50/50 NPL, Lispro (Lilly) Human analog U100
75/25 NPL, Lispro (Lilly) Human analog U100
70/30 NPA, Aspart (Novo Nordisk) Human analog U100
Long-acting insulins
Insulin detemir, Levemir (Novo Nordisk) Human analog U100
Insulin glargine, Lantus (Aventis/Hoechst Marion Roussel) Human analog U100
1 semua agen (kecuali insulin lispro, insulin aspart, insulin detemir, insulin glulisine, inhaled insulin, and U500 regular Humulin) telah tersedia tanpa resep.All insulins should be refrigerated and brought to room temperature just before injection.
2Velosulin contains phosphate buffer, which favors its use to prevent insulin aggregation in pump tubing but precludes its being mixed with lente insulin.

Copyright © 2007 by The McGraw-Hill Companies, Inc. All rights reserved.

b. Antidiabetika Oral (ADO)

Obat ini tersedia dalam bentuk tablet dan terbagi menjadi 4 golongan, yaitu:
1. Golongan sulfonilurea
Obat-obat pada golongan ini dibagi menjadi 3 kelompok:
a. Obat dengan masa kerja singkat (6-12 jam), misalnya Tolbutamid (Rastinon, Artosin) dan Glukodion (Glurenorm)
b. Obat dengan kerja menengah (15 jam), misalnya Glibenklamid (Daonil, Englukon)
c. Obat dengan kerja panjang (70 jam), misalnya Klorpropamide (Diabenese, Diabex)
Mekanisme golongan sulfonilurea dalam menurunkan kadar glukosa darah adalah dengan meningkatkan sekresi insulin dengan cara mempermudah metabolisme nutrisi sel β, meningkatkan AMP siklik sel β, dan merubah ionic fluxes didalam sel β. Golongan sulfonilurea juga memiliki mekanisme lain seperti meningkatkan sensitivitas sel β terhadap rangsangan glukosa, menekan sekresi glukagon dan meningkatkan afinitas insulin sehingga sensitivitas insulin meningkat

Mekanisme aksi sulfonilurea terhadap sel β Langerhans pankreas
Obat ini hanya aktif pada diabetes mellitus tipe II yang pankreasnya tidak rusak tetapi tidak berfungsi sebagaimana dalam kondisi normal. Obat yang termasuk golongan ini antara lain tolbutamid, tolazamid, klorpropamid dan glibenklamid.
Kontraindikasi pemakaian obat ini pada pasien insufisiesi hati atau ginjal, karena ekskresi obat tersebut terhambat, mengakibatkan akumulasi dan dapat menimbulkan hipoglikemia. Efek samping : tidak selera makan, mual, leukopenia, trobositopenia, dan sedikit gejala anemia serta alergi. (Sofyan Dwi W/ FA 7894)
2. Golongan Biguanid
Biguanid tidak merangsang sekresi insulin dan resiko hipoglikemia lebih kecil daripada obat sulfonilurea. Contoh obat golongan ini adalah metformin, fenformin dan buformin yang dapat digunakan sendiri maupun kombinasi dengan sulfonilurea. Metformin terutama bekerja dengan jalan mengurangi pengeluaran glukosa hati dengan cara menghambat glukoneogenesis.
Mekanisme kerja golongan biguanid secara umum meliputi yaitu menstimulasi glikolisis secara langsung dalam jaringan perifer dengan peningkatan eliminasi glukosa dari darah, menurunan glukoneogenesis hati, meningkatan perubahan glukosa menjadi laktat oleh enterosit, menurunan kadar glukagon plasma, dan meningkatkan pengikatan insulin pada reseptor. Kontraindikasi pemakaian obat ini pada pasien insufisiesi hati atau pankreas. Efek samping mempengaruhi absorbsi vitamin B12 bila digunakan dalam jangka waktu panjang, gangguan saluran pencernaan, asidosis asam laktat. (Sofyan Dwi W/FA 7894)
3. Golongan Alpha-glucosidase inhibitor
Obat – obat yang termasuk dalam golongan ini termasuk kelompok obat baru yang meliputi antara lain acarbose (Precose, Glucobay) dan miglitol (Glyset) yang merupakan inhibitor kompetitif terhadap enzim alfa-glukosidase di mukosa duodenum sehingga reaksi penguraian disakarida maupun polisakarida menjadi monosakarida dihambat. Karena hanya monosakarida seperti glukosa dan fruktosa yang dapat ditransportasi keluar dari lumen usus menuju ke aliran darah maka molekul yang lebih kompleks seperti polisakrida dan disakarida harus dihancurkan terlebih dahulu menjadi monosakarida sebelum dapat diabsorbsi di duodenum dan upper jejunum. Penguraian menjadi monosakarida akan meningkatkan kadar glukosa darah sehingga menyebabkan hiperglikemia. Penguraian molekul – molekul tadi menggunakan enzim enzim alfa-glukosidase. Obat golongan ini bekerja sebagai inhibitor kompetitif dengan enzim alpha-glukosidase sehingga glukosa dilepaskan lebih lambat dan absorpsinya ke dalam darah akan menurun, lebih rendah dan merata sehingga memuncaknya kadar glukosa dapat dihindarkan (Fety Y, FA/7886).
Acarbose cenderung menurunkan kadar insulin setelah makan, yang merupakan keuntungan khusus obat ini, karena kadar insulin yang tinggi setelah makan berkaitan dengan pengingkatan risiko penyakit jantung. Studi tahun 2002 juga menemukan bahwa obat ini kemungkinan bisa menunda datangnya diabetes tipe 2 pada orang risiko tinggi. Kerja obat ini mirip dengan efek dari makanan yang kaya akan serat gizi. Tidak ada kemungkinan hipoglikemia dan terutama berguna pada penderita kegemukan. Obat golongan Alpha-glucosidase inhibitor tidak seefektif obat lain bila digunakan sebagai terapi tunggal karena hanya kurang dari 2% diserap sebagai obat aktif. Sehingga dalam penggunaannya sering dikombinasikan misalnya dengan metformin, insulin, atau sulfonilurea, dsb untuk meningkatkan efektivitasnya. Efek samping yang paling sering dikeluhkan adalah produksi gas dalam perut dan diare, khususnya setelah konsumsi makanan tinggi kandungan karbohidrat yang menyebabkan sepertiga pasien berhenti menggunakan obat ini. Obat ini juga kemungkinan mempengaruhi penyerapan zat besi. Hepatotoksisitas (tergantung dosis) juga dikaitkan dengan obat ini. sehingga uji fungsi hati harus dilakukan terutama pada pasien yang menerima dosis tinggi (lebih dari 50 mg tiga kali sehari). Peningkatan enzim transaminase diakibatkan penghentian obat yang kadangkala asimtomatik. Kadar transaminase dalam serum harus dicek setiap tiga bulan ditahun pertama pasien menerima obat dan selanjutnya tetap dilakukan secara periodeik. Obat-obat yang mudah berikatan dengan obat lain seperti cholestyramine, seharusnya diberikan dengan rentang pemberian dua atau empat jam dengan alpha-glucosidase inhibitor untuk menghindari interaksi obat. Obat-obat absorban dan preparat enzim digestif sebaiknya tidak diberikan bersama acarbose. Acarbose diberikan dengan dosis 25 mg/hari peroral 3x sehari. Dosis dapat ditingkatkan sampai 100 mg/hari. Kontraindikasi pada pasien dengan kadar kreatinin > 2 mg/dL; peningkatan kadar enzim hati, atau adanya obstruksi saluran cerna (Fety Y, FA/7886).

Stuktur Miglitol berbeda dengan acarbose dan 6 kali lebih poten dalam menginhibisi sukrosa. Walaupun afinitas ikatan dari 2 struktur berbeda, acarbose dan miglitol keduanya punya target α-glucosidase yang sama yaitu : sukrosa, maltase, glikoamilase, dan dekstran. Miglitol mempunyai efek pada isomaltase dan β-gukosidase, di mana akan mengalami split dengan β-linked pada gula misalnya lactose. Acarbose sendiri mempunyai efek yang kecil terhadap α-amylase (Fety Yuli A FA/7886 dan Sofyan Dwi W/FA 7894).

4. Insulin sensitizing agent
Tiazolidinadion sering juga disebut TZDs atau glitazone adalah kelompok obat baru yang pada tahun 1996 dipasarkan di AS dan Inggris. Obat ini berfungsi memperbaiki sensitivitas insulin dengan mengaktifkan gen-gen tertentu yang terlibat dalam sintesa lemak dan metabolisme karbohidrat. Obat ini merupakan agonis selektif untuk peroxisome proliferator-activated receptor-gamma (PPAR-gamma). Reseptor PPAR-g ditemukan di otot, jaringan lemak, dan liver. Aktivasi dari reseptor PPAR-gamma mengatur transkripsi gen insulin-responsif yang terlibat dalam produksi, transport, dan pemakaian glukosa, sehingga mempunyai efek farmakologis mengurangi konsentrasi glukosa darah dan hyperinsulinemia dengan jalan meningkatkan kepekaan bagi insulin dari otot, jaringan lemak dan hati. Sebagai efeknya penyerapan glukosa dalam jaringan lemak dan otot pun meningkat. Dari beberapa studi yang dilakukan Thiazolidinediones juga menunjukkan berbagai efek baik pada jantung, termasuk penurunan tekanan darah dan penurunan trigliserida (asam lemak bebas) dan peningkatan kadar kolesterol (termasuk peningkatan kadar HDL, yang dikenal sebagi kolesterol baik), serta berefek menurunkan glukoneogenesis dalam hati. Obat ini juga meredam molekul yang disebut 11Best HSK-1 yang berperan penting pada sindrom metabolik (kondisi pre diabetes, termasuk tekanan darah tinggi dan obesitas) dan diabetes melitus tipe 2 (Fety Y, FA/7886).
Zat ini tidak mendorong pankreas untuk meningkatkan pelepasan insulin seperti sulfonilurea. Thiazolidinedione tidak menyebabkan hipoglikemia jika digunakan sebagai terapi tunggal, meskipun mereka seringkali diberikan secara kombinasi dengan sulfonylurea, insulin, atau metformin. Rosiglitazone (Avandia) dan Pioglitazone (Actos) adalah obat dari golongan thiazolidinedione yang sudah disetujui. Salah satu studi meyakini Rosiglitazone bisa memperbaiki fungsi sel beta dan membantu mencegah progresivitas diabetes. Tetapi, di balik manfaatnya yang besar, efek samping obat golongan ini pun perlu dikhawatirkan. The US Food and Drug Administration mengeluarkan peringatan pada pasien dan dokter pada tanggal 21 May 2007, bahwa rosiglitazone berpotensi menyebabkan peningkatan resiko infark myokard dan kematian akibat penyakit jantung lainnya. Sedangkan pada Pioglitazone, digunakan dengan dosis harian 15 atau 30mg PO tiga kali sehari. Perlu diperhatikan jika digunakan bersama insulin karena dapat menyebabkan hipoglikemia. Tidak dianjurkan pada pasien dengan SGOT > 2,5 kali batas normal, DKA, dan gagal jantung kongestif (Fety Yuli FA/7886).
Troglitazone (Rezulin) merupakan salah satu jenis lain dari thiazolidinedione yang secara suka rela ditarik dari pasaran oleh perusahaan pembuatnya pada bulan Maret 2000, setelah diketahui bahwa obat ini mempunyai efek hepatotoksik (Fety Yuli FA/7886)


DAFTAR PUSTAKA
Anonim.2007. Basic and Clinical Pharmacology 10th Ed. Front Matter a 2007 by The McGraw-Hill Companies, InLange medical book.Copyright 2008 puc.[tersedia online] http://www.ebook.com diakses pada 6 Desember 2008 pukul 12.30 WIB.
Anonim.2008.Diabetes Mellitus Tipe 2 (Terjemahan emedicine, Diabetes Mellitus, Type 2 - A Review ). [tersedia online]. http://cetrione.blogspot.com diakses pada 6 Desember 2008 pukul 13.45 WIB.
Anonim.2008.www.rumahdiabetes.org diakses pada 7 Desember 2008 pukul 16.35 WIB.
Anonim.2008.http://id.wikipedia.org/diabetes diakses pada 7 Desember 2008 pukul 16.30 WIB.
Danie.2006.Medikasi Spesifik Diabetes Melitus Tipe 2 ULAS OBAT - Vol.5 No.8, Maret 2006 [tersedia online].http://www.majalah-farmacia.com diakses pada 6 Desember 2008 pukul 13.50 WIB.
Katzung. B.G. 2001. Farmakologi dasar dan klinik. Salemba. Jakarta.
Mutschler, Ernst.1991.Dinamika Obat.Penerbit ITB.Bandung.
Mycek. Mary J.2001. Farmakologi Ulasan Bergambar. Widya Medika. Jakarta.
Ranakusuma.2005.Penyakit Kencing Manis diabetes Mellitus.UI Press.Jakarta.
Tjay, Tan hoan.1991.Obat – obat Penting.Departemen Kesehatan RI.Jakarta.
Diposkan oleh Rita Riata di 22:46 0 komentar
Label: farmakologi
antiinflamasi
OBAT – OBAT ANTIINFLAMASI
1. Obat- obat Golongan Non Steroid

- golongan Coxib: Celecoxib, Rofecoxib, Valdecoxib, Parecoxib, Etoricoxib, Lumiracoxib.
2. Obat- obat Golongan Steroid
3. Obat- obat dari Bahan Alam
- Curcumin
- Proantosianidin dari biji anggur
- Bergamot oil

MEKANISME KERJA OBAT ANTIINFLAMASI
Obat- obat anti inflamasi mampu menghalangi proses inflamasi karena memiliki kemampuan untuk menghambat biosintesis prostaglandin sebagai salah satu mediator inflamasi yaitu melalui penghambatan enzim siklooksigenasi (COX). Penghambatan COX dapat mengganggu metabolisme asam arakidonat dalam pembentukan prostaglandin G2 (PGG2) dari asam arakidonat dan pembentukan prostaglandin H2 (PGH2) dari PGG2. Dari PGH2 dibentuk PGD2, PGI2, PGF2α, 6-keto-PGF1α, PGE2, tromboksan A2 (TXA2), tromboksan B2 (TXBA2) yang merupakan mediator inflamasi.
Aspirin mempunyai sifat penting menghambat biosintesis prostaglandin. Hal ini dilakukan dengan menghambat secara irreversible enzim siklooksigenasi yang mengkatalisis reaksi asam arakidonat menjadi senyawa endoperoksida. Dalam dosis tinggi obat ini menurunkan pembentukan prostaglan dan tromboksan A2.

Rangsangan


Gangguan membrane sel


Fosfolipid


Hambatan Fosfolipase
Kortikostreroid

Asam arakidonat


Lipoksigenase Siklooksigenase
Hambatan aspirin + AINS


Hidroperoksida Endoperoksida


Leukotrien Prostaglandin Tromboksan A2 Prostasiklin
(PGE2 PGF2α PGD2)

Skema biosintesis prostaglandin

Mekanisme inhibisi obat-obat AINS lainnya, seperti indometasin dan ibuprofen, menginhibisi COX dengan berkompetisi dengan asam arakidonat (substrat dari COX). Radikal oksigen reaktif sebagai produk dari neutrofil dan makrofag yang terlibat pada rusaknya jaringan (inflamasi), dapat dinetralkan AINS yang memiliki efek sebagai oxygen-radical-scavenging kuat sehingga dapat mengurangi kerusakan jaringan seperti halnya aktivitas COX-inhibitory.
Salah satu mekanisme penghambatan COX ialah melalui inhibisi non-kompetitif oleh antioksidan. Antioksidan merupakan agen antiinflamasi yang bekerja melalui penangkapan radikal bebas oksigen dan dapat menghambat segala tipe oksigenasi (siklooksigenase dan lipooksigenase). Senyawa antioksidan ataupun penangkap radikal berpotensi sebagai antiinflamasi. Kurkumin diduga memiliki aktivitas antiinflamasi antara lain karena kurkumin memiliki aktivitas antioksidan. Kurkumin memiliki aktivitas antiinflamasi karena kurkumin mampu menghambat kerja enzim COX dan lipooksigenase (LOX). Kedua enzim tersebut berperan dalam metabolisme asam arakhidonat untuk menghasilkan mediator-mediator kimia yang menyebabkan terjadinya tanda-tanda peradangan.
COX-1 dan COX-2 berbeda pada sekuen asam amino penyusunnya yaitu pada sekuen asam amino nomor 523. Pada COX-1 adalah isoleusin dan pada COX-2 adalah valin. Perbedaan ini berperan penting dalam spesifitas pengikatan obat-obat golongan coxib dan konformasi enzim COX yang terbentuk setelah terjadinya ikatan obat-enzim. Adanya valin-523 memberikan konformasi pocket pada sisi aktif COX-2 sehingga akses obat golongan coxib mudah dan ikatan obat golongan coxib komplemen dengan COX-2 tetapi tidak dengan COX-1, sehingga ikatan coxib spesifik pada COX-2 dan mengeblok masuknya substrat (asam arakidonat) ke dalam sisi aktif COX-2 dan asam arakidonat tidak dapat dimetabolisme oleh COX-2, akan tetapi masih dimetabolisme COX-1. Oleh karena itu, penghambatan COX-2 tidak menghentikan biosintesis prostaglandin (oleh COX-1) yang berperan dalam proteksi saluran gastrointestinal terhadap asam lambung.
Diposkan oleh Rita Riata di 22:38 0 komentar
Label: farmakologi
inflamasi
Inflamasi adalah usaha tubuh untuk menginaktivasi atau merusak organisme yang menyerang, menghilangkan zat iritan, dan mengatur derajat perbaikan jaringan. Inflamasi dicetuskan oleh mediator kimiawi dari jaringan yang rusak dan migrasi sel. Mediator kimiawi spesifik bervariasi dengan tipe proses peradangan dan meliputi amin, seperti histamine dan 5-hidroksitriptamin; lipid, seperti prostaglandin; peptida kecil, seperti bradikinin; dan peptida besar, seperti interleukin-1.
Inflamasi berasal dari kata “inflamare” yang berati membakar, merupakan respon jaringan hidup sebagai reaksi lokal atas keberadaan benda asing organisme hidup., dan adanya luka pada dirinya atau merupakan reaksi lokal terhadap udema yang dinyatakan dengan dilatasi mikrosirkulasi (pembuluh darah) dan cairan yang dikandungnya (leukosit dan cairan). Gejala umum reaksi inflamatoris yang dapat diamati adalah pemerahan (rubor), pembengkakan (tumor), panas meningkat (kalor), dan gangguan fungsional (Mutschler, 1991).
Nyeri disebabkan oleh rangsangan-rangsangan mekanis atau kimia (kalor atau listrik) yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan dan lepasnya zat-zat tertentu yang disebut mediator-mediator nyeri. Mediator-mediator ini merangsang reseptor nyeri pada ujung-ujung syaraf bebas di kulit, selaput lendir dan jaringan-jaringan. Dari tempat ini rangsangan dialirkan melalui saraf sensorik ke susunan saraf pusat melalui sumsum tulang belakang ke thalamus (opticus) dan kemudian ke pusat nyeri ke dalam otak besar dan ini dirasakan sebagai rasa nyeri.
Mediator-mediator nyeri yang terpenting adalah prostaglandin, serotonin, plasmakinin, histamine , dan ion-ion kalium. Prostaglandin dilepaskan menyebabkan bertambahnya vasodilatasi, permeabilitas kapiler, nyeri dan demam. Histamine menyebabkan dilatasi arteriol dan meningkatkan permeabilitas kapiler dan rasa nyeri.
Biasanya respon peradangan dimulai oleh antigen, misal virus, bakteri, protozoa, atau fungus oleh trauma. Kerusakan sel yang menyebabkan peradangan menyebabkan pelepasan enzim lisozim dari leukosit melalui kerja atas membran sel, kemudian arakidonat dilepaskan dari senyawa precursor oleh fosfolipase. Enzim siklooksigenase mengubah asam arakidonat menjadi endoperoksida yang aktif secara biologis dan bermasa hidup singkat. Senyawa ini cepat diubah menjadi prostaglandin dan tromboksan (Katzung, 1989).
Mekanisme obat AINS (Anti Inflamasi Non Steroid) adalah menghambat system siklooksigenase yang menyebabkan pemecahan asam arakidonat menjadi prostaglandin. Sikloksigenase terdiri dua macam isoenzim, yaitu COX-1 dan COX-2 dengan berat molekul dan daya enzimatis yang sama. COX-1 banyak terdapat dalam jaringan, antara lain platelet darah, ginjal, dan saluran pencernaan. COX-1 esensial ditemukan pada mamalia dan dapat dikatakan sebagai enzim “house keeping”, berbeda dengan COX-2 yang diaktivasi oleh kerusakan jaringan. COX-2 dalam keadaan normal tidak terdapat dalam jaringan, tetapi dibentuk selama radang dan kadarnya di dalam sel meningkat sampai 80 kali.

Perbedaan COX-1 dan COX-2
Ciri COX-1 COX-2
Sekuen asam amino
Keberadaan
Tempat
Inhibitor

Isoleusin
House keeping
GI (utama)
Indomethacin, Sulindac
Valin
Dinduksi selama inflamasi
Jaringan inflamasi
Celecoxibs, Etodolax, Meloxicam, Rofecoxib
(hambat aktivitas)
Dexamethazone
(hambat ekspresi gen)



Proses-proses yang terjadi pada proses inflamasi :
o Eksudasi
Fase primer pada inflamasi adalah perubahan structural pada dinding vascular. Perubahan ini mengakibatkan peningkatan permeabelitas pembuluh darah yang membiarkan protein kaya cairan menembus dinding vascular (udema dan kemerahan)
o Infiltrasi
Leukosit, makrofag, dan limfosit di bawah pengaruh kemotaksik, memasuki area inflamasi (fase primer). Beberapa dari sel tersebut mengandung enzim lisosom yang mampu menelan dan mencerna partikel-partikel asing (fagositosis)
o Proliferasi
Limfosit dan makrofag mengalami transformasi menjadi lapisan pembatas sel yang antara lain mampu mensintesis antibodi-antibodi (fase sekunder)
Katzung, B.G. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi IV. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Diposkan oleh Rita Riata di 22:37 0 komentar
Label: farmakologi
Analgetika
Analgetik adalah obat atau senyawa yang dapat digunakan untuk menekan fungsi system saraf pusat secara selektif, digunakan untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri tanpa mempengaruhi kesadaran. Analgetik bekerja dengan meningkatkan nilai ambang persepsi rasa sakit.
Berdasarkan mekanisme kerja tingkat molekul, analgetik dapat dibagi menjadi dua, yaitu : analgetik narkotik (Opioid), dan analgetik non-narkotik (analgetik antipiretik, analgetik anti inflamasi non-steroid).
Analgetik opioid merupakan kelompok obat yang mempunyai sifat-sifat seperti opium, atau morfin. Golongan obat ini diunakan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri, namun menimbulkan efek adiksi. Dibandingkan analgetik narkotik, keuntungan terapi menggunakan analgetik non-narkotik tidak menimbulkan ketergantungan fisik atau toleransi.

Patogenesis (why, when, where)

Kerusakan jaringan menyebabkan pelepasan zat - zat kimia (misalnya bradikinin, prostaglandin, ATP, proton) yang menstimulasi reseptor nyeri dan mengionisasi letupan pada serabut aferen primer yang bersinaps pada lamina I dan II kornu posterior medulla spinalis. Neuron relay dalam kornu posterior menyampaikan informasi nyeri ke korteks sensori melalui neuron dalam thalamus. Beberapa serabut aferen primer melepaskan peptide (misalnya substansi P). nyeri neuropati disebabkan oleh kerusakan neuron pada jalur nyeri dan sering tidak merespon terhadap opioid.
Aktivitas neuron relay kornu posterior dimodulasi oleh beberapa input inhibisi. Input ini meliputi interneuron lokal yang melepaskan peptide opioid dan serabut enkefalinergik, noradrenergik, dan serotonergik desendens , yang berasal dari batang otak dan diaktifasi sendiri oleh peptide opioid. Jadi peptide opioid yang dilepaskan pada batang otak maupun medula spinalis dapat menurunkan aktivitas neuron relay kornu posterior dan dapat menyebabkan analgesia. Efek peptida opioid diperantai oleh reseptor opioid spesifik.

Obat yang digunakan (Who)

Obat - obat golongan analgetik narkotik :
1. Agonis kuat : morfin, hidromorfon, oksimorfon, metadon, meperidin, fentanil, levorfanol.
2. Agonis ringan hingga sedang : kodein, oksikodon,hidrokodon, propoksifen,difenoksilat.

Obat - obat golongan analgetik non-narkotik : asetaminofen, fenasetin.

Mekanisme kerja obat (how)

Analgetik narkotik (opioid) :
Opioid memperlihatkan efek utamanya dengan berinteraksi dengan reseptor opioid pada SSP dan saluran cerna. Opioid menyebabkan hiperpolarisasi sel saraf, menghambat peletupan saraf, dan penghambatan presinaptik pelepasan transmiter. Seperti halnya morfin yang bekerja pada reseptor μ dalam lamina I dan lamina II dari substansia gelatinosa medulla spinalis, dan menurunkan pelepasan substansi P, yang memodulasi persepsi nyeri pada medulla spinalis. Morfin juga menghambat plepasan banyak transmiter eksitatori dari ujung saraf terminal yang membawa rangsangan nosiseptif (nyeri).



Analgetik non-narkotik :
Obat golongan ini cepat diabsorbsi dari saluran cerna. Maetabolisme lintas pertama yang bermakna terjadi pada sel lumen usus dan hepatosit. Absorbsi tergantung pada kecepatan pengosongan lambung, dan kadar puncak di dalam darah biasanya tercapai dalam waktu 30-60 menit. Asetaminofen sedikit terikat dengan protein plasma dan sebagian dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati dan diubah menjadi asetaminofen sulfat dan glukuronida, yang secara farmakologi tidak aktif. Kurang dari 5% diekskresikan dalam bentuk tidak berubah. Suatu metabolit minor tetapi sangat aktif (N-asetil-p-benzokuinon),



Daftar Pustaka

Katzung, Bertram G, 1997, Farmakologi Dasar dan Klinik, Jakarta : EGC
Mycek, Mary J, dkk, 2001, Farmakologi : Ulasan Bergambar, Jakarta : Widya Medika
Neal, M.J, 2005, At a Glance Farmakologi Medis, Jakarta : Penerbit Erlangga
Diposkan oleh Rita Riata di 22:35 0 komentar
Label: farmakologi
analgetika
Analgetik atau obat penghalang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau menghalau rasa nyeri tanpa meghalangi kesadaran. Antipiretik adalah zat-zat yang dapat mengurangi suhu tubuh. Anti-inflamasi adalah obat atau zat-zat yang dapat mengobati peradangan atau pembengkakan.
Obat analgesic antipiretik serta Obat Anti Inflamasi non Steroid (OAINS) merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat berbeda secara kimia.Walaupun demikian, obat-obat ini ternyata memiliki banyak persamaan dalam efek terapi maupun efek samping. Prototipe obat golongan ini adalah aspirin. Karena itu, banyak golongan dalam obat ini sering disebut obat mirip aspirin (Aspirin-like drugs)
Klasifikasi kimiawi OAINS sebenarnya tidak banyak manfaat kimianya karena ada OAINS dari subgolongan yang sama memiliki sifat yang berbeda. Sebaliknya ada OAINS yang berbeda subgolongan tapi memiliki sifat yang serupa.
Kemajuan penelitian dalam dasawarsa terakhir ini memberi penjelasan mengapa kelompok heterogen tersebut memiliki kesamaan efek terapi dan efek samping. Ternyata sebagian besar efek terapi dan efek sampingnya berdasarkan atas penghambatan biosintesis prostaglandin (PG).
Mekanisme kerja dan yang berhubungan dengan system biosintesis Prostaglandin ini mulai diperlihatkan secara invitro bahwa dosis rendah aspirin dan indometasin menghambat produksi enzimatik Prostaglandin. Penelitian lanjutan membuktikan bahwa Prostaglandin akan dilepaskan bilamana sel mengalami kerusakan. Walaupun secara invitro OAINS diketahui menghambat obat berbagai reaksi biokimiawi, hubungan dengan efek analgesic, antipiretik dan anti inflamasinya belum jelas. Selain itu, OAINS secara umum tidak menghambat biosintesis leukotrien yang diketahui ikut berperan dalam inflamasi.
Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi PGG2 terganggu.Setiap obatmenghambat siklooksigenase dengan cara yang berbeda.Khusus parasetamol, hambatan biosintesis prostaglandin hanya terjadi bila lingkungannya rendah kadar peroksid seperti di hipotalamus.Lokasi inflamasi biasanya mengandung banyak peroksid yang dihasilkan oleh leukosit.Ini menjelaskan mengapa anti-inflamasi parasetamol praktis tidak ada aspirin sendiri menghambat dengan mengasetiliasi gugus aktifserin dan enzim ini.Trombosit sangat rentan terhadap penghambatan ini karena selain tidak mampu mengadakan regenerasi enzim sehingga dosis tunggal aspirin 40 mg sehari telah cukup untuk menghambat siklooksigenase trombosit manusia selama masa hidup trombosit yaitu 8-11 hari.
Nyeri adalah perasaan sensoris dan lemah emosional yang tidak enak dan berkaitan dengan ancaman (kerusakan) jaringan.Keadaan psikis swangat mempengaruhi nyeri, misalnya emosi dapat menimbulkan sakit kepala atau memperhebatnya, tetapi dapat pula menghindarkan sensasi rangsangan nyeri. Nyeri merupakan suatu perasaan pribadi dan ambang toleransi nyeri berbeda-beda bagi setiap orang.Batas nyeri untuk suhu adalah konstan, yakni 44-450C.
Mediator nyeri antara lain mengakibatkan reaksi radang dan kejang-kejang yang mengaktivasi reseptor nyeri di ujung-ujung saraf bebas di kulit, mukosa, dan jarigan lainnya. Nociceptor ini terdapat diseluruh jaringan dan organ tubuh, kecuali di system saraf pusat. Dari sini rangsangan disalurkan ke otak melalui jaringan yang hebat dari tajuk-tajuk neuron dengan sinaps yang amat banyak melalui sum-sum tulang belakang, sum-sum tulang lanjutan dan otak tengah. Dari thalamus impuls diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri.
Adapun mediator nyeri yang disebut juga sebagai autakoid antara lain serotonin, histamine, bradikinin, leukotrien dan prostglandin2.Bradikinin merupakan polipeptida (rangkaian asam amino) yang diberikan dari protein plasma.
Ambang nyeri didefinisikan sebagai tingkatan (level) dimana nyeri dirasakan untuk yang pertama kali.Jadi, intesitas rangsangan yang terendah saat seseorang merasakan nyeri. Untuk setiap orang ambang nyerinya adalah konstan.
Atas kerja farmakologisnya, analgesic dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu:
Analgetik Perifer (non narkotik)
Terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral.
b. Analgetik Narkotik
Khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat, seperti fraktur dan kanker.
Nyeri pada kanker umumnya diobati menurut suatu skema bertingkat empat, yaitu:
Obat perifer (non Opioid) peroral atau rectal; parasetamol, asetosal.
Obat perifer bersama kodein atau tramadol.
Obat sentral (Opioid) peroral atau rectal.
Obat Opioid parenteral
Guna memperkuat analgetik dapat dikombinasikan dengan co-analgetikum, seperti psikofarmaka (amitriptilin, levopromazin atau prednisone).
Obat-obat golongan analgetik dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu: parasetamol, salisilat, (asetasol, salisilamida, dan benorilat), penghambat Prostaglandin (NSAID); ibuprofen, derivate-derivat antranilat ( mefenamilat, asam niflumat glafenin, floktafenin, derivate-derivat pirazolinon (aminofenazon, isoprofilpenazon, isoprofilaminofenazon), lainnya benzidamin.Obat golongan analgesic narkotik berupa, asetaminofen dan fenasetin.Obat golongan anti-inflamasi nonsteroid berupa aspirin dan salisilat lain, derivate asam propionate, asam indolasetat, derivate oksikam, fenamat, fenilbutazon.
Nyeri merupakan gejala yang berfungsi melindungi atau merupakan tanda bahwa adanya gangguan-gangguan ditubuh seperti peradangan (rheumatic/encok), infeksi, maupun kejang otot.
Mekanisme rasa nyeri yaitu perangsangan nyeri baik mekanik, kimiawi, panas maupun listrik akan menimbulkan kerusakan pada jaringan sel sehingga sel-sel tersebut melepaskan suatu zat yang disebut mediator nyeri yang akan merangsang reseptor nyeri. Mediator nyeri ini juga disebut zat autanoid yaitu, histamine, serotonin, plasmakinin, bradikinin (asam lemak) prostaglandin dan ion kalium.
Mekanisme kerja penghambatan rasa nyeri ada tiga yaitu:
Merintangi pembentukkan rangsangan dalam reseptor rasa nyeri, seperti pada anastesi local.
Merintangi penyaluran rangsangan nyeri dalam saraf sensoris, seperti pada anastesi local.
Blokade rasa nyeri pada system saraf pusat seperti pada analgetik sentral (narkotika) dan anastesi umum.
Adapun jenis nyeri beserta terapinya, yaitu:
Nyeri ringan
Contohnya: sakit gigi, sakit kepala, sakit otot karena infeksi virus, nyeri haid, keseleo.Pada nyeri dapat digunakan analgetik perifer seperti parasetamol, asetosal dan glafenin.
Rasa nyeri menahun
Contohnya: rheumatic dan arthritis.
Pada nyeri ini dapat digunakan analgetik anti-inflamasi, seperti: asetosal, ibuprofen dan indometasin.
Nyeri hebat
Contoh: nyeri organ dalam, lambung, usus, batu ginjal, batu empedu.
Pada nyeri ini dapat digunakan analgetik sentral berupa atropine, butilskopolamin (bustopan), camylofen ( ascavan).
Nyeri hebat menahun
Contoh: kanker, rheumatic, neuralgia berat.
Pada nyeri ini digunakan analgetik narkotik, seperti fentanil, dekstromoramida, bezitramida.

Obat analgetik narkotik
Morfin dan derivatnya :
a. Morfin
b. Heroin
c. Hidromorfon
d. Oksimorfon
e. Levorfanol
f. Levalorfan
g. Kodein
h. Hidrokodon
i. Oksikodon
j. Nalorfin
k. Nalokson
l. Nalbufin
m. Tebain
Meperidin dan derifat fenilpiperidin :
n. Meperidin
o. Alfaprodin
p. Difenoksilat
q. Fentanil
r. Loperami
Metadon Dan Opioid lainx :
a.Metadon
b.Propoksifen
c.Dekstromoramida
d.Bezitramida
Obat Antagonis Opioid :
a.Naltrekson
b.Nalorfin
c.Levalorfan
d.Siklazosin
e.Pentazosin
f.Butorfanol
Obat golongan Antiinflamasi non Steroid
1.Turunan asam salisilat : aspirin, salisilamid,diflunisal.
2.Turunan 5-pirazolidindion : Fenilbutazon, Oksifenbutazon.
3.Turunan asam N-antranilat : Asam mefenamat, Asam flufenamat
4.Turunan asam arilasetat : Natrium diklofenak, Ibuprofen, Ketoprofen.
5.Turunan heteroarilasetat : Indometasin.
6.Turunan oksikam : Peroksikam, Tenoksikam.

Sumber:
Sutistia G.Ganiswara .1995. Farmakologi Dan Terapi edisi IV. Jakarta
Tan Hoan Tjay dan Kirana Raharja. 2005. Obat-Obat Penting . Jakarta : PT Gramedia
Mary. J Mycek Dkk. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi II. Jakarta: Widya Medika
Katzung.G.Bertram 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi VIII Bagian ke II.Jakarta : Salemba Medika.
Diposkan oleh Rita Riata di 22:34 0 komentar
Label: farmakologi
metabolisme obat
Biotransformasi atau metabolisme obat ialah proses perubahan struktur kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalisis oleh enzim. Pada proses ini molekul obat diubah menjadi lebih polar artinya lebih mudah larut dalam air dan kurang larut dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada umumnya obat menjadi inaktif, sehingga biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat. Tetapi, ada obat yang metabolitnya sama aktif, lebih aktif, atau lebih aktif. Ada obat yang merupakan calon obat ( prodrug ) justru diaktifkan oleh enzim biotransformasi ini. Metabolit aktif akan mengalami biotransformasi lebih lanjut dan diekskresi sehingga kerjanya berakhir.
Biotransformasi terjadi terutama dalam hati dan hanya dalam jumlah yang sangat rendah terjadi dalam organ lain ( misalnya dalam usus, ginjal, paru – paru, limpa, otot, kulit atau dalam darah ).
Enzim yang berperan dalam biotransformasi obat dapat dibedakan berdasarkan letaknya dalam sel, yakni enzim mikrosom yang terdapat dalam retikulum endoplasma halus ( yang pada isolasi in vitro membentuk mikrosom ), dan enzim non mikrosom. Kedua macam enzim metabolisme ini terutama terdapat dalam sel hati, tetapi juga terdapat di sel jaringan lain misalnya ginjal, paru, epitel saluran cerna, dan plasma. Di lumen saluran cerna juga terdapat enzim non mikrosom yang dihasilkan oleh flora usus. Enzim mikrosom mengkatalisis reaksi konjugasi glukuronid, sebagian besar reaksi oksidasi obat, serta reaksi reduksi dan hidrolisis. Sedangkan enzim non mikrosom mengkatalisis reaksi konjugasi lainnya, beberapa reaksi oksidasi, serta reaksi reduksi dan hidrolisis.
Sebagian besar biotransformasi obat dikatalisis oleh enzim mikrosom hati, demikian juga biotransformasi asam lemak, hormon steroid, dan bilirubin. Untuk itu obat harus larut lemak agar dapat melintasi membran, masuk ke dalam retikulum endoplasma, dan berikatan dengan enzim mikrosom.
Sistem enzim mikrosom untuk reaksi oksidasi disebut oksidase fungsi campur ( mixed-function oxidase = MFO ) atau monooksigenase; sitokrom P-450 ialah komponen utama dalam sistem enzim ini. Reaksi yang dikatalisis oleh MFO meliputi reaksi N- dan O-dealkilasi, hidroksilasi cincin aromatik dan rantai sampingnya, deaminasi amin primer dan sekunder, serta desulfurasi.
Glukuronid merupakan metabolit utama dari obat yang mempunyai gugus fenol, alkohol, atau asam karboksilat. Metabolit ini biasanya tidak aktif dan cepat diekskresi melalui ginjal dan empedu secara sekresi aktif untuk anion.


Glukuronid yang diekskresi melalui empedu dapat dihidrolisis oleh enzim beta-glukuronidase yang dihasilkan oleh bakteri usus, dan obat yang dibebaskan dapat diserap kembali. Sirkulasi enterohepatik ini memperpanjang kerja obat. Reaksi glukuronidasi ini dikatalisis oleh beberapa jenis enzim glukuronil-transferase.
Berbeda dengan enzin non mikrosom, enzim mikrosom dapat dirangsang maupun dihambat aktivitasnya oleh zat kimia tertentu termasuk yang terdapat di lingkungan. Zat ini menginduksi sintesis enzim mikrosom tanpa perlu menjadi substratnya. Zat penginduksi enzim ini dibagi atas 2 golongan, yakni kelompok yang kerjanya menyerupai fenobarbital dan kelompok hidrokarbon polisiklik. Fenobarbital meningkatkan biotransformasi banyak obat, sedangkan hidrokarbon polisiklik meningkatkan metabolisme beberapa obat saja. Penghambatan enzim sitokrom P-450 pada manusia dapat disebabkan misalnya oleh simetidin dan etanol. Berbeda dengan penghambatan enzim yang langsung terjadi, induksi enzim memerlukan waktu pajanan beberapa hari bahkan beberapa minggu sampai zat penginduksi terkumpul cukup banyak. Hilangnya efek induksi juga terjadi bertahap setelah pajanan zat penginduksi dihentikan. Beberapa obat bersifat autoinduktif artinya merangsang metabolismenya sendiri, sehingga menimbulkan toleransi. Karena itu diperlukan dosis yang lebih besar untuk mencapai efektivitas yang sama. Pemberian suatu obat bersama penginduksi enzim metabolismenya, memerlukan peningkatan dosis obat. Misalnya, pemberian warfarin bersama fenobarbital, memerlukan peningkatan dosis warfarin untuk mendapatkan efek antikoagulan yang diinginkan. Bila fenobarbital dihentikan, dosis warfarin harus diturunkan kembali untuk menghindarkan terjadinya perdarahan yang hebat.
Oksidasi obat-obat tertentu oleh sitokrom P-450 menghasilkan senyawa yang sangat reaktif, yang dalam keadaan normal segera diubah menjadi metabolit yang stabil. Tetapi, bila enzimnya diinduksikan atau kadar obatnya tinggi sekali, maka metabolit antara yang terbentuk juga banyak sekali. Karena inaktivasinya tidak cukup cepat, maka senyawa tersebut sempat beraksi dengan komponen sel dan menyebabkan kerusakan jaringan. Contohnya ialah parasetamol.
Enzim nonmikrosom mengkatalisis semua reaksi konjugasi yang bukan dengan glukuronat yaitu konjugasi dengan asam asetat, glisin, glutation, asam sulfat, asam fosfat, dan gugus metil. sistem ini juga mengkatalisis beberapa reaksi oksidasi, reduksi, dan hidrolisis.
Reaksi hidrolisis dikatalisis oleh enzim esterase nonspesifik di hati, plasma, saluran cerna, dan di tempat lain, serta oleh enzim amidase yang terdapat di hati. Reaksi oksidasi terjadi di mitokondria dan plasma sel hati serta jaringan lain, dan dikatalisis oleh enzim alkohol dan aldehid dehidrogenase, xantin oksidase, tirosin hidroksilase, dan monoamin oksidase.
Reaksi reduksi mikrosomal dan nonmikrosom terjadi di hati dan jaringan lain untuk senyawa azo dan nitro, misalnya kloramfenikol. reaksi ini seringkali dikatalisis oleh enzim flora usus dalam lingkungan usus yang anaerob.


Karena kadar terapi obat biasanya jauh dibawah kemampuan maksimal enzim metabolismenya, maka penghambatan kompetitif antara obat yang menjadi substrat bagi enzim yang sama jarang terjadi. Penghambatan kompetitif metabolisme obat hanya terjadi pada obat yang kadar terapinya mendekati kapasitas maksimal enzim metabolismenya, misalnya difenilhidantoin yang dihambat metabolismenya oleh dikumarol dan 6-merkaptopurin yang dihambat metabolismenya oleh alopurinol. Akibatnya, toksisitas obat yang dihambat metabolismenya meningkat.
Reaksi biokimia yang terjadi dapat dibedakan atas 2 reaksi, yaitu :
1. Reaksi fase I
Pada reaksi fase I ini mengubah obat menjadi metabolit yang lebih polar, yang dapat bersifat inaktif, kurang aktif, atau lebih aktif daripada bentuk aslinya. Yang termasuk dalam reaksi fase I adalah oksidasi, reduksi, dan hidrolisis.
a. Reaksi Oksidasi
Yang sangat penting untuk biotransformasi ialah reaksi oksidasi yang melibatkan oksidase, monooksigenase, dan dioksigenase. Oksidase mengoksidasi melalui penarikan hidrogen atau elektron. Oleh monooksigenase, satu atom oksigen dari molekul oksigen diikat pada bahan asing dan atom oksigen lain direduksi menjadi air. Sebaliknya, dioksigenase memasukkan kedua atom dari 1 molekul oksigen ke dalam xenobiotika. Monooksigenase ( mikrosom ) yang mengandung sitokrom P-450 dan juga sitokrom P-448 yang merupakan protein hem memiliki makna terbesar untuk biotransformasi oksidasi obat.
Istilah sitokrom P-450 dan P-448 dipakai karena terjadi absorpsi kuat dari cahaya pada panjang gelombang 450 dan 448 nm setelah reduksi dengan natrium ditionit dan penyetimbangan dengan CO.
Mikrosom ialah bagian pecahan dari retikulum endoplasma yang terjadi pada sentrifugasi terfraksinasi dari homogenat sel hati ( fraksi mikrosom ). Enzim yang terikat pada mikrosom disebut enzim mikrosom.
Monooksigenase yang mengandung sitokrom mengkatalisis hidroksilasi alifatik dan aromatik, epoksidasi ikatan rangkap olefinik dan aromatik, dealkilasi oksidatif senyawa N-alkil, O-alkil, dan S-alkil, deaminasi oksidatif dan oksidasi tioeter dan amin menjadi sulfoksida dan juga hidroksilamina.
Enzim pengoksidasi yang penting lainnya adalah:
alkoholdehidrogenase, yang mendehidrasi alkohol, khususnya etanol menjadi aldehid.
monoaminoksidase, yang umumnya bekerja secara oksidasi pada amina biogenik ( misalnya katekolamina ).
aldehida-oksidase, yang mengubah aldehida menjadi asam.
n-oksidase, yang tidak mengandung sitokrom P-450 melainkan fad dan mengubah amina sekunder menjadi hidroksilamina, amina tersier menjadi n-oksida.

b. Reaksi Reduksi
Dibandingkan dengan oksidasi, reduksi hanya memegang peranan kecil pada biotransformasi. senyawa karbonil dapat direduksi menjadi alkohol oleh alkoholdehidrogenase atau aldol ketoreduktase sitoplasma. Untuk penguraian senyawa azo menjadi amina primer melalui tahap antara hidrazo tampaknya ada beberapa enzim yang terlibat, di antaranya NADPH-sitokrom P-450 reduktase. Yang masih belum diketahui seluruhnya ialah enzim yang terlibat dalam reduksi senyawa nitro menjadi amina yang sesuai. Secara toksikologik berarti ialah dehalogenisasi reduktif, misalnya pada karbromal serta dari karbontetraklorida menjadi kloroform.
c. Reaksi Hidrolisis
Reaksi biohidrolisis penting :
penguraian ester dan amida menjadi asam dan alkohol serta amina oleh esterase ( amidase )
pengubahan epoksida menjadi diol berdampingan ( visinal ) oleh epoksidahidratase ( sinonim epoksidahidrolase ) serta
hidrolisis asetal ( glikosida ) oleh glikosidase.
Ester dan amida dihidrolisis oleh enzim yang sama menurut pengetahuan saat ini. sesungguhnya ester lebih cepat dihidrolisis daripada amida. Enzim ini terdapat baik intrasel maupun juga ekstrasel, terikat pada mikrosom dan dalam bentuk terlarut. Untuk metabolisme bahan asing, terutama penting sekali pseudokolin-esterase dan yang disebut ali-esterase, yang menguraikan terutama ester alifatik dan amida, serta aril-esterase,yang memiliki afinitas tinggi terhadap ester dan amida aromatik. Epoksidahidratase, yang terdapat dalam suatu kompleks neka-enzim dengan monooksigenase, memiliki arti untuk penguraian epoksida.

2. Reaksi fase II
Merupakan penggabungan obat aslinya atau metabolitnya dengan bermacam-macam komponen endogen. Reaksi konjugasi yang dilakukan oleh enzim transferase memerlukan baik komponen endogen maupun eksogen.reaksi konjugasi mencakup:
a. reaksi antara senyawa yang mempunyai gugus hidroksil alkohol atau fenol, gugus amino, gugus sulfhidril dan sebagian juga gugus karboksil dengan senyawa tubuh sendiri yang kaya akan energi.
b. reaksi penggabungan antara senyawa asing, setelah diaktivasi dengan senyawa tubuh sendiri ( tidak teraktivasi )






Reaksi fase II terpenting adalah konjugasi dengan :
asam glukuronat aktif
Umumnyakonjugasi dapat terjadi dengan terbentuknya glukuronida. Kombinasi dengan asam glukuronat terjadi dengan cepat dengan senyawa yang mempunyai gugus fungsional dengan proton yang reaktif yang biasanya mengikat hetero-atom seperti gugus hidroksil, karboksil, amino sulfidril. Gugus fungsional kemungkinnan sudah terdapat dalam molekul obat seperti Asetaminophen.
asam amino
N-glukoronida terbentuk melalui gugus amino sebagai contoh pada Meprobamat.
sulfat aktif
Ester sulfat terbantuk dari fraksi terlarut dari P.A.P.S.F (3-phosphoadenosine-5’phosphosulfat) dan komponen substrat lain, seperti fenol (contoh Parasetamol, Salisilamid), alifatis dan alkohol steroid (contoh Etanol, Andosteron). Kapasitas terbentuknya konjugasi sulfat adalah terbatas dan tampak dalam hubungannya dengan ketersediaan sulfat yang rendah.
asam asetat aktif
S- adenosilmetionin
serta pembentukan turunan asam merkapturat
Kecuali pada konjugasi dengan asam asetat atau reaksi metilasi, di sini selalu terjadi pemasukan satu gugus asam ke dalam molekul yang pasti meningkatakan kehidrofilan melalui pembentukan garam. Konjugat asam cepat dieliminasi melaui ginjal, dan melalui proses aktif. Dengan demikian umumnya reaksi konjugasi mempunyai sifat reaksi bioinaktivasi atau reaksi detoksikasi, karena produk konjugasi hampir selalu tidak aktif secara biologi. Walaupun demikian dalam beberapa hal, konjugat dapat dihidrolisis lagi menjadi senyawa asal. Yang sering terjadi demikian, misalnya apabila konjugat dengan empedu mencapai usus. sebaliknya konjugat-konjugat yang diekskresi dalam urin, ini merupakan kekecualian.
Metabolit fase II yang masih aktif secara biologi adalah ester asam sulfat triamteren, diuretika penyimpanan kalium.
konjugasi dengan asam glukuronat aktif.
Alkohol yang dikonjugasi dengan asam glukuronat aktif terutama alkohol yang tidak dapat cepat dioksidasi yaitu alkohol sekunder dan alkohol tersier. Fenol, asam karboksilat dan amina dapat juga dikonjugasi dengan asam glukuronat. Asam glukuronat adalah asam yang relatif kuat yang mengandung gugus oh alkohol tambahan dan karena itu sangat hidrofil. Asam glukuronat diubah menjadi bentuk asam glukuronat aktif ( UDP-asam glukuronat ) oleh glukuroniltransferase yang terikat membran, terutama dalam hati, dan disamping itu dalam ginjal dan usus.



konjugasi dengan glisisn.
Asam karboksilat yang tidak dapat diuraikan lebih lanjut secara oksidasi, dapat diuraikan lebih lanjut secara oksidasi, dapat membentuk konjugat dengan glisin. di sini termasuk asam karboksilat yang tersubtitusi pada atom alfa –C dan aromatik, misalnya asam benzoat. Contoh klasik untuk konjugat demikian adalah asam hipurat yang terbentuk dari asam benzoat dan asam salisilurat yang terbentuk dari asam salisilat.Reaksi ini dikatalisis oleh transasilase.
konjugasi dengan asam sulfat
Terutama fenol membentuk konjugat dengan sulfat aktif, yang dilakukan oleh sulfotransferase. Sulfotransferase merupakan enzim yang larut dengan kespesifikan yang berbeda-beda.Yang terbentuk adalah setengah ester asam sulfat yang diekskresi dalam urin.Perbandingan sulfat organik terhadap sulfat anorganik dalam urin meningkat jauh sesuai dengan pemasukan fenol ke dalam tubuh atau pemasukan senyawa yang diuraikan menjadi fenol.
pembentukan turunan asam merkapturat
Ini merupakan reaksi konjugasi yang berlangsung melalui beberapa tahap. Pada reaksi ini terutama glutation-s-epoksidatransferase yang terlibat. Senyawa halogen dan senyawa aromatik dapat di biotransformasi dengan cara ini. Turunan asam merkapturat, seperti konjugat lain, sangat hidrofil dan mudah diekskresi. Karena itu, senyawa ini merupakan substrat yang baik untuk sistem transport aktif dalam ginjal dan hati.
metilasi
Metilasi jarang terdapat dalam reaksi biotransformasi. Dalam beberapa hal ditemukan suatu N-metilasi atau metilasi senyawa heterosiklik tak jenuh. Contohnya,pembentukan N-metilnikotinamida dari nikotinamida. Basa amonium kuarterner yang dibentuk dengan cara ini bersifat hidrofil dan dapat diekskresi secara aktif. Metilasi gugus OH fenol, seperti ditemukan misalnya pada katekolamina, lebih merupakan kekecualian daripada menurut aturan.
asetilasi
Xenobiotika bergugus amino yang tak dapat diuraikan secara oksidasi, sering diasetilasi dengan bantuan asetiltransferase. Di sini termasuk amina aromatik ( misalnya anilina ) dan alkilamina, dengan gugus amino terdapat pada atom karbon tersier. Asetilasi sulfonamida merupakan contoh konjugasi demikian yang umumnya menyebabkan penurunan sifat hidrofilnya. Ini dapat menimbulkan kompliksi tertentu, contohnya kristaluria, seperti digambarkan sebagai efek samping sulfonamida. Di pihak lain asetilasi mengurangi khasiat karena gugus amino yang biasanya penting untuk aktivitas biologi, ditutupi akibat asetilasi.



Pemberian suatu sediaan obat pada seseorang dan dengan posologi yang sama kadang-kadang memberikan kadar obat dalam darah yang beragam. Perbedaan tersebut dapat terjadi karena:
penyebab endogen yang sangat erat hubungannya dengan genetik, atau keadaan fisiologik dan patologik, yang berkaitan dengan fungsi dari berbagai organ tubuh.
misalnya : sistem saraf, peredaran darah, endokrin,dan pencernaan.
penyebab eksogen yang tergantung pada keadaan lingkungannya.
Faktor fisiologik
- perbedaan spesies
- faktor individu
• umur
Pada bayi yang baru lahir, permeabilitas membran fisiologik yang lebih besar dibanding anak-anak dan dewasa, sehingga sawar hemato-ensefalik bayi mudah ditembus oleh sejumlah obat. Kemungkinan intoksikasi pada bayi harus lebih diperhatikan dibanding anak muda.
Pada usia lanjut harus berhati-hati karena cukup banyak obat yang dapat menyebabkan kerusakan hati. Pada tubuh orang tua, efek sedative barbiturat dan hipnotik akan berkurang dan efek toksiknya semakin meningkat. Namun pada umur tersebut tubuh lebih toleran terhadap alokohol dan morfin.
jenis kelamin
Pada umumnya efek samping obat yang tidak diinginkan lebih nyata dan lebih sering terjadi pada wanita. Hormon androgen mempercepat reaksi hidroksilasi (heksobarbital dan pseudobarbital), N-demetilasi (piramidon, morfin) dan glukurokonjugasi terutama pada tikus jantan dibanding tikus betina.
morfotipe
kelamin genetik
kehamilan
keadaan gizi
ritme biologik
faktor patologik
- faktor penyulit dan penurun efek obat
Penurunan efek obat mungkin merupakan konsekuensi dari penyerapan yang jelek pada saluran cerna, pembuluh darah atau peningkatan peniadaan melalui ginjal.
- faktor penyulit dan peningkatan efek obat
Peningkatan efek dapat disebabkan oleh penyerapan yang berlebihan, kemudahan difusi, dan terutama oleh kegagalan hati atau ginjal





faktor lingkungan
- makanan dan diet
Kekurangan makanan dan nutrisi dapat menghambat fungsi tubuh dan metabolisme obat. aspek lain yang terkait adalah makanan dalam jumlah banyak, adanya bahan tambahan dan terutama adanya pencemar.
- toksikomania ( kecanduan )
Alkohol mempengaruhi klirens obat oleh ginjal dan alkohol dapat merupakan induktor pada alkohol dehidrogenasi. Dalam waktu yang lama, kecanduan alkohol dapat menyebabkan berbagai keadaan patologik, misalnya sirosis.
Asap rokok dan hidrokarbonnya berbahaya. Karbondioksidanya berpengaruh pada sitokrom P-450 dan akan menurunkan hidroksilasi dari anilin hidrokarbon polisiklik yang bersifat induktor.
- cemaran udara
- faktor meteorologi
contoh : suhu, sinar, kelembapan udara
Radiasi ion-ion memiliki kecenderungan untuk mengaktifkan metabolisme dari senyawa eksogen. Radiasi tersebut meningkatkan pembentukan nadph dan dapat menghambat oksidasi mikrosom.
- stress dan kelelahan.

INDUKSI ENZIM
Banyak xenobiotika ( bisa disebut dengan obat ), khususnya senyawa-senyawa yang larut baik dalam lemak dengan masa kontak dalam hati yang lama, mampu menginduksi peningkatan pembentukan enzim-enzim yang terlibat pada biotransformasi. Karena itu disebut sebagai induktor ( enzim ) dan dibedakan menurut enzim yang diinduksi :
• jenis fenobarbital
• jenis metilkolantren
Induktor jenis fenobarbital, yang sangat penting untuk metabolisme bahan obat, menaikkan proliferasi retikulum endoplasma dan dengan demikian bekerja menaikkan denhgan jelas bobot hati. Induksi menyangkut terutama sitokrom P-450, di samping itu, antara lain, glukuroniltransferase, glutationtransferase dan epoksidahidrolase lebih banyak dibentuk. Induksi terjadi relatif cepat dalam waktu beberapa hari.
Sebagai akibat induksi enzim, maka kapasitas penguraian dan dengan demikian laju biotransformasi meningkat. Peningkatan biotransformasi tidak hanya pada induktor enzim melainkan juga obat-obat lain, bahan khasiat tubuh sendiri atau senyawa essensial. Waktu paruh biologi semua senyawa ini dengan demikian dipersingkat. Apabila induktor dihentikan, kapasitas penguraian dalam waktu beberapa hari sampai beberapa minggu menurun sampai pada tingkat asalnya.


Untuk terapi dengan obat, induktor enzim memberi akibat berikut :
• pada pengobatan jangka panjang dengan induktor enzim, terjadi penurunan konsentrasi bahan obat yang dapat mencapai tingkat konsentrasi dalam plasma pada awal pengobatan dengan dosis tertentu.
• kadar bahan berkhasiat tubuh sendiri dalam plasma dapat menurun sampai di bawah angka normal.
• pada pemberian bersama dengan obat lain terdapat bahaya interaksi obat yang kadang-kadang berbahaya. selama pemberian induktor enzim,konsentrasi obat kedua dalam darah dapat juga menurun. Apabila karena itu dosis ditinggikan untuk mendapatkan efek yang sama maka pada penghentian induktor, kadar obat dalam darah dapat meningkat di atas angka kritis.
Induktor jenis metilkolantren, yang termasuk disini khususnya karbohidrat aromatik (misalnya benzpiren, metilkolantren, tetraklordibenzodioksin, fenantren) dan beberapa herbisida, terutama meningkatkan sintesis sitokrom P-448 dan sintesis glukuroniltransferase. Proliferasi retikulum endoplasma dan dengan demikian kenaikan bobot hati hanya sedikit menonjol.

INHIBISI ENZIM
Seperti halnya induksi enzim bekerja pada obat-obat yang secara kimia sangat berbeda maka terdapat banyak bahan obat yang menghambat proses biotransformasi dan dengan demikian dapat memperpanjang kerja dan menaikkan kerja senyawa-senyawa lain. Inhibisi enzim dapat berlangsung dengan cara berikut. Bahan obat menyebabkan penurunan sintesis atau menaikkan penguraian enzim retikulum endoplasma atau antara 2 obat atau beberapa obat terdapat persaingan tempat ikatan pada enzim dan dengan demikian menyebabkan penghambatan penguraian secara kompetitif.

PRO_DRUG
yaitu senyawa yang secara biologik tidak aktif, akan tetapi dalam organisme diubah secara enzimatik atau tak enzimatik menjadi bentuk yang aktif. Pengembangan pro-drug baru dilakukan jika sifat-sifat teknologi, farmakokinetika, farmakodinamika atau toksikologi dari bahan berkhasiat perlu diperbaiki. Jadi sintesis pro-drug diperlukan pada bahan berkhasiat dengan rasa tak enak, kelarutan dalam air tidak cukup pada pemakaian parenteral yang dibutuhkan, kurang dapat terabsorpsi, pengaruh lintas pertama besar, lama kerja singkat, distribusi kedalam organ sasaran tak cukup, keselektifan kerja rendah atau toksisitas tinggi.





yang biasa disebut Natrium-thiopental merupakan obat yangPentothal termasuk golongan barbiturate. Turunan barbiturate bekerja dengan menekan transmisi sinaptik pada system pengaktifan retikula di otak dengan cara mengubah permeabilitas membrane sel, sehingga mengurangi rangsangan polisinaptik dan menyebabkandeaktivasi korteks serebral. Sandberg (1951) membuat postulat bahwa untuk memberi efek penekanan system saraf pusat, turunan asam barbiturate harus bersifat asam lemah dan mempunyai nilai koefisien partisi lemak/air dengan batas tertentu. (Kimia Medisinal 2, Siswandono MS dan Dr. Bambang Soekardjo, SU., 2000: hlm 232). Natrium tiopental adalah obat dari golongan barbital yang memiliki aksi sebagai anestesi jangka waktu singkat. Turunan barbiturat bekerja dengan menekan transmisi sinaptik pada system pengaktifan retikula di otak dengan cara mengubah permeabilitas membrane sel sehingga mengurangi rangsangan polisinaptik dan menyebabkan deaktivasi koerteks serebral. Zat ini tidak mempunyai sifat analgesic dan batas keamanannya sangat sempit, sehingga dapat menimbulkan gejala overdosis berupa depresi kardiorespiratori. Larutannya bersifat sangat alkali dan karena itu bersifat iritatif bila penyuntikan keluar dari vena dan untuk injeksi arteri sangat berbahaya. Pemulihan kesadaran dari pembiusan dengan thiopental dosis menengah terjadi cepat karena obat mengalami redistribusi di dalam tubuh.

Struktur Na-thiopental

H O
N C2H5
S
N CH CH2 CH2 CH3
H O CH3


Gugus karbonil pada posisi 2 bersifat asam lemah, karena dapat bertautomerisasi bentuk keto berada dalam keseimbangan dengan bentuk laktim (enol). Bentuk laktim bereaksi dengan alkali membentuk garam yang larut dalam air. Penggantian unsur O pada aton C di posisi 2 dengan unsure S, yang umumnya disebut tiobarbiturat, menaikkan kelarutan lemak.
Perubahan sruktur yang menaikkan kelarutannya dalam lemak, akan menurunkan mula kerja dan lama kerja obat, menaikkan metabolisme pengrusakan dan ikatan terhadap protein, serta sering kali menaikkan efek hipnotik.
Pemerian serbuk hablur, putih sampai hamper putih kekuningan atau kuning kehijauan pucat; higroskopis; berbau tidak enak. Larutan bereaksi basa terhadap lakmus, terurai jika dibiarkan, jika didihkan terbentuk endapan. Natrium-tiopental, merupakan obat anestesi sistemik turunan tiobarbiturat, mempunyai awal dan masa kerja yang sangat singkat sehingga dimasukkan ke dalam golongan barbiturate dengan kerja sangat singkat.

Natrium-tiopental berdifusi sangat cepat keluar dari otak dan jaringan lain yang mendapat aliran darah banyak dan selanjunya mengalami redistribusi menuju otot bergaris, lemak dan akhirnya ke seluruh jaringan tubuh. Natrium-thiopental merupakan obat yang termasuk golongan barbiturate. Thiopental, obat anestesi sistemik turunan tiobarbiturat, mempunyai awal dan masa kerja yang sangat singkat, sehingga dimasukan dalam golongan barbiturate dengan kerja sangat singkat. Contoh paten obat golongan barbiturate dengan awal dan masa kerja yang sangat cepat adalah Phanodorn, cyclopal, medomin, ortal, Nembutal sodium, ceconal.
Barbiturat bekerja pada seluruh sistem saraf pusat, walaupun pada setiap tempat tidak sama kuatnya. Dosis nonanestesi terutama menekan respon pasca sinaps. Bariturat memperlihatkan beberapa efek yang berbeda pada eksitasi dan inhibisi transmisi sinaptik. Barbiturat bekerja pada seluruh sistem saraf pusat, walaupun pada setiap tempat tidak sama kuatnya. Kapasitas barbiturate membantu kerja GABA sebagian menyerupai kerja benzadiazepin, namun pada dosis tinggi barbiturt menimbulkan depresi sistem saraf pusat yang berat. Berdasarkan masa kerjanya, turunan barbiturate dibagi menjadi 4, yaitu:
1. Turunan barbiturate dengan masa kerja panjang (6 jam atau lebih)
Contohnya : barbiturate, metarbital, fenobarbital
2. Turunan barbiturate dengan masa kerja sedang (3-6 jam)
Contoh :alobarbital, amobarbital, aprobarbital
3. Turunan barbiturate dengan masa kerja pendek (0,5-3 jam)
Contoh : heptabarbital, heksetal
4. Turunan barbiturate dengan masa kerja sangat pendek (<0,5 jam)
Contoh : thiopental, hamital
Thiopental, obat anestesi sistemik turunan tiobarbiturat, mempunyai awal dan masa kerja yang sangat singkat, sehingga dimasukan dalam golongan barbiturate dengan kerja sangat singkat. Thiopental berdifusi sangat cepat keluar dari otak dan jaringan lain yang mendapat aliran darah banyak dan selanjutnya mengalami redistribusi menuju otot bergaris, lemak, dan akhirnya ke seluruh jaringan tubuh. Dengan barbiturate, keseimbangan plasma otak terjadi dengan cepat, karena kelarutan dalam lipid yang tinggi. Thiopental berdifusi sangat cepat keluar dari otak dan jaringan lain yang mendapat aliran darah banyak dan selanjutnya mengalami redistribusi menuju otot bergaris, lemak, dan akhirnya ke seluruh jaringan tubuh. Oleh karena perpindahannya yang cepat dari jaringan otak, maka satu dosis thiopental lama kerjanya sangat pendek.
Metabolisme thiopental jauh lebih lambat bila dibandingkan redistribusinya dan terutama terjadi di hati. Kurang dari 1% dari dosis thiopental yang diberikan mengalami eliminasi dalam bentuk tidak berubah lewat ginjal. Thiopental mengalami metabolisme dengan kecepatan 12%-16% per jam dalam tubuh manusia setelah pemberian dosis tunggal. Dalam dosis tinggi, thiopental menyebabkan tekanan darah arteri, volume sekuncup, dan curah jantung yang efeknya bergantung pada dosis.



Thiopental (pKa = 7,6), mempunyai nilai koefisien partisi lemak/air = 100. dalam plasma darah yang mempunyai pH = 7,4, thiopental terdapat dalam bentuk tidak terionisasi kurang lebih 50%, yang mempunyai kelarutan dalam lemak sangat besar. Thiopental yang berada dalam plasma darah dengan cepat terdistribusi dan dihimpun dalam depo lemek; makin lama makin banyak sehingga kadar obat dalam plasma menurun secara drastic. Untuk mencapai keseimbangan, thiopental yang berada pada jaringan otak masuk kembali ke plasma darah sehingga kadar anestesi tidak tercapai lagi dan efek anestesi seger berakhir (masa kerja obat singkat)
Masa kerja thiopental tidak bergantung pada kecepatan distribusinya. Setelah 3 jam pemberian, kadar thiopental dalam depo lemak 10 kali lebih besar disbanding kadar obat dalam plasma. Dalam lambung tikus, pada pH 1 penyerapannya 46%. Sedangkan pada pH 8 penyerapannya 34%. (Kimia Medisinal, Siswandono MS dan Dr. Bambang Soekardjo, SU.,1995: hlm 10).
anestesi sebelum pemberian anestesi lain, jugaIndikasi Pentothal sebagai anestesi tunggal untuk operasi singkat. Kontra indikasi : kehilangan rasa sakit secara sempurna, status asmatikus, porfiria, laten, atau monifes. Hati-hati pada hipertensi sedang, penyakit kardiovaskuler parah, bertambahnya tekanan intrakarnial, asma, miestemia gravis, dan anemia parah. Efek samping dari obat ini dapat berupa depresi pernafasan, depresi otot jantung, artemia jantung, bersin, batuk, bronkostamus, dan laringospasmus.
Diposkan oleh Rita Riata di 22:31 0 komentar
Label: farmakologi
efek sedatif
Penggolongan suatu obat ke dalam jenis sedative-hipnotik menunjukkan bahwa kegunaan terapeutik utamanya adalah menyebabkan sedasi (dengan disertai hilangnya rasa cemas) atau menyebabkan kantuk. Sedative-hipnotik seringkali diresepkan untuk gangguan tidur karena termasuk ke dalam obat-obatan penekan Sistem Saraf Pusat yang dapat menimbulkan depresi (penurunan aktivitas fungsional) dalam berbagai tingkat dalam Sistem Saraf Pusat.
Sedatif adalah obat tidur yang dalam dosis lebih rendah dari terapi yang diberikan pada siang hari untuk tujuan menenangkan. Sedatif termasuk ke dalam kelompok psikoleptika yang mencakup obat0obat yang menekan atau menghambat sisem saraf pusat.
Sedatif berfungsi menurunkan aktivitas, mengurangi ketegangan, dan menenangkan penggunanya. Keadaan sedasi juga merupakan efek samping dari banyak obat yang khasiat utamanya tidak menekan Sistem Saraf Pusat, misalnya antikolinergika.
Sedatif-hipnotik berkhasiat menekan Sistem Saraf Pusat bila digunakan dalam dosis yang meningkat, suatu sedatif, misalnya fenobarbital akan menimbulkan efek berturut-turut peredaan, tidur, dan pembiusan total (anestesi), sedangkan pada dosis yang lebih besar lagi dapat menyebabkan koma depresi pernafasan dan kematian. Bila diberikan berulang kali untuk jangka waktu lama, senyawa ini lazimnya menimbulkan ketergantungan dan ketagihan.
Hipnotika atau obat tidur adalah zat-zat yang dalam dosis terapeutik diperuntukkan untuk mempermudah atau menyebabkan tidur. Hipnotika menimbulkan rasa kantuk, mempercepat tidur, dan sepanjang malam mempertahankan keadaan tidur yang menyerupai tidur alamiah. Secara ideal obat tidur tidak memiliki aktivitas sisa pada keesokan harinya. (Drs. Tan Hoan Tjay dan Drs. Kirana Rahardja, 2002)
Efek hipnotik meliputi depresi sistem saraf pusat yang lebih kuat daripada sedasi, hal ini dapat dicapai dengan semua obat sedative dengan peningkatan dosis. Depresi sistemsaraf pusat yang bergantung pada tingkat dosis merupakan karakteristik dari sedative-hipnotik. Dengan peningkatan dosis yang diperlukan untuk hipnotik dapat mengarah kepada keadaan anestesi umum.



Masih pada dosis yang tinggi, obat sedative-hipnotik dapat mendepresi pusat-pusat pernafasan dan vasomotor di medulla, yang dapat mengakibatkan koma dan kematian. (BertramG. Katzung, 2002)
Bentuk yang paling ringan dari penekanan sistem saraf pusat adalah sedasi, dimana penekanan sistem saraf pusat tertentu dalam dosis yang lebih rendah dapat menghilangkan respon fisik dan mental tetapi tidak mempengaruhi kesadaran. Sedatif terutama digunakan pada siang hari, dengan meningkatkan dosis dapat menimbulkan efek hipnotik. Jika diberikan dalam dosis yang sangat tinggi, obat-obat sedatif-hipnotik mungkin dapat mencapai anestesi, sebagai contoh adalah barbiturat dengan masa kerja yang sangat singkat yang digunakan untuk menimbulkan anestesi adalah natrium thiopental (Pentothal).
Penggolongan obat yang bekerja dengan mekanisme penekanan sistem saraf pusat dilihat berdaasrkan efek terapeutiknya adalah:
1. Depresan sistem saraf pusat umum
Efek dari obat ini bersifat mendepresi secara ridak selektif pada struktur sinaptik, termasuk pada jaringan prasinaptik dan pasca sinaptik. Penggunaan obat golongan depresi sistem saraf pusat umum ini menstabilkan membran neuron dengan cara mendepresi struktur dari pasca sinaps, selain itu juga dengan mengurangi jumlah transmitter kimia yang dilepaskan oleh neuron prasinaps.
2. Rangsang sistem saraf pusat umum
Obat golongan ini juga bekerja secara tidak selektif, seperti pada obat depresi umum, namun terdapat perbedaan mekanisme kerja dari obat golongan ini. Cara kerjanya dalam tubuh melalui salah satu tahap, yaitu dengan mengurangi hambatanpada pasca sinaps atau mengeksitasi neuron secara langsung. Proses terjadinya eksitasi dari neuron secara langsung dapat dicapai dengan mendepolarisasi atau mengurangi kepolaran dari sel prasinaps. Cara lain adalah dengan meningkatkan pelepasan prasinaps akan transmitter, selain itu juga dapat dilakukan dengan menurunkan waktu paruh dari sinaptik.
3. Obat sistem saraf pusat selektif
Obat dari golongan in bekerja secara selektif dan efektif untuk suatu hal saja. Penggunaan obat golongan ini biasanya untuk depresan dan juga sebagai perangsang. Mekanisme kerjanya dapat melalui beberapa cara seperti dalam pengobatan anti kejang, pelemas otot-otot yang bekerja sentral, secara analgetik dan obat psikofarmakologi.





Obat-obat penenang (antipsikotik) berbeda pengaruhnya dengan hipnotik sebab tidak menimbulkan efek anetetik. Sebagai contoh klorpromasin dan reserpin, penekanannya pada SSP tidak terlalu dalam sehingga hanya menimbulkan efek sedasi. Efek sedatif dapat mempengaruhi kemampuan koordinasi motorik hewan uji. Besar kecilnya pengaruh terhadap koordinasi motorik tersebut dapat menggambarkan besar kecilnya efek sedatif.

Fisiologi Tidur
Kebutuhan akan tidur dapat dianggap sebagai suatu perlindungan dari organisme untuk menghindari pengaruh yang merugikan tubuh karena kurang tidur. Tidur yang baik, cukup dan lama adalah mutlak untuk regenerasi sel-sel tubuh, dan memungkinkan pelaksanaan aktivitas pada siang hari dengan baik. Efek terpenting yang mempengaruhi kualitas tidur adalah penyingkatan waktu menidurkan, perpanjangan masa tidur, dan pengurangan jumlah periode terbangun. Pasat tidur di otak (sumsum sambungan) mengatur fungsi fisiologi ini yang sangat penting bagi kesehatan tubuh.
Pada waktu tidur, aktifitas saraf parasimpatik meningkat dengan efek penyempitan pupil, perlambatan pernafasan, dan sirkulasi darah, serta stimulasi aktivitas saluran cerna dengan penguatan peristaltic dan sekresi getah lambung-usus. Singkatnya, proses-proses pengumpulan energi dan pemulihan tenaga dari organisme.
Pada umumnya, selama satu malam dapat dibedakan 4 sampai 5 siklus tidur dari kira-kira 1,5 jam. Setiap siklus terdiri dari 2 stadia, yaitu :
a. Tidur non-REM
Disebut juga Slow Wave Sleep (SWS), berdasarkan registrasi aktivitas listrik otak (EEG = elektro-encefalo-gram). Non-REM bercirikan denyutan jantung, tekanan darah, dan pernafaasn yang teratur, serta relaksasi otot tanpa gerakan otot muka atau mata. SWS ini berlangsung lebih kurang satu jam lamanya dan meliputi berturut-turut 4 fase, di mana fase 3 dan 4 merupakan bentuk tidur yang terdalam, juga penting bagi perbaikan (restorasi) alamiah dari sel-sel tubuh.
b. Tidur REM (Rapid Eye Movement) atau tidur parakdosal
Dengan aktivitas EEG yang mirip dengan keadaan sadar dan aktif, bercirikan gerakan mata cepat ke satu arah. Di samping itu jantung, tekanan darah, dan pernafasan turun-naik, aliran darah ke otak bertambah, dan otot-otot sangat relaks. Selama tidur REM yang pada kedua siklus yang pertama berlangsung 5-15 menit lamanya, timbul banyak impian, sehingga disebut juga tidur-mimpi. Berangsur-angsur fase mimpi menjadi lebih panjang, hingga pada siklus terakhir dapat berlangsung antara 20-30 menit lamanya.


Bila tidur REM dirintangi dan menjadi lebih singkat, misalnya akibat obat tidur, maka pasien mengalaminya sebagai tidur tidak nyenyak dan merasa tidak fit. Hal ini akhirnya dapat menimbulkan gangguan psikis dan mengganggu kesehatan. Saat berlangsungnya tidur paradoks terjadi pembebasan nonadrenalin dengan cara aktivasi neuron locus soeruleus, dan ini menyebabkan desinkronisasi gelombang EEG dan gerakan mata diaktifkan. Pada waktu yang sama, pembebasan serotinin dihambat juga. Alat pemacu yang menghambat bentuk ritmik dari proses ini masih belum dikenal
Fase non-REM memegang peranan penting dalam pertumbuhan dan restorasi jaringan tubuh. Sedangkan fase REM berkaitan dengan kegiatan restorasi otak. Obat tidur pada umumnya menekan fase 3 dan 4 dari SWS serta tidur REM. Walaupun pada penggunaan kronis, penekanan tidur REM bersifat sementara, tetapi bila terapi dihentikan akan terjadi REM-rebound sebagai kompensasi (Drs. Tan Hoan Tjay dan Drs. Kirana Rahardja, 2002)
Semua sedatif-hipnotika akan menyebabkan tidur jika diberikan pada dosis yang cukup tinggi. Efek sedatif-hipnotik terhadap tahapan tidur bergantung dari beberapa faktor, termasuk obat tertentu, dosis, dan frekuensi pemakaian. Meski ada pengecualian pengaruh sedatif-hipnotik terhadap pola tidu normal adalah sebagai berikut :
1. lamanya mula tidur berkurang (waktu yang diperlukan untuk tidur)
2. lamanya tidur non-REM tahap 2 berkurang
3. lamanya tidur REM berkurang
4. lamanya tidur gelombang lambat berkurang.

Transpor sedatif-hipnotik di dalam darah merupakan proses dinamis dimana molekul-molekul obat masukdan keluar jaringan pada kecepatan yang bergantung pada aliran darah, perbedaan konsentrasi, dan permeabilitas. Kelarutan di dalam lipid memegang peranan penting dalam menentukan kecepatan dimana sedatif-hipnotika tertentu memasuki sistem saraf pusat.
Kelompok sedatif-hipnotik yang telah digunakan puluhan tahun adalah kelompok barbiturat. Barbiturat pertama kali dikenalkan sebagai suatu sedatif pada awal tahun 1990-an. Barbiturat bekerja pada seluruh sistem saraf pusat, walaupun pada setiap tempat tidak sama kuatnya. Kapasitas barbiturat membantu kerja GABA sebagian menyerupai kerja benzadiazepin, namun pada dosis tinggi barbiturat menimbulkan depresi sistem saraf pusat yang berat.






Berdasarkan masa kerjanya, turunan barbiturate dibagi menjadi 4, yaitu:
1. Turunan barbiturat dengan masa kerja panjang (6 jam atau lebih)
Contohnya : barbiturat, metarbital, fenobarbital
2. Turunan barbiturat dengan masa kerja sedang (3-6 jam)
Contoh :alobarbital, amobarbital, aprobarbital, dan butabarbital berguna untuk mempertahankan tidur dalamjangka waktu yang panjang
3. Turunan barbiturat dengan masa kerja pendek (0,5-3 jam)
Contoh : sekobarbital, dan pentobarbital, yang digunakan untuk menimbulkan tidur untuk orang yang sulit jatuh tidur.
4. Turunan barbiturat dengan masa kerja sangat pendek (<0,5 jam)
Contoh : thiopental yang digunakan untuk anestesi umum.
Barbiturat harus dibatasi penggunaannya hanya untuk jangka waktu pendek (2 minggu atau kurang) karena memiliki efek samping.
Selain barniturat, senyawa lain yang digunakan sebagai obat tidur antara lain :
1. Benzodiazepin
Benzodiazepin dapat menekan tahap 4 dari tidur NREM, yang mengakibatkantimbulnya mimpi yang jelas dan mimpi buruk, tetapi obat-obatan ini tidak mempengaruhi tidur REM. Benzodiazepin efektif pemakaiannya dalam gangguan tidur selama beberapa minggu lebih lama daripada sedative-hipnotik lainnya, tetapi obat-obatan ini tidak boleh dipakai lebih lama dari 3-5 minggu sebagai hipnotik. Golongan benzodiazepin memiliki sifat golongan alkohol yang tinggi. Keuntungan dari obat ini dibandingkan dengan barbital dan obat tidut lainnya adalah tidak atau hamper tidak merintangi tidur REM dan setelah beberapa minggu tidak kehilangan efektivitasnya dalam hal cepatnya menidurkan, memperpanjang, dan memperdalam tidur. Lagipula toksisitasnya rendah sekali ) dosis letal sangat tinggi) sehingga sukar sekali disalahgunakan untuk membunuh diri. Meskipun pada penggunaan yang lama dapat menimbulkan ketergantungan fisik maupun psikis, namun jauh lebih ringan daripada obat tidur lainnya. Karena sifatnya ini, benzodiazepin dianggap sebagai obat tidur pilihan pertama. Obat ini mempengaruhi secara selektif penerusan rangsangan tertentu sistem safar pusat. Selanjutnya terdapat indikasi bahwa mereka memperkuat khasiat neurotransmitter glycin dan GABA (gamma-aminobutyric acid) yang berdaya memblokir pelepasan muatan listik di otak. Contoh obat jenis ini adalah temazepam, nitrazepam, flunitrazepam, trizolam.






2. Alkohol dan aldehida, contohnya adalah Kloralhidrat dan Paraldehida.
Kloral hidrat digunakan untuk memulai tidur dan mengurangi terbangun dari pada malam hari, obat ini tidak menekan tidur REM.lebih sedikit terjadi hangover, depresi pernapasan, dan toleransi dengan kloral hidrat daripada sedative-hipnotik lainnya. Kloral hidrat efektif diberikan kepada orang lanjut usia yang mengalami gangguan hati ringanm tetapi untuk gangguan hati atau ginjal yang berat harus dihindari. (Joyce L / Kee dan Evelyn R. Hayes).
Paraldehida merupakan asetaldehida trimer.senyawa ini berkhasiat baik dan toksisitasnya kecil, tetpai tidak umum digunakan karena senyawa ini menyebabkan udara pernapasan berbau sangat tidak enak dan pada kontak langsung akan merangsang mukosa.efek samapingnya, walau jarang adalah rangsang batuk, eksantema dan terjadi keadaan mabuk. (Dinamika Obat, 1995)
3. Bromida : Kalium, natrium, dan amonium bromida, dan turunan-turunan urea karbonat dan bromisavol
Obat ini hanya berkhasiat hipnotik lemah, atau batu pada dosis yang mendekati dosis toksis. Sehingga digunakan terutama sebagai pereda sakit. Efek sedatif baru muncul setelah beberapa hari, sedangkan ekresinya lambat sehingga ada bahaya kumulasi dengan dengan efek toksik, akibatnya obat-obat jenis ini tidak digunakan lagi pada terapi modern.
4. Piperidindion dan metaqualon
Piperidin menyerupai barbiturat. Obat sedatif-hipnotik yaitu berupa glutetimid dan metiprilon, yang mempunyai efek serupa dengan barbiturat dengan masa kerja singkat, kedua obat ini dipasarkan sebagai non aditif, terapi obat-obat ini menimbulkan adiksi dan dapat menimbulkanreaksi merugikan yang serius, seperti kolaps vasomotor, anemia aplastik yang berat dan reaksi alergi. Iritasi lambungkadang-kadang terjadi

1 komentar:

  1. Irrespective of receiving daily oral or future injectable depot therapies, these require health care visits for medication and monitoring of safety and response. If patients are treated early enough, before a lot of immune system damage has occurred, life expectancy is close to normal, as long as they remain on successful treatment. However, when patients stop therapy, virus rebounds to high levels in most patients, sometimes associated with severe illness because i have gone through this and even an increased risk of death. The aim of “cure”is ongoing but i still do believe my government made millions of ARV drugs instead of finding a cure. for ongoing therapy and monitoring. ARV alone cannot cure HIV as among the cells that are infected are very long-living CD4 memory cells and possibly other cells that act as long-term reservoirs. HIV can hide in these cells without being detected by the body’s immune system. Therefore even when ART completely blocks subsequent rounds of infection of cells, reservoirs that have been infected before therapy initiation persist and from these reservoirs HIV rebounds if therapy is stopped. “Cure” could either mean an eradication cure, which means to completely rid the body of reservoir virus or a functional HIV cure, where HIV may remain in reservoir cells but rebound to high levels is prevented after therapy interruption.Dr Itua Herbal Medicine makes me believes there is a hope for people suffering from,Parkinson's disease,Schizophrenia,Cancer,Scoliosis,Fibromyalgia,Fluoroquinolone Toxicity
    Syndrome Fibrodysplasia Ossificans Progressiva.Fatal Familial Insomnia Factor V Leiden Mutation ,Epilepsy Dupuytren's disease,Desmoplastic small-round-cell tumor Diabetes ,Coeliac disease,Creutzfeldt–Jakob disease,Cerebral Amyloid Angiopathy, Ataxia,Arthritis,Amyotrophic Lateral Sclerosis,Alzheimer's disease,Adrenocortical carcinoma.Asthma,Allergic diseases.Hiv_ Aids,Herpe ,Copd,Diabetes,Hepatitis,I read about him online how he cure Tasha and Tara so i contacted him on drituaherbalcenter@gmail.com even talked on whatsapps +2348149277967 believe me it was easy i drank his herbal medicine for two weeks and i was cured just like that isn't Dr Itua a wonder man? Yes he is! I thank him so much so i will advise if you are suffering from one of those diseases Pls do contact him he's a nice man.

    BalasHapus